Langsung ke konten utama

18 - GEMERLAP MALANG DAN DETAK DETAK PENCARIAN JATI DIRI

 



Hari-hari kuliah akhirnya masuk fase yang bisa dibilang lumayan jinak. Bukan berarti ringan—jangan salah—tetap padat seperti angkot warna biru jurusan Arjosari–Landungsari pas jam pulang kerja. Tapi setidaknya aku sudah hafal iramanya. Aku tahu jam berapa harus berangkat supaya tidak telat, jalan pintas mana yang bisa memotong sepuluh menit hidup, dan waktu paling aman buat antre fotokopi tanpa harus adu tatap mata dengan mahasiswa tingkat akhir yang matanya lebih lelah dari dompetku.

Aku juga mulai paham karakter dosen-dosen. Ada yang kalau ngajar rasanya seperti nonton stand-up comedy—materinya berat, tapi cara nyampeinnya bikin ketawa, walau kita tetap nggak lulus kuis dadakan. Ada juga yang ngomongnya datar kayak pembaca berita jam lima pagi, suaranya tenang tapi bikin kepala mengangguk tanpa izin. Dan ada satu dosen favoritku, yang setiap menjelaskan teori sosial selalu diawali dengan kalimat,
“Ini penting untuk hidup kalian nanti.”
Padahal hidup kami waktu itu cuma mikirin satu hal: makan apa malam ini.

Tapi pelajaran paling keras justru datang dari luar kelas.

Malang tidak mengajariku teori ekonomi dengan grafik dan rumus. Malang mengajariku ngirit uang saku, hidup bareng orang-orang dengan logat dan kebiasaan beda, jatuh cinta dengan cara sederhana, patah hati tanpa perlu soundtrack sinetron, dan yang paling bikin dada penuh tapi kepala kosong: mencari siapa aku sebenarnya.

 

Malang di Malam Hari: Sepi yang Hidup

Malam di Malang itu bukan sunyi. Jangan salah. Ia hidup—dengan caranya sendiri. Kadang merdu, kadang bikin bulu kuduk berdiri. Bersama Mas Iwan, kakak sepupuku yang katanya calon MBA tapi lebih sering jadi calon traktiran, Mbak Lisa mahasiswa kedokteran pecinta angsle yang senyumnya bisa mengalahkan gula pasir, dan Budi Mahmudi—partner setia keliling kota sekaligus sumber ide-ide absurd yang tak pernah masuk akal—kami menjelajah malam dengan Alfa 2R.

Motor kecil. Tapi jiwanya gede. Kayak kami.

Tujuan kami sering tak jelas. Kadang cuma bilang,
“Gas dulu aja, nanti juga nemu.”

Dan benar. Kami selalu nemu sesuatu.

Jagung bakar Pulosari, di mana asap bercampur cerita. Mas Iwan ngomel soal tugas, Mbak Lisa cerita koas yang bikin merinding, aku dan Budi debat serius soal hidup… lalu berakhir ketawa karena jagung kami gosong.

Ronde dan angsle di Zainul Arifin—hangat di tubuh, hangat di hati. Malam dingin, tangan memegang mangkuk, dan obrolan ngalir pelan-pelan. Rasanya kayak hidup berhenti sebentar, memberi waktu buat bernapas.

Bakso President—tempat makan yang ngajarin satu hal penting: hidup itu soal keseimbangan antara nikmat dan waspada. Rel kereta dua meter dari meja, dentumannya bikin jantung loncat. Makan sambil deg-degan. Sensasi ganda. Seperti masa muda itu sendiri.

Rujak manis dan rujak cingur Pasar Klojen—rasa yang campur aduk, manis, asin, pedas, dan bau… tapi nagih. Seperti kenangan.

Kadang kami nyelonong ke kafe pinggiran kota. Kadang juga ke diskotik kecil dengan lampu kedap-kedip, musik keras, dan lantai yang lengket entah karena apa. Kami menari seadanya, pura-pura paham cara hidup orang dewasa. Padahal dalam hati masing-masing masih anak-anak yang belajar menaruh kaki di dunia baru.

