Kalau masa SMA itu kayak film layar lebar, maka Genk Tuban F2
SMANSA ’91 jelas masuk kategori komedi aksi—dengan sedikit aroma
romantis gagal, taburan drama tipis-tipis, dan banyak adegan “astaghfirullah
moment” yang bikin malaikat pencatat amal tepok jidat.
Kami ber-7. Tujuh pendekar yang... kalau dipikir sekarang, mungkin
Tuhan sengaja satukan supaya ada bahan tertawaan untuk kami di masa tua.
Munculnya Tujuh Pendekar Tanpa Ilmu
Genk itu isinya:
- Aku –
narator setia, pengamat, saksi hidup, dan kadang ikut nyolong gorengan.
- Bram – sopir
suci pemilik jip coklat legendaris. Mobil itu kayak kapal perang.
- Tedy
Novidy – filsuf jalanan yang sering dipotong
tengah kalimat.
- Budi
Mahmudi – ninja gerilya. Diam, tapi tahu semua
gosip guru.
- Budi
Prasetyo (Prase) – otak strategi segala misi kabur.
- Mahayasa
Wibawa – anak paling kalem tapi bisa berubah
jadi penyiar rock kalau suasana boring.
- Boyke
Arief Firmansyah – gentleman bila mood-nya bagus dan
cuaca mendukung.
Satu prinsip penting: kemana pun pergi, harus ber-7. Mau ke
kantin? Ber-7. Mau ke musala? Ber-7. Mau apel ke rumah cewek yang bahkan gak
ngomong sama kami? Ya tetap ber-7. Solidarity is solidarity, walaupun kadang
gak penting.
Markas Rahasia & Kaset Kla Project
Markas suci kami terletak di belakang rumah dinas Bram. Ada teras
kecil tepat di samping kandang ayam. Aroma campuran tanah basah, karbit, dan
sedikit bau pupuk ayam itu—anehnya—jadi saksi ratusan rencana konyol kami.
Di markas itu selalu ada tiga hal:
- Radio
tape tua.
- Kaset
KLa Project.
- Gagasan-gagasan
yang seharusnya tidak dijalankan.
Setiap sore, kami memutar “Tentang Kita” sambil pura-pura
melankolis.
“Di dalam diam… hanya namamu terucap…”
Tedy langsung pura-pura menatap langit, padahal yang dia lihat cuma jemuran
sarung.
Boyke biasanya mulai sok bijak.
“Cowok itu… harus setia, bro.”
Prase langsung nyamber.
“Setia dari mana? Minggu kemarin kamu nembak dua cewek sekaligus.”
Hidup kami memang begitu: romantis gagal, tapi selalu rame.
Operasi Stratak: Strategi Tertawa & Kabur
Operasi kabur dari upacara bendera ini mungkin pantas dapat
penghargaan Oscar versi SMA.
Skemanya begini:
- Budi
Mahmudi pura-pura pingsan. (Aktingnya
meyakinkan. Kami curiga dia latihan di kamar mandi.)
- Aku dan
Tedy mengawal ke UKS.
- Bram
& Mahayasa standby di balik kantin, siap kabur
lewat pagar.
- Boyke tanya
ke guru piket dengan gaya serius:
“Pak, Budi tadi muntah darah gak? Saya khawatir, Pak…” - Prase
memantau dari menara air belakang kelas. Berlagak sniper.
Operasi berjalan mulus… sampai Bu Lies menemukan sepatu kami
berserakan di belakang kantin.
Disidang? Jelas.
Bangga? JELAS BANGET.
Cinta, Celana Sobek, Dan Studio Foto Lapangan
Puputan
Kalau soal cinta, genk kami ini… bahaya.
Ada yang naksir guru magang.
Ada yang naksir penjaga koperasi.
Ada yang bikin surat cinta dua halaman… tapi lupa nulis nama afternya.
Puncaknya saat kami foto bareng di studio dekat Lapangan Puputan.
Semua rapi, pakai kemeja terbaik. Tapi Boyke muncul dengan celana robek di
lutut karena jatuh dari motor saat ngantar surat cinta.
“Bro… ini robeknya kenapa?”
“Cinta.”
“Cinta dari mana? Jatuh dari motor bilang cinta.”
Foto itu masih kusimpan. Wajah-wajah kami masih polos, padahal
kelakuan… ya gitu.
Mitos Terbesar: Operasi Tiara Dewata (Pencurian
Album Kla Project)
Nah… inilah momen yang bikin kami layak dicap “bodoh spektakuler”.
Album baru KLa Project keluar. Uang jajan? Tipis.
Hasil rapat darurat memutuskan:
Kami harus punya kaset itu. Caranya? Alternatif.
Kami sebut operasi itu: OPERASI TIARA DEWATA.
Prase menyusun strategi militer:
- Sebagian
ganggu penjaga toko kaset.
- Sebagian
lagi “mengamankan” album.
Aku pura-pura sibuk nanya lagu Iwan Fals.
Tedy pura-pura nyoba headset demo.
Budi Mahmudi menyusup ke rak belakang.
Sepersekian detik kemudian…
Kaset itu pindah tangan.
Saat berhasil keluar, Budi berbisik,
“Bro… ini bukan kaset. Ini sejarah.”
