Hari-hari kuliah akhirnya masuk fase yang bisa dibilang lumayan
jinak. Bukan berarti ringan—jangan salah—tetap padat seperti angkot warna
biru jurusan Arjosari–Landungsari pas jam pulang kerja. Tapi setidaknya aku
sudah hafal iramanya. Aku tahu jam berapa harus berangkat supaya tidak telat,
jalan pintas mana yang bisa memotong sepuluh menit hidup, dan waktu paling aman
buat antre fotokopi tanpa harus adu tatap mata dengan mahasiswa tingkat akhir
yang matanya lebih lelah dari dompetku.
Aku juga mulai paham karakter dosen-dosen. Ada yang kalau ngajar
rasanya seperti nonton stand-up comedy—materinya berat, tapi cara nyampeinnya
bikin ketawa, walau kita tetap nggak lulus kuis dadakan. Ada juga yang
ngomongnya datar kayak pembaca berita jam lima pagi, suaranya tenang tapi bikin
kepala mengangguk tanpa izin. Dan ada satu dosen favoritku, yang setiap
menjelaskan teori sosial selalu diawali dengan kalimat,
“Ini penting untuk hidup kalian nanti.”
Padahal hidup kami waktu itu cuma mikirin satu hal: makan apa malam ini.
Tapi pelajaran paling keras justru datang dari luar kelas.
Malang tidak mengajariku teori ekonomi dengan grafik dan rumus.
Malang mengajariku ngirit uang saku, hidup bareng orang-orang dengan
logat dan kebiasaan beda, jatuh cinta dengan cara sederhana, patah hati tanpa
perlu soundtrack sinetron, dan yang paling bikin dada penuh tapi kepala kosong:
mencari siapa aku sebenarnya.
Malang di Malam Hari: Sepi yang Hidup
Malam di Malang itu bukan sunyi. Jangan salah. Ia hidup—dengan
caranya sendiri. Kadang merdu, kadang bikin bulu kuduk berdiri. Bersama Mas
Iwan, kakak sepupuku yang katanya calon MBA tapi lebih sering jadi calon
traktiran, Mbak Lisa mahasiswa kedokteran pecinta angsle yang senyumnya bisa
mengalahkan gula pasir, dan Budi Mahmudi—partner setia keliling kota sekaligus
sumber ide-ide absurd yang tak pernah masuk akal—kami menjelajah malam dengan
Alfa 2R.
Motor kecil. Tapi jiwanya gede. Kayak kami.
Tujuan kami sering tak jelas. Kadang cuma bilang,
“Gas dulu aja, nanti juga nemu.”
Dan benar. Kami selalu nemu sesuatu.
Jagung bakar Pulosari, di mana asap bercampur cerita. Mas Iwan
ngomel soal tugas, Mbak Lisa cerita koas yang bikin merinding, aku dan Budi
debat serius soal hidup… lalu berakhir ketawa karena jagung kami gosong.
Ronde dan angsle di Zainul Arifin—hangat di tubuh, hangat di hati.
Malam dingin, tangan memegang mangkuk, dan obrolan ngalir pelan-pelan. Rasanya
kayak hidup berhenti sebentar, memberi waktu buat bernapas.
Bakso President—tempat makan yang ngajarin satu hal penting: hidup
itu soal keseimbangan antara nikmat dan waspada. Rel kereta dua meter dari
meja, dentumannya bikin jantung loncat. Makan sambil deg-degan. Sensasi ganda.
Seperti masa muda itu sendiri.
Rujak manis dan rujak cingur Pasar Klojen—rasa yang campur aduk,
manis, asin, pedas, dan bau… tapi nagih. Seperti kenangan.
Kadang kami nyelonong ke kafe pinggiran kota. Kadang juga ke
diskotik kecil dengan lampu kedap-kedip, musik keras, dan lantai yang lengket
entah karena apa. Kami menari seadanya, pura-pura paham cara hidup orang
dewasa. Padahal dalam hati masing-masing masih anak-anak yang belajar menaruh
kaki di dunia baru.
