Langsung ke konten utama

17 - UNIVERSITAS MERDEKA : KIJANG KELUAR KANDANG - KAMPUS MEGAH YANG MENGINSPIRASI

 


Hari-hariku berubah total. Kalau sebelumnya aku hidup dalam ritme Bali yang santainya kebangetan—angin pantai yang selalu sok akrab, obrolan warung yang seperti kanal gosip nasional, dan waktu yang berjalan lembut macam tari legong—sekarang aku seperti ditarik masuk ke mesin cuci ukuran jumbo bernama Universitas Merdeka Malang.

Dari suasana rumahan jadi keramaian.
Dari kompleks kecil jadi lautan manusia.
Dari anak SMA jadi… seseorang yang harus pura-pura dewasa demi bertahan hidup.

Sungguh, masuk kampus itu rasanya kayak jadi kijang keluar kandang—bebas, tapi bego arah. Lari-lari, mentok tiang, mundur dikit, terus lari lagi.

Dan aku? Ya begitu. Kijang pemula.

 

OSPEK: Dunia Baru Dengan Aturan Lama

Hari pertama ospek datang seperti petasan cap badak—meledak tanpa permisi.

“Mahasiswa baru, kumpul jam ENAM pagiiii!”
Suara senior itu menggelegar, bikin kupikir dia dulu waktu bayi pasti nggak nangis, tapi langsung orasi.

Atribut kami ajaib:

  • Topi karton bentuk kerucut, mirip cone es krim yang disobek harga diskonnya.
  • Pita warna-warni di lengan, kayak barang ‘merch’ festival musik murah meriah.
  • Name tag segede tampah—kalau dilempar bisa jadi senjata.

Dan tiap hari kami wajib bawa tanaman hidup. Entahlah… mungkin kampus ingin memastikan kami punya sifat peduli, atau setidaknya ada sesuatu yang masih hidup meski kami hampir mati diteriaki.

Tapi, jujur ya…
Di balik segala tugas absurd itu, aku mulai melihat sesuatu yang manis: rasa senasib.
Kami semua sama-sama bingung. Sama-sama takut. Sama-sama cari teman untuk bertahan.

 

Indonesia Mini Di Lapangan Basket

Lapangan basket kampus berubah jadi wadah Indonesia Mini:

  • Yohan dari Papua, topinya selalu terbalik, senyumnya lebar kayak garis pantai Sentani.
  • Ina dari Kupang, logatnya seindah puisi rakyat—kalimat biasa pun terdengar kayak mantra penyembuh luka.
  • Rino dari Jakarta, serius luar biasa, tapi kalau lagi iseng, beatbox-nya bisa ngalahin suara kipas angin kampus yang sering batuk.
  • Dan Nanik dari Mataram, gadis manis yang bikin detak jantungku kadang lupa jadwal operasionalnya.

Saat nama mereka masuk dalam hidupku, aku merasa lagi nonton film besar—kita semua pemeran utama cerita masing-masing… tapi tiba-tiba saling nyebrang di semesta yang sama.

 

Kelas Besar, Diri Kecil

Hari kuliah pertama, aku masuk kelas yang besarnya setara ruang rapat DPR mini.
Serius, kelas itu bisa diisi 120 orang. Dosen berdiri jauh di depan seperti orator yang sedang bicara ke barisan pasukan.

Aku duduk di tengah.
Berusaha dengar suara dosen yang kalah sama kipas angin kuno di atas—kipas yang bunyinya kayak mesin ketik profesi masa lalu.

Di sebelahku, orang-orang sibuk mencatat. Sementara aku masih cari halaman.

Dalam hati aku gumam:
“Nuck, ini baru bab satu. Santai. Kijang butuh waktu.”

 

Antara Tugas, Rindu Rumah, Dan Nasi Pecel Kaki Lima

Malam-malam perantauan itu aneh.
Sunyinya bukan sunyi pantai… tapi sunyi antara suara motor lewat dan kucing tawuran di gang.