Kami naik jip Bram, memutar “Yogyakarta” sekencang-kencangnya.
Kami joget kayak di MTV.
Padahal dosa kami lebih gede dari volume speakernya.
Aduh, kalau diingat sekarang… malu banget.
Tapi ya namanya remaja: antara bego dan kreatif itu beda setipis kertas permen
Relaxa.
Tarawih Bergemuruh Dan Mercon Malam Ramadan
SMA 1 Denpasar memutuskan mengadakan Tarawih di aula.
Keputusan itu… fatal.
Genk Tuban?
Aduh, jangan kasih tempat gelap.
Di rakaat ke-8, tiba-tiba BRAK!
Satu mercon meletup.
Pak Abu, guru agama paling sabar sedunia, teriak pelan:
“ALLAHU AKBA—eh… SIAPA ITU?!”
Kami sujud khusyuk.
Padahal dalam hati:
“Ya Allah… jangan ketahuan, jangan ketahuan…”
Kelas kami keesokan harinya disuruh bersih-bersih halaman.
Hukuman?
Biasalah.
Yang penting kenangannya abadi.
Operasi Gurame Rahasia – Misi Makan Besar Ala Patra
Jasa
Ini misi paling gila.
Target: Kolam gurame hotel bintang lima.
Lokasi: Belakang kompleks rumah dinas Bram.
Ikan-ikannya?
Gurame ukuran jumbo, layak saji untuk tamu VIP.
Modal kami?
Jaring, nekat, dan perut kosong.
Braaak!
Dalam waktu 10 menit, tiga gurame sukses “diangkat” dari kolam.
Semua lari sambil teriak pelan:
“Bro! Cepet! Cepet! Satpamnya datang!”
Titik evakuasi: rumah Budi Mahmudi.
Orang tuanya dinas luar kota.
Dapur lengkap.
Kami goreng.
Kami bakar.
Kami sambelin.
Rumah itu mendadak jadi restoran seafood tanpa izin usaha.
Saat makan, kami terdiam.
Bukan hanya karena enak, tapi karena… deg-degan.
“Bro… gurame ini kayaknya IQ-nya di atas kita semua,” kata
Mahayasa.
Malamnya, aku menatap langit-langit kamar dan berdoa:
“Ya Allah… kami cuma lapar dan tolol. Ampuni kami…”
Tapi… kenangan itu, aduh, priceless.
Operasi Stratak & Toilet Sakti Saat Ebtanas
Ini yang paling fatal.
EBTANAS datang.
Kami panik.
Lahir lah strategi curang paling absurd dalam sejarah.
Jawaban soal diselipkan di toilet.
Kurirnya: Bram.
Penulis jawabannya: aku.
Masalahnya:
Aku salah nulis nomor soal.
Bram ngambil, nyalin, sekelas ikut.
Hasilnya?
Kelas kami nilai tinggi semua.
Kelas sebelah?
Kayak habis diterjang badai angka tiga.
Bram—yang jenius Bahasa Inggris—nilai Matematikanya dapat 3.
Kami ketawa?
Awalnya iya.
Tapi setelahnya…
Kami duduk melingkar, saling diam, dan sadar:
“Integritas itu… kalau sudah retak, nyeselnya panjang.”
Semua dari toilet sekolah.
Tempat kami bertobat… sambil meringis.
Bram Pindah Rumah & Genk Taman Griya
Saat Bram pindah dari rumah dinas ke Taman Griya, kami ikut bantu
pindahan.
Taman Griya waktu itu masih seperti padang pasir: debu tebal, listrik-belum,
air-belum.
Malam pertama, kami ngumpul pakai lampu teplok.
Suasananya kayak desa terpencil tahun 60-an.
Tetangga baru?
Ada Tisa—kelas 5 SD tapi gaya kayak cewek SMA.
Ada Yanti dan Ida—adik kelas yang sering mampir.
Rumah Bram jadi tempat nongkrong baru.
Tempat curhat.
Tempat ketiduran.
Tempat ditakut-takuti, karena kata tukang bangunan:
“Dek… saya sering lihat orang tinggi besar berdiri di depan kamar
ini…”
Bram langsung nutup pintu sambil bilang,
“Udah lah, tidur di ruang tamu aja.”
Setelah Bertahun-Tahun…
Kami tumbuh.
Kerja.
Kuliah.
Menikah.
Ada yang botak.
Ada yang makin ganteng (katanya).
Jip Bram dijual.
Markas di belakang rumah dinas sudah jadi dapur baru.
Rumah kami semua tercerai ke berbagai kota.
Tapi tiap reuni kecil-kecilan, satu hal gak berubah:
Tawa kami.
Saat lagu “Yogyakarta” diputar, semua mendadak hening.
Bram lalu nyeletuk:
“Bro, siapa yang dulu bikin surat cinta di kertas ulangan
Matematika?”
Kami ketawa sampai sakit perut.
Kayak SMA…
gak pernah selesai.
CATATAN NUCKY : Kenakalan
gila, cinta malu-malu, tawa sahabat, dan momen-momen absurd itu mengajarkan
kami bahwa: Keberanian, ketulusan, dan persahabatan lebih berharga daripada
nilai atau ranking. Masa remaja itu…bukan tentang sempurna. Tapi tentang
belajar jadi manusia—pelan-pelan, sambil ketawa.