Aku selalu ingat satu hal: bersenang-senang boleh, tapi tetap tahu
jalan pulang.
Kota Ini, Jiwa Ini
Malang bukan sekadar tempat tinggal. Ia panggung besar. Dan
aku—yang dulu sering duduk di bangku belakang—pelan-pelan belajar jadi tokoh
utama dalam hidupku sendiri.
Kadang grogi.
Kadang salah dialog.
Kadang lupa skrip.
Tapi entah kenapa, panggung ini terasa benar.
Di kota ini aku paham: hidup bukan tentang rencana yang sempurna.
Tapi tentang keberanian melangkah, meski tak tahu apa yang menunggu di depan.
Dan suatu hari nanti, saat aku kembali ke kota ini sebagai pria dewasa—wajah
lebih matang, rambut lebih tipis, dompet lebih tebal (amin)—aku ingin melintasi
Jalan Dr. Sutomo dan berkata pada diriku sendiri:
“Di sinilah aku pernah jatuh, bangun, tertawa, takut, jatuh cinta,
dan menyapa masa depan dengan rasa malu-malu.”
Catatan Nucky: hidup itu kumpulan potongan kecil ketenangan. Tawa,
rindu, jatuh cinta, semuanya guru. Dan mereka bilang hal yang sama: berani
melangkah—meski tanpa kepastian—itulah kunci jadi tokoh utama.
Perempuan, Persahabatan, dan Secuil Asmara yang
Gagal Berkembang
Hari-hariku di Malang tak pernah benar-benar sepi. Kampus seperti
panggung teater raksasa. Wajah baru setiap hari, masing-masing membawa skrip
kehidupan yang belum pernah kubaca.
Ada anak Jakarta, metroseksual, parfumnya lebih mahal dari uang
makanku sebulan. Ceritanya soal kafe di Kemang, nongkrong sampai subuh, dan
kopi yang harganya bikin aku pengen minum air keran.
Ada anak petani dari Blitar. Pintar. Pendiam. Bajunya lusuh, tapi
pikirannya tajam. Ia mengajariku bahwa kecerdasan tidak pernah bertanya soal
merek sepatu.
Dan ada Dwi dari Kediri.
Berponi. Senyumnya seperti teh hangat pagi hari. Tidak membuat
jatuh cinta seketika, tapi cukup bikin jantungku berjalan sedikit lebih cepat
selama beberapa minggu. Kami ngobrol, tertawa kecil, saling pinjam catatan.
Tapi hanya sampai di situ.
Kagum.
Bukan cinta.
Hatiku masih penuh kenangan yang belum sempat pamit.
Mengingat yang Telah Pergi
Di sela-sela tugas kuliah, aku sering melamun. Bukan soal teori
sosial. Tapi soal orang-orang lama.
Yanti—teman SMA, partner lomba puisi. Entah kini di mana.
Tisa—gadis kecil centil dari gang sebelah, yang dulu bisa bikin drama hanya
dari permen karet.
Tedy—si sangar Genk F2, otaknya acak tapi hatinya luas, dengan cerita-cerita
absurd yang selalu bikin rindu.
Dulu kami Genk F2. Tak terpisahkan. Kini berbulan-bulan tanpa
kabar.
Apakah mereka juga duduk di kota asing, menatap langit-langit
kamar, sambil mendengarkan lagu yang sama?
Lagu-Lagu Itu: Mesin Waktu
Musik adalah mesin waktu. Lagu-lagu itu muncul tanpa permisi—di
warung kopi, angkot, atau dari kamar sebelah.
“My Heart Will Go On.”
Angin dingin malam kelulusan. Pelukan. Janji tak lupa. Lalu waktu menghapus
perlahan.
“I Will Survive.”
Dosen galak. Diusir karena lupa tanda tangan. Lagu penyelamat mahasiswa kere
tapi keras kepala.
“Unchained Melody.”
Dan aku kembali ke malam itu. Mobil pinjaman kakak sepupu. Delapan anak Genk
Taman Griya. Jaket kulit. Cologne murahan. Musik keras. Kami tertawa, pura-pura
berani, padahal cuma anak-anak yang sedang mencari rumah.