Rindu rumah datang paling kencang saat mencuci baju sendiri.
Serius, nggak ada yang lebih filosofis dari momen saat kaus favoritmu bau deterjen tapi hatimu bau kangen.

Nasi pecel kaki lima jadi penyelamat.
Dengan uang kembalian fotokopi pun bisa makan.

Kalau sudah mentok lelah, aku jalan ke alun-alun.
Duduk. Lihat langit.
Bertanya hal-hal konyol:
“Tuhan, kalau aku hilang arah, boleh gak kau pasang plang kecil, minimal petunjuk belok kiri?”

 

Nani Dari Mataram, Dan Tembok Tak Nampak Bernama Teman

Dari semua wajah baru, satu yang membuat dunia tiba-tiba jadi slow-motion: Nani.

Rambut sebahu. Senyum lembut.
Matanya… wah, matanya itu, seperti ada cerita kecil yang belum ia berani ceritakan.

Dan iya…
Dia mirip Ayu Azhari versi mahasiswi 90-an.
Ayu Azhari yang nggak berusaha jadi Ayu Azhari.
Natural. Tulus.

Tapi sebelum aku sempat memulai percakapan, Teguh—teman sekotanya yang bertampang seperti hasil campuran satpam diskotik dan anak pesantren—menepuk bahuku:

“It’s mine.”

Anjrit.
Singkat. Tegas.
Seperti label “JANGAN DISENTUH” di kulkas kos-kosan.

Aku cuma angguk.
Kijang tahu diri.

Di kemudian hari, aku baru paham…
Kadang kita kagum, tapi tidak harus memiliki.
Kadang yang indah justru jadi pelajaran, bukan tujuan.

 

Rumah Tua, Paviliun, Dan Cerita Yang Tak Kasat Mata

Aku tinggal di rumah tua Belanda milik Oom di Jalan Dr. Sutomo No. 10.
Rumah itu indah, tapi punya aura film lama—sedikit misterius, sedikit romantis, dan sedikit… angker.

Kamarku di paviliun lantai dua.
Jendelanya langsung menghadap Gunung Arjuna.
Setiap pagi, kabut menggantung seperti tirai bioskop sebelum film dimulai.

Suatu malam, Ratna dan Erna—dua sahabatku dari Bali—menginap.
Kamar tamu sudah dirapikan… eh, beberapa menit kemudian acak-acakan lagi.

Angin?
Mungkin.
Atau… ya sudahlah.

Budi Mahmudi, teman kamarku, pernah bangunin aku sambil pucat:

“Nuck… kasurku digoyangin. Tapi gak ada orang.”

Kami akhirnya tidur bareng di ruang tengah, lampu nyala semua.
Takut? Iya.
Tapi tawa kami justru bikin malam itu jadi hangat banget.

 

Pagi, Pohon Kenari, Dan Jalanan Yang Bercerita

Selepas Subuh, aku punya ritual kecil: jalan kaki menyusuri deretan pohon kenari tua.

Buahnya jatuh satu-satu, seperti denting waktu.
Kadetuk… kadetuk…

Aku pungut beberapa.
Entah buat apa.
Tapi anehnya ada damai kecil tiap kali menggenggamnya.

Kadang hidup memang begitu:
Kita memungut ketenangan dari hal-hal kecil di jalan panjang yang melelahkan.

 

CATATAN NUCKY : Seperti kijang keluar kandang, aku belajar bahwa kebebasan sejati bukan cuma soal lepas dari pagar…
tapi juga belajar arah, belajar batas, dan memahami bahwa dunia luas tak selalu perlu ditaklukkan—kadang cukup dipahami pelan-pelan.

Dan Nani?
Dia bukan tujuan.
Dia simbol bahwa setiap kekaguman punya jaraknya sendiri.
Dan menghargai jarak itu… adalah bentuk kedewasaan pertama yang aku pelajari.

 

 lanjut baca klik link : 18 - GEMERLAP MALANG DAN DETAK DETAK PENCARIAN JATI DIRI





Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...