Ramadhan itu tiba kayak notifikasi SMS dari gebetan—nggak nyangka,
tapi bikin hati hangat. Sekolah mendadak berubah atmosfernya. Guru-guru yang
biasanya nembakin tugas macam sniper akademik, kini lebih lembut. Teman-teman
yang biasanya ribut, sedikit mereda; mungkin karena perut kosong, mungkin
karena iman naik sedikit. Kantin tutup lebih cepat, dan ya… itu menyiksa. Tapi
kita pura-pura ikhlas.
Sampai akhirnya tibalah acara paling sakral sekaligus paling rawan
kekacauan: Tarawih Bersama ala SMA 1 Denpasar. Aula besar disulap jadi
masjid kilat. Lampu temaram, karpet baru, suara imam yang lembut, dan wangi
sajadah baru yang selalu mengingatkan pada toko swalayan dekat rumah.
Tapi ingat satu hal:
Kami adalah remaja SMA. Dan ketenangan adalah musuh alami kami.
Tarawih Bergemuruh Dan Mercon Dadakan
"Ketika ibadah bertemu kreativitas anak muda, langit pun
bergemuruh… tapi bukan petir."
Bram, manusia yang kalau dibuka otaknya mungkin isinya cuma
rencana usil dan gorengan, mencondongkan badan ke arahku di sela rakaat. Dia
bisik:
“Bro, nanti rakaat enam kita sulut satu mercon. Biar nggak
ngantuk.”
Aku langsung hampir sujud duluan.
“NEHI! NO! NÃO! JANGAN, BRO!”
Tapi seperti hukum klasik kenakalan remaja:
Semakin dilarang, semakin wajib dicoba.
Mercon itu disembunyiin dalam plastik LKS—sebuah bentuk ironi yang
sangat elegan. Disulut dengan korek yang entah bagaimana lolos pemeriksaan guru
piket.
Begitu Pak Abu mulai membaca surat dengan ritme khusyuk, BOOOOM!
Mercon meledak kayak sedang syuting film aksi.
Jamaah lompat.
Ibu guru menjerit pelan.
Suara karpet berdebu entah kenapa ikut terdengar.
Dan Pak Abu, dengan refleks manusiawi yang sangat… manusiawi,
mengubah bacaan:
“Allahu Akb—ASTAGHFIRULLAH! Siapa itu?!”
Aula bubar, lantai bergetar, dan kami…
Kami nahan tawa sampai wajah memerah dan perut mules. Tapi tetap berusaha
terlihat suci.
Sungguh akting terbaik sepanjang masa SMA.
Besoknya? Dipanggil BK.
Dapat ceramah tentang adab, akhlak, dan bahaya bahan peledak ringan.
Kami mengangguk seperti murid teladan, padahal di kepala cuma ada satu pikiran:
Worth it.
Yang kumengerti malam itu:
Kenakalan yang nggak melukai siapa pun?
Kadang justru menjadi cerita indah yang bakal kita kenang seumur hidup.
Cinta Gelap Sang Sekretaris Osis
"Cinta yang tidak diumumkan, tapi semua orang tahu."
Bram bukan cuma ahli strategi kenakalan.
Dia juga ahli menyembunyikan cinta. Atau tepatnya:
berusaha sembunyi tapi gagal.
Cewek itu sekretaris OSIS. Rapi, kalem, manis, rambutnya dikuncir
dua kayak karakter anime yang lulus pesantren. Bram pengen kayak nggak naksir,
tapi bukti-buktinya:
- Absensinya
tiba-tiba rapi.
- Dia
rajin hadir di acara OSIS padahal bukan anggota.
- Setiap
kerja kelompok, dia sok mengarahkan topik ke hal-hal dewasa seperti
“Etika Komunikasi”—padahal jelas dia cuma pengen waktu lebih lama sama
cewek itu.
Suatu hari, di kantin, sambil makan batagor tiga tusuk (karena
kantong pas-pasan), Bram mendesah kayak tokoh utama drama Korea:
“Bro… dia bukan pacarku… tapi ya gitu deh.”
Aku ngangguk kayak ngerti, padahal enggak.
Tapi semua orang yang pernah naksir diam-diam pasti paham arti kalimat itu.
“Ya gitu deh” =
Cinta yang tidak mengecewakan, tidak juga membahagiakan.
Cuma… menggantung manis.
Kakak Kelas Manis & Keberanian Yang Nggak Pernah
Tiba
"Ketika cinta cuma berani dipikirkan, bukan diucapkan."
Kalau Bram sibuk dengan sekretaris OSIS, aku punya tokoh favorit
sendiri:
Kakak kelas berseragam basket.
Cantik, sporty, dan selalu wangi.
Tiap lewat depan kelas, jantungku pindah ke tenggorokan.
Teman-teman suka nge-set takdir palsu:
“Nuck, ke kantin gih, tuh ada dia. Mumpung sepi.”
Dan aku pun jalan ke kantin seperti robot yang engselnya aus.
Puncaknya terjadi saat kami sama-sama antre es cendol.
Dia menoleh, senyum ringan.
“Eh, kamu anak X IPA 3, ya?”
Dan aku menjawab dengan tingkat kebodohan yang layak diabadikan
dalam museum:
“Aku… suka… es, Mbak.”
Hening panjang.
Bahkan kipas kantin pun seperti berhenti berputar.
Dia cuma tersenyum ramah. “Hehe, iya… enak ya.”
Lalu pergi.
Sedangkan aku?
Mikir pindah sekolah.
Catatan Akhir: Kenakalan, Cinta, Dan Hal-Hal Yang
Nggak Kita Ucapkan
SMA itu bukan cuma soal ranking atau UN.
SMA adalah tempat:
- Mercon
kecil menjadi legenda,
- Cinta
diam-diam menjadi energi rahasia,
- Keberanian
selalu datang… terlambat,
- Dan tawa
menjadi mata uang sah persahabatan.
Nanti, saat kita dewasa dan sibuk mengejar kehidupan, kita bakal
sadar:
Kenangan terbaik bukanlah nilai di rapor.
Tapi hati yang pernah berdebar,
tawa yang pernah meledak,
dan kebodohan yang kini justru bikin kita tersenyum.
Dan mungkin…
di dalam hati yang sudah dewasa ini,
kita masih menyimpan sedikit versi remaja kita,
agar hidup tetap hangat, lucu, dan manusiawi.