Aku selalu ingat satu hal: bersenang-senang boleh, tapi tetap tahu jalan pulang.

 

Kota Ini, Jiwa Ini

Malang bukan sekadar tempat tinggal. Ia panggung besar. Dan aku—yang dulu sering duduk di bangku belakang—pelan-pelan belajar jadi tokoh utama dalam hidupku sendiri.

Kadang grogi.
Kadang salah dialog.
Kadang lupa skrip.

Tapi entah kenapa, panggung ini terasa benar.

Di kota ini aku paham: hidup bukan tentang rencana yang sempurna. Tapi tentang keberanian melangkah, meski tak tahu apa yang menunggu di depan. Dan suatu hari nanti, saat aku kembali ke kota ini sebagai pria dewasa—wajah lebih matang, rambut lebih tipis, dompet lebih tebal (amin)—aku ingin melintasi Jalan Dr. Sutomo dan berkata pada diriku sendiri:

“Di sinilah aku pernah jatuh, bangun, tertawa, takut, jatuh cinta, dan menyapa masa depan dengan rasa malu-malu.”

Catatan Nucky: hidup itu kumpulan potongan kecil ketenangan. Tawa, rindu, jatuh cinta, semuanya guru. Dan mereka bilang hal yang sama: berani melangkah—meski tanpa kepastian—itulah kunci jadi tokoh utama.

 

Perempuan, Persahabatan, dan Secuil Asmara yang Gagal Berkembang

Hari-hariku di Malang tak pernah benar-benar sepi. Kampus seperti panggung teater raksasa. Wajah baru setiap hari, masing-masing membawa skrip kehidupan yang belum pernah kubaca.

Ada anak Jakarta, metroseksual, parfumnya lebih mahal dari uang makanku sebulan. Ceritanya soal kafe di Kemang, nongkrong sampai subuh, dan kopi yang harganya bikin aku pengen minum air keran.

Ada anak petani dari Blitar. Pintar. Pendiam. Bajunya lusuh, tapi pikirannya tajam. Ia mengajariku bahwa kecerdasan tidak pernah bertanya soal merek sepatu.

Dan ada Dwi dari Kediri.

Berponi. Senyumnya seperti teh hangat pagi hari. Tidak membuat jatuh cinta seketika, tapi cukup bikin jantungku berjalan sedikit lebih cepat selama beberapa minggu. Kami ngobrol, tertawa kecil, saling pinjam catatan. Tapi hanya sampai di situ.

Kagum.
Bukan cinta.

Hatiku masih penuh kenangan yang belum sempat pamit.

 

Mengingat yang Telah Pergi

Di sela-sela tugas kuliah, aku sering melamun. Bukan soal teori sosial. Tapi soal orang-orang lama.

Yanti—teman SMA, partner lomba puisi. Entah kini di mana.
Tisa—gadis kecil centil dari gang sebelah, yang dulu bisa bikin drama hanya dari permen karet.
Tedy—si sangar Genk F2, otaknya acak tapi hatinya luas, dengan cerita-cerita absurd yang selalu bikin rindu.

Dulu kami Genk F2. Tak terpisahkan. Kini berbulan-bulan tanpa kabar.

Apakah mereka juga duduk di kota asing, menatap langit-langit kamar, sambil mendengarkan lagu yang sama?

 

Lagu-Lagu Itu: Mesin Waktu

Musik adalah mesin waktu. Lagu-lagu itu muncul tanpa permisi—di warung kopi, angkot, atau dari kamar sebelah.

“My Heart Will Go On.”
Angin dingin malam kelulusan. Pelukan. Janji tak lupa. Lalu waktu menghapus perlahan.

“I Will Survive.”
Dosen galak. Diusir karena lupa tanda tangan. Lagu penyelamat mahasiswa kere tapi keras kepala.

