Langsung ke konten utama

14 - MASA SMA PENUH WARNA

 



Ramadhan itu tiba kayak notifikasi SMS dari gebetan—nggak nyangka, tapi bikin hati hangat. Sekolah mendadak berubah atmosfernya. Guru-guru yang biasanya nembakin tugas macam sniper akademik, kini lebih lembut. Teman-teman yang biasanya ribut, sedikit mereda; mungkin karena perut kosong, mungkin karena iman naik sedikit. Kantin tutup lebih cepat, dan ya… itu menyiksa. Tapi kita pura-pura ikhlas.

Sampai akhirnya tibalah acara paling sakral sekaligus paling rawan kekacauan: Tarawih Bersama ala SMA 1 Denpasar. Aula besar disulap jadi masjid kilat. Lampu temaram, karpet baru, suara imam yang lembut, dan wangi sajadah baru yang selalu mengingatkan pada toko swalayan dekat rumah.

Tapi ingat satu hal:
Kami adalah remaja SMA. Dan ketenangan adalah musuh alami kami.

 

Tarawih Bergemuruh Dan Mercon Dadakan

"Ketika ibadah bertemu kreativitas anak muda, langit pun bergemuruh… tapi bukan petir."

Bram, manusia yang kalau dibuka otaknya mungkin isinya cuma rencana usil dan gorengan, mencondongkan badan ke arahku di sela rakaat. Dia bisik:

“Bro, nanti rakaat enam kita sulut satu mercon. Biar nggak ngantuk.”

Aku langsung hampir sujud duluan.
“NEHI! NO! NÃO! JANGAN, BRO!”

Tapi seperti hukum klasik kenakalan remaja:
Semakin dilarang, semakin wajib dicoba.

Mercon itu disembunyiin dalam plastik LKS—sebuah bentuk ironi yang sangat elegan. Disulut dengan korek yang entah bagaimana lolos pemeriksaan guru piket.

Begitu Pak Abu mulai membaca surat dengan ritme khusyuk, BOOOOM!
Mercon meledak kayak sedang syuting film aksi.

Jamaah lompat.
Ibu guru menjerit pelan.
Suara karpet berdebu entah kenapa ikut terdengar.

Dan Pak Abu, dengan refleks manusiawi yang sangat… manusiawi, mengubah bacaan:
“Allahu Akb—ASTAGHFIRULLAH! Siapa itu?!”

Aula bubar, lantai bergetar, dan kami…
Kami nahan tawa sampai wajah memerah dan perut mules. Tapi tetap berusaha terlihat suci.
Sungguh akting terbaik sepanjang masa SMA.

Besoknya? Dipanggil BK.
Dapat ceramah tentang adab, akhlak, dan bahaya bahan peledak ringan.
Kami mengangguk seperti murid teladan, padahal di kepala cuma ada satu pikiran:
Worth it.

Yang kumengerti malam itu:
Kenakalan yang nggak melukai siapa pun?
Kadang justru menjadi cerita indah yang bakal kita kenang seumur hidup.

 

Cinta Gelap Sang Sekretaris Osis

"Cinta yang tidak diumumkan, tapi semua orang tahu."

Bram bukan cuma ahli strategi kenakalan.
Dia juga ahli menyembunyikan cinta. Atau tepatnya:
berusaha sembunyi tapi gagal.

Cewek itu sekretaris OSIS. Rapi, kalem, manis, rambutnya dikuncir dua kayak karakter anime yang lulus pesantren. Bram pengen kayak nggak naksir, tapi bukti-buktinya:

  • Absensinya tiba-tiba rapi.
  • Dia rajin hadir di acara OSIS padahal bukan anggota.
  • Setiap kerja kelompok, dia sok mengarahkan topik ke hal-hal dewasa seperti “Etika Komunikasi”—padahal jelas dia cuma pengen waktu lebih lama sama cewek itu.

Suatu hari, di kantin, sambil makan batagor tiga tusuk (karena kantong pas-pasan), Bram mendesah kayak tokoh utama drama Korea:

“Bro… dia bukan pacarku… tapi ya gitu deh.”

Aku ngangguk kayak ngerti, padahal enggak.
Tapi semua orang yang pernah naksir diam-diam pasti paham arti kalimat itu.

“Ya gitu deh” =
Cinta yang tidak mengecewakan, tidak juga membahagiakan.
Cuma… menggantung manis.

 

Kakak Kelas Manis & Keberanian Yang Nggak Pernah Tiba

"Ketika cinta cuma berani dipikirkan, bukan diucapkan."

Kalau Bram sibuk dengan sekretaris OSIS, aku punya tokoh favorit sendiri:
Kakak kelas berseragam basket.

Cantik, sporty, dan selalu wangi.
Tiap lewat depan kelas, jantungku pindah ke tenggorokan.

Teman-teman suka nge-set takdir palsu:
“Nuck, ke kantin gih, tuh ada dia. Mumpung sepi.”

Dan aku pun jalan ke kantin seperti robot yang engselnya aus.

Puncaknya terjadi saat kami sama-sama antre es cendol.

Dia menoleh, senyum ringan.
“Eh, kamu anak X IPA 3, ya?”

Dan aku menjawab dengan tingkat kebodohan yang layak diabadikan dalam museum:

“Aku… suka… es, Mbak.”

Hening panjang.
Bahkan kipas kantin pun seperti berhenti berputar.

Dia cuma tersenyum ramah. “Hehe, iya… enak ya.”
Lalu pergi.

Sedangkan aku?
Mikir pindah sekolah.

 

Catatan Akhir: Kenakalan, Cinta, Dan Hal-Hal Yang Nggak Kita Ucapkan

SMA itu bukan cuma soal ranking atau UN.
SMA adalah tempat:

  • Mercon kecil menjadi legenda,
  • Cinta diam-diam menjadi energi rahasia,
  • Keberanian selalu datang… terlambat,
  • Dan tawa menjadi mata uang sah persahabatan.

Nanti, saat kita dewasa dan sibuk mengejar kehidupan, kita bakal sadar:

Kenangan terbaik bukanlah nilai di rapor.
Tapi hati yang pernah berdebar,
tawa yang pernah meledak,
dan kebodohan yang kini justru bikin kita tersenyum.

Dan mungkin…
di dalam hati yang sudah dewasa ini,
kita masih menyimpan sedikit versi remaja kita,
agar hidup tetap hangat, lucu, dan manusiawi.




Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...