Hari-hariku berubah total. Kalau sebelumnya aku hidup dalam ritme
Bali yang santainya kebangetan—angin pantai yang selalu sok akrab, obrolan
warung yang seperti kanal gosip nasional, dan waktu yang berjalan lembut macam
tari legong—sekarang aku seperti ditarik masuk ke mesin cuci ukuran jumbo
bernama Universitas Merdeka Malang.
Dari suasana rumahan jadi keramaian.
Dari kompleks kecil jadi lautan manusia.
Dari anak SMA jadi… seseorang yang harus pura-pura dewasa demi bertahan hidup.
Sungguh, masuk kampus itu rasanya kayak jadi kijang keluar
kandang—bebas, tapi bego arah. Lari-lari, mentok tiang, mundur dikit, terus
lari lagi.
Dan aku? Ya begitu. Kijang pemula.
OSPEK: Dunia Baru Dengan Aturan Lama
Hari pertama ospek datang seperti petasan cap badak—meledak tanpa
permisi.
“Mahasiswa baru, kumpul jam ENAM pagiiii!”
Suara senior itu menggelegar, bikin kupikir dia dulu waktu bayi pasti nggak
nangis, tapi langsung orasi.
Atribut kami ajaib:
- Topi
karton bentuk kerucut, mirip cone es krim yang disobek harga diskonnya.
- Pita
warna-warni di lengan, kayak barang ‘merch’ festival musik murah meriah.
- Name tag
segede tampah—kalau dilempar bisa jadi senjata.
Dan tiap hari kami wajib bawa tanaman hidup. Entahlah… mungkin
kampus ingin memastikan kami punya sifat peduli, atau setidaknya ada sesuatu
yang masih hidup meski kami hampir mati diteriaki.
Tapi, jujur ya…
Di balik segala tugas absurd itu, aku mulai melihat sesuatu yang manis: rasa
senasib.
Kami semua sama-sama bingung. Sama-sama takut. Sama-sama cari teman untuk
bertahan.
Indonesia Mini Di Lapangan Basket
Lapangan basket kampus berubah jadi wadah Indonesia Mini:
- Yohan
dari Papua, topinya selalu terbalik, senyumnya
lebar kayak garis pantai Sentani.
- Ina dari
Kupang, logatnya seindah puisi rakyat—kalimat
biasa pun terdengar kayak mantra penyembuh luka.
- Rino
dari Jakarta, serius luar biasa, tapi kalau lagi
iseng, beatbox-nya bisa ngalahin suara kipas angin kampus yang sering
batuk.
- Dan
Nanik dari Mataram, gadis manis yang bikin detak jantungku
kadang lupa jadwal operasionalnya.
Saat nama mereka masuk dalam hidupku, aku merasa lagi nonton film
besar—kita semua pemeran utama cerita masing-masing… tapi tiba-tiba saling
nyebrang di semesta yang sama.
Kelas Besar, Diri Kecil
Hari kuliah pertama, aku masuk kelas yang besarnya setara ruang
rapat DPR mini.
Serius, kelas itu bisa diisi 120 orang. Dosen berdiri jauh di depan seperti
orator yang sedang bicara ke barisan pasukan.
Aku duduk di tengah.
Berusaha dengar suara dosen yang kalah sama kipas angin kuno di atas—kipas yang
bunyinya kayak mesin ketik profesi masa lalu.
Di sebelahku, orang-orang sibuk mencatat. Sementara aku masih cari
halaman.
Dalam hati aku gumam:
“Nuck, ini baru bab satu. Santai. Kijang butuh waktu.”
Antara Tugas, Rindu Rumah, Dan Nasi Pecel Kaki Lima
Malam-malam perantauan itu aneh.
Sunyinya bukan sunyi pantai… tapi sunyi antara suara motor lewat dan kucing
tawuran di gang.
Rindu rumah datang paling kencang saat mencuci baju sendiri.