“Unchained Melody.”
Dan aku kembali ke malam itu. Mobil pinjaman kakak sepupu. Delapan anak Genk Taman Griya. Jaket kulit. Cologne murahan. Musik keras. Kami tertawa, pura-pura berani, padahal cuma anak-anak yang sedang mencari rumah.

 

Rumah Tua di Dr. Sutomo dan Panggilan Magis

Pulang malam ke rumah Oom di Dr. Sutomo 10 selalu terasa seperti masuk dunia lain. Rumah Belanda tua. Megah. Sepi.

Pintu berderit sendiri.
Langkah samar di plafon.
Angin membawa suara yang tak bisa dijelaskan.

Aku sudah biasa. Bahkan kadang bicara sendiri,
“Kalau mau duduk, duduklah. Asal jangan ganggu.”

Di rumah itu aku bukan cuma mahasiswa. Aku sopir adik sepupu. Tukang belanja. Tukang antar. Tukang galon. Tukang hidup. Menjalani hari dengan sadar: ini bukan tempatku menetap selamanya.

 

Pagi di Malang: Segalanya Masih Mungkin

Subuh datang pelan. Salat di pojok paviliun. Lalu keluar, menyusuri Jalan Kenari yang dingin dan jujur.

Kabut turun.
Ibu-ibu menyapu halaman.
Bapak-bapak bersepeda tua.
Anak-anak digandeng ke TK.

Dan kota Malang seakan menepuk pundakku, berbisik:
“Jangan buru-buru jadi dewasa. Nikmati langkahmu.”

Aku berjalan perlahan, bertanya dalam hati:

Apakah Bram dan Tedy bahagia di Unair?
Apa kabar Budi Mahmudi setelah semua kegilaannya?
Akankah Genk F2 kembali melingkar, tertawa, dan bercerita ulang?

Aku tidak tahu jawabannya.

Yang aku tahu: hidup bergerak maju.
Dan Malang—dengan dinginnya, tawa kecilnya, dan sepi yang hidup—telah menanamkan sesuatu di jiwaku.

Sesuatu yang akan selalu pulang.

Hujan, Doa-Doa Pendek, dan Rasa Tak Bernama

Musim hujan datang ke Malang tanpa permisi. Seperti tamu lama yang tak pernah lupa alamat. Pagi cerah bisa berubah jadi sore murung hanya dalam hitungan menit. Jalanan basah, jaket lembap, dan sepatu yang baunya makin jujur tentang usia pemiliknya.

Aku mulai terbiasa berjalan cepat sambil menunduk, menghindari cipratan motor, sambil mengeluh kecil dalam hati,
“Ya Allah, kalau hujan ini rezeki, kenapa jatuhnya ke sepatu saya terus?”

Hari-hari tetap berjalan. Kuliah, tugas, fotokopi, makan murah, tidur sebentar, lalu ulang lagi. Hidup mahasiswa seperti kaset pita yang diputar ulang—kadang seru, kadang kusut, kadang ingin direkam ulang tapi tak tahu caranya.

Di sela hujan itu, aku sering duduk sendirian di teras rumah tua Dr. Sutomo. Menatap jalan yang basah. Mendengar suara air jatuh dari talang. Dan entah kenapa, di momen seperti itu, pikiranku jadi paling berisik.

Aku mulai banyak berdoa. Doa-doa pendek. Tidak puitis. Tidak juga panjang. Doa yang jujur, kadang malu-malu.

“Ya Allah, kalau aku sedang di jalan yang benar, tolong kuatkan.”
“Kalau aku salah arah, tolong pelankan langkahku.”
“Dan kalau aku sendirian… tolong jangan biarkan aku merasa sendirian.”

Doa-doa itu tidak selalu langsung dijawab. Tapi entah kenapa, setelah mengucapkannya, dadaku terasa sedikit lebih ringan. Seperti ransel berat yang talinya dikendurkan satu lubang.

 

Budi Mahmudi dan Percakapan Tengah Malam

Suatu malam, Budi Mahmudi datang ke rumah. Mukanya kusut, bajunya basah, dan ekspresinya seperti orang kalah taruhan sama hidup.