Rumah Tua di Dr. Sutomo dan Panggilan Magis
Pulang malam ke rumah Oom di Dr. Sutomo 10 selalu terasa seperti
masuk dunia lain. Rumah Belanda tua. Megah. Sepi.
Pintu berderit sendiri.
Langkah samar di plafon.
Angin membawa suara yang tak bisa dijelaskan.
Aku sudah biasa. Bahkan kadang bicara sendiri,
“Kalau mau duduk, duduklah. Asal jangan ganggu.”
Di rumah itu aku bukan cuma mahasiswa. Aku sopir adik sepupu.
Tukang belanja. Tukang antar. Tukang galon. Tukang hidup. Menjalani hari dengan
sadar: ini bukan tempatku menetap selamanya.
Pagi di Malang: Segalanya Masih Mungkin
Subuh datang pelan. Salat di pojok paviliun. Lalu keluar,
menyusuri Jalan Kenari yang dingin dan jujur.
Kabut turun.
Ibu-ibu menyapu halaman.
Bapak-bapak bersepeda tua.
Anak-anak digandeng ke TK.
Dan kota Malang seakan menepuk pundakku, berbisik:
“Jangan buru-buru jadi dewasa. Nikmati langkahmu.”
Aku berjalan perlahan, bertanya dalam hati:
Apakah Bram dan Tedy bahagia di Unair?
Apa kabar Budi Mahmudi setelah semua kegilaannya?
Akankah Genk F2 kembali melingkar, tertawa, dan bercerita ulang?
Aku tidak tahu jawabannya.
Yang aku tahu: hidup bergerak maju.
Dan Malang—dengan dinginnya, tawa kecilnya, dan sepi yang hidup—telah
menanamkan sesuatu di jiwaku.
Sesuatu yang akan selalu pulang.
Hujan, Doa-Doa Pendek, dan Rasa Tak Bernama
Musim hujan datang ke Malang tanpa permisi. Seperti tamu lama yang
tak pernah lupa alamat. Pagi cerah bisa berubah jadi sore murung hanya dalam
hitungan menit. Jalanan basah, jaket lembap, dan sepatu yang baunya makin jujur
tentang usia pemiliknya.
Aku mulai terbiasa berjalan cepat sambil menunduk, menghindari
cipratan motor, sambil mengeluh kecil dalam hati,
“Ya Allah, kalau hujan ini rezeki, kenapa jatuhnya ke sepatu saya terus?”
Hari-hari tetap berjalan. Kuliah, tugas, fotokopi, makan murah,
tidur sebentar, lalu ulang lagi. Hidup mahasiswa seperti kaset pita yang
diputar ulang—kadang seru, kadang kusut, kadang ingin direkam ulang tapi tak
tahu caranya.
Di sela hujan itu, aku sering duduk sendirian di teras rumah tua
Dr. Sutomo. Menatap jalan yang basah. Mendengar suara air jatuh dari talang.
Dan entah kenapa, di momen seperti itu, pikiranku jadi paling berisik.
Aku mulai banyak berdoa. Doa-doa pendek. Tidak puitis. Tidak juga
panjang. Doa yang jujur, kadang malu-malu.
“Ya Allah, kalau aku sedang di jalan yang benar, tolong kuatkan.”
“Kalau aku salah arah, tolong pelankan langkahku.”
“Dan kalau aku sendirian… tolong jangan biarkan aku merasa sendirian.”
Doa-doa itu tidak selalu langsung dijawab. Tapi entah kenapa,
setelah mengucapkannya, dadaku terasa sedikit lebih ringan. Seperti ransel
berat yang talinya dikendurkan satu lubang.
Budi Mahmudi dan Percakapan Tengah Malam
Suatu malam, Budi Mahmudi datang ke rumah. Mukanya kusut, bajunya
basah, dan ekspresinya seperti orang kalah taruhan sama hidup.