Serius, nggak ada yang lebih filosofis dari momen saat kaus favoritmu bau
deterjen tapi hatimu bau kangen.
Nasi pecel kaki lima jadi penyelamat.
Dengan uang kembalian fotokopi pun bisa makan.
Kalau sudah mentok lelah, aku jalan ke alun-alun.
Duduk. Lihat langit.
Bertanya hal-hal konyol:
“Tuhan, kalau aku hilang arah, boleh gak kau pasang plang kecil, minimal
petunjuk belok kiri?”
Nani Dari Mataram, Dan Tembok Tak Nampak Bernama
Teman
Dari semua wajah baru, satu yang membuat dunia tiba-tiba jadi
slow-motion: Nani.
Rambut sebahu. Senyum lembut.
Matanya… wah, matanya itu, seperti ada cerita kecil yang belum ia berani
ceritakan.
Dan iya…
Dia mirip Ayu Azhari versi mahasiswi 90-an.
Ayu Azhari yang nggak berusaha jadi Ayu Azhari.
Natural. Tulus.
Tapi sebelum aku sempat memulai percakapan, Teguh—teman sekotanya
yang bertampang seperti hasil campuran satpam diskotik dan anak
pesantren—menepuk bahuku:
“It’s mine.”
Anjrit.
Singkat. Tegas.
Seperti label “JANGAN DISENTUH” di kulkas kos-kosan.
Aku cuma angguk.
Kijang tahu diri.
Di kemudian hari, aku baru paham…
Kadang kita kagum, tapi tidak harus memiliki.
Kadang yang indah justru jadi pelajaran, bukan tujuan.
Rumah Tua, Paviliun, Dan Cerita Yang Tak Kasat Mata
Aku tinggal di rumah tua Belanda milik Oom di Jalan Dr. Sutomo No.
10.
Rumah itu indah, tapi punya aura film lama—sedikit misterius, sedikit romantis,
dan sedikit… angker.
Kamarku di paviliun lantai dua.
Jendelanya langsung menghadap Gunung Arjuna.
Setiap pagi, kabut menggantung seperti tirai bioskop sebelum film dimulai.
Suatu malam, Ratna dan Erna—dua sahabatku dari Bali—menginap.
Kamar tamu sudah dirapikan… eh, beberapa menit kemudian acak-acakan lagi.
Angin?
Mungkin.
Atau… ya sudahlah.
Budi Mahmudi, teman kamarku, pernah bangunin aku sambil pucat:
“Nuck… kasurku digoyangin. Tapi gak ada orang.”
Kami akhirnya tidur bareng di ruang tengah, lampu nyala semua.
Takut? Iya.
Tapi tawa kami justru bikin malam itu jadi hangat banget.
Pagi, Pohon Kenari, Dan Jalanan Yang Bercerita
Selepas Subuh, aku punya ritual kecil: jalan kaki menyusuri
deretan pohon kenari tua.
Buahnya jatuh satu-satu, seperti denting waktu.
Kadetuk… kadetuk…
Aku pungut beberapa.
Entah buat apa.
Tapi anehnya ada damai kecil tiap kali menggenggamnya.
Kadang hidup memang begitu:
Kita memungut ketenangan dari hal-hal kecil di jalan panjang yang melelahkan.
CATATAN NUCKY : Seperti
kijang keluar kandang, aku belajar bahwa kebebasan sejati bukan cuma soal lepas
dari pagar…
tapi juga belajar arah, belajar batas, dan memahami bahwa dunia luas tak selalu
perlu ditaklukkan—kadang cukup dipahami pelan-pelan.
Dan Nani?
Dia bukan tujuan.
Dia simbol bahwa setiap kekaguman punya jaraknya sendiri.
Dan menghargai jarak itu… adalah bentuk kedewasaan pertama yang aku pelajari.
lanjut baca klik link : 18 - GEMERLAP MALANG DAN DETAK DETAK PENCARIAN JATI DIRI