“Kenapa, Bud?” tanyaku sambil menuang teh panas.

Ia menghela napas panjang.
“Gue capek, Ky. Capek mikir harus jadi siapa.”

Aku tertawa kecil.
“Kalau lo udah tahu jawabannya, justru patut dicurigai.”

Kami duduk berhadapan. Teh mengepul. Hujan di luar masih rajin turun. Percakapan mengalir pelan, seperti sungai kecil yang tidak tahu akan berakhir di laut mana.

“Kadang gue ngerasa kita ini kayak numpang hidup,” katanya.
“Maksud lo?”
“Ya… sekolah, kuliah, nongkrong. Tapi sebenernya nggak tahu mau ke mana.”

Aku diam sebentar. Lalu menjawab jujur,
“Mungkin memang begitu. Kita ini bukan lagi anak-anak, tapi juga belum dewasa. Lagi nyasar, tapi masih sopan.”

Budi tertawa. Tawa pendek, tapi tulus.
“Kalau nyasar tapi rame-rame, masih enak ya.”
“Yang bahaya itu nyasar sendirian tapi sok tahu jalan.”

Malam itu kami tidak menemukan jawaban apa pun. Tapi kami menemukan sesuatu yang lebih penting: teman untuk berbagi kebingungan.

 

Kelas, Nilai, dan Harga Diri

Nilai ujian pertama keluar. Tidak buruk. Tidak juga membanggakan. Cukup untuk bertahan hidup, tidak cukup untuk dipamerkan.

Aku menatap kertas nilai itu lama-lama. Bukan karena angkanya. Tapi karena pertanyaan di kepala: apakah aku benar-benar belajar, atau hanya bertahan?

Seorang teman menepuk pundakku.
“Yang penting lulus, Ky.”
Aku mengangguk. Tapi dalam hati ada suara kecil yang nyeletuk,
“Lulus dari apa? Mata kuliah… atau dari ketakutan?”

Aku mulai rajin duduk di barisan depan. Bukan karena ingin terlihat pintar, tapi karena ingin dekat dengan sumber suara. Aku mulai bertanya. Kadang pertanyaanku biasa saja. Kadang melenceng. Tapi aku bertanya.

Dan dari situ aku belajar satu hal: harga diri tidak selalu datang dari jawaban yang benar, tapi dari keberanian membuka mulut.

 

Perempuan Itu Kembali—Dalam Bentuk Kenangan

Suatu sore, tanpa sebab jelas, kenangan lama datang. Seperti iklan lama yang muncul di TV tengah malam.

Aku teringat seseorang dari masa lalu. Bukan karena rindu yang menggebu. Tapi karena ada rasa belum selesai. Seperti kalimat yang lupa dititik.

Aku tersenyum sendiri.
“Kenapa sih yang udah lewat selalu kelihatan lebih indah?”

Mungkin karena masa lalu tidak bisa menyakiti kita lagi. Ia hanya bisa mengingatkan.

Aku tidak menghubungi siapa pun. Tidak juga menulis surat. Aku hanya duduk diam, menerima kenyataan: beberapa orang memang tidak ditakdirkan tinggal lama. Mereka hanya mampir, memberi warna, lalu pergi.

Dan itu tidak apa-apa.

 

Malam yang Membuatku Mengerti

Ada satu malam, setelah semua lampu dimatikan, setelah suara kota meredup, aku berbaring sambil menatap langit-langit kamar.

Aku tidak merasa sedih.
Tidak juga bahagia.

Aku merasa cukup.

Dan di situlah aku mengerti: mungkin tujuan hidup bukan selalu soal pencapaian besar. Kadang ia hadir dalam bentuk sederhana—malam yang tenang, hati yang tidak gaduh, dan keyakinan kecil bahwa besok masih ada.

Aku menutup mata sambil berkata pelan dalam hati:

“Terima kasih, Malang. Karena tidak menjawab semua pertanyaanku. Tapi mengajariku cara hidup bersama pertanyaan itu.”

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku tertidur tanpa gelisah.




Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...