“Kenapa, Bud?” tanyaku sambil menuang teh panas.
Ia menghela napas panjang.
“Gue capek, Ky. Capek mikir harus jadi siapa.”
Aku tertawa kecil.
“Kalau lo udah tahu jawabannya, justru patut dicurigai.”
Kami duduk berhadapan. Teh mengepul. Hujan di luar masih rajin
turun. Percakapan mengalir pelan, seperti sungai kecil yang tidak tahu akan
berakhir di laut mana.
“Kadang gue ngerasa kita ini kayak numpang hidup,” katanya.
“Maksud lo?”
“Ya… sekolah, kuliah, nongkrong. Tapi sebenernya nggak tahu mau ke mana.”
Aku diam sebentar. Lalu menjawab jujur,
“Mungkin memang begitu. Kita ini bukan lagi anak-anak, tapi juga belum dewasa.
Lagi nyasar, tapi masih sopan.”
Budi tertawa. Tawa pendek, tapi tulus.
“Kalau nyasar tapi rame-rame, masih enak ya.”
“Yang bahaya itu nyasar sendirian tapi sok tahu jalan.”
Malam itu kami tidak menemukan jawaban apa pun. Tapi kami
menemukan sesuatu yang lebih penting: teman untuk berbagi kebingungan.
Kelas, Nilai, dan Harga Diri
Nilai ujian pertama keluar. Tidak buruk. Tidak juga membanggakan.
Cukup untuk bertahan hidup, tidak cukup untuk dipamerkan.
Aku menatap kertas nilai itu lama-lama. Bukan karena angkanya.
Tapi karena pertanyaan di kepala: apakah aku benar-benar belajar, atau hanya
bertahan?
Seorang teman menepuk pundakku.
“Yang penting lulus, Ky.”
Aku mengangguk. Tapi dalam hati ada suara kecil yang nyeletuk,
“Lulus dari apa? Mata kuliah… atau dari ketakutan?”
Aku mulai rajin duduk di barisan depan. Bukan karena ingin
terlihat pintar, tapi karena ingin dekat dengan sumber suara. Aku mulai
bertanya. Kadang pertanyaanku biasa saja. Kadang melenceng. Tapi aku bertanya.
Dan dari situ aku belajar satu hal: harga diri tidak selalu datang
dari jawaban yang benar, tapi dari keberanian membuka mulut.
Perempuan Itu Kembali—Dalam Bentuk Kenangan
Suatu sore, tanpa sebab jelas, kenangan lama datang. Seperti iklan
lama yang muncul di TV tengah malam.
Aku teringat seseorang dari masa lalu. Bukan karena rindu yang
menggebu. Tapi karena ada rasa belum selesai. Seperti kalimat yang lupa
dititik.
Aku tersenyum sendiri.
“Kenapa sih yang udah lewat selalu kelihatan lebih indah?”
Mungkin karena masa lalu tidak bisa menyakiti kita lagi. Ia hanya
bisa mengingatkan.
Aku tidak menghubungi siapa pun. Tidak juga menulis surat. Aku
hanya duduk diam, menerima kenyataan: beberapa orang memang tidak ditakdirkan
tinggal lama. Mereka hanya mampir, memberi warna, lalu pergi.
Dan itu tidak apa-apa.
Malam yang Membuatku Mengerti
Ada satu malam, setelah semua lampu dimatikan, setelah suara kota
meredup, aku berbaring sambil menatap langit-langit kamar.
Aku tidak merasa sedih.
Tidak juga bahagia.
Aku merasa cukup.
Dan di situlah aku mengerti: mungkin tujuan hidup bukan selalu
soal pencapaian besar. Kadang ia hadir dalam bentuk sederhana—malam yang
tenang, hati yang tidak gaduh, dan keyakinan kecil bahwa besok masih ada.
Aku menutup mata sambil berkata pelan dalam hati:
“Terima kasih, Malang. Karena tidak menjawab semua pertanyaanku.
Tapi mengajariku cara hidup bersama pertanyaan itu.”
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku tertidur tanpa gelisah.