Langsung ke konten utama

16 - GENK TUBAN F2 SMANSA '91- KENAKALAN, PERSAHABATAN, DAN SENANDUNG KLA PROJECT

 


Kalau masa SMA itu kayak film layar lebar, maka Genk Tuban F2 SMANSA ’91 jelas masuk kategori komedi aksi—dengan sedikit aroma romantis gagal, taburan drama tipis-tipis, dan banyak adegan “astaghfirullah moment” yang bikin malaikat pencatat amal tepok jidat.

Kami ber-7. Tujuh pendekar yang... kalau dipikir sekarang, mungkin Tuhan sengaja satukan supaya ada bahan tertawaan untuk kami di masa tua.

Munculnya Tujuh Pendekar Tanpa Ilmu

Genk itu isinya:

  • Aku – narator setia, pengamat, saksi hidup, dan kadang ikut nyolong gorengan.
  • Bram – sopir suci pemilik jip coklat legendaris. Mobil itu kayak kapal perang.
  • Tedy Novidy – filsuf jalanan yang sering dipotong tengah kalimat.
  • Budi Mahmudi – ninja gerilya. Diam, tapi tahu semua gosip guru.
  • Budi Prasetyo (Prase) – otak strategi segala misi kabur.
  • Mahayasa Wibawa – anak paling kalem tapi bisa berubah jadi penyiar rock kalau suasana boring.
  • Boyke Arief Firmansyah – gentleman bila mood-nya bagus dan cuaca mendukung.

Satu prinsip penting: kemana pun pergi, harus ber-7. Mau ke kantin? Ber-7. Mau ke musala? Ber-7. Mau apel ke rumah cewek yang bahkan gak ngomong sama kami? Ya tetap ber-7. Solidarity is solidarity, walaupun kadang gak penting.

 

Markas Rahasia & Kaset Kla Project

Markas suci kami terletak di belakang rumah dinas Bram. Ada teras kecil tepat di samping kandang ayam. Aroma campuran tanah basah, karbit, dan sedikit bau pupuk ayam itu—anehnya—jadi saksi ratusan rencana konyol kami.

Di markas itu selalu ada tiga hal:

  1. Radio tape tua.
  2. Kaset KLa Project.
  3. Gagasan-gagasan yang seharusnya tidak dijalankan.

Setiap sore, kami memutar “Tentang Kita” sambil pura-pura melankolis.

“Di dalam diam… hanya namamu terucap…”
Tedy langsung pura-pura menatap langit, padahal yang dia lihat cuma jemuran sarung.

Boyke biasanya mulai sok bijak.
“Cowok itu… harus setia, bro.”

Prase langsung nyamber.
“Setia dari mana? Minggu kemarin kamu nembak dua cewek sekaligus.”

Hidup kami memang begitu: romantis gagal, tapi selalu rame.

 

Operasi Stratak: Strategi Tertawa & Kabur

Operasi kabur dari upacara bendera ini mungkin pantas dapat penghargaan Oscar versi SMA.

Skemanya begini:

  • Budi Mahmudi pura-pura pingsan. (Aktingnya meyakinkan. Kami curiga dia latihan di kamar mandi.)
  • Aku dan Tedy mengawal ke UKS.
  • Bram & Mahayasa standby di balik kantin, siap kabur lewat pagar.
  • Boyke tanya ke guru piket dengan gaya serius:
    “Pak, Budi tadi muntah darah gak? Saya khawatir, Pak…”
  • Prase memantau dari menara air belakang kelas. Berlagak sniper.

Operasi berjalan mulus… sampai Bu Lies menemukan sepatu kami berserakan di belakang kantin.
Disidang? Jelas.
Bangga? JELAS BANGET.

 

Cinta, Celana Sobek, Dan Studio Foto Lapangan Puputan

Kalau soal cinta, genk kami ini… bahaya.

Ada yang naksir guru magang.
Ada yang naksir penjaga koperasi.
Ada yang bikin surat cinta dua halaman… tapi lupa nulis nama afternya.

Puncaknya saat kami foto bareng di studio dekat Lapangan Puputan. Semua rapi, pakai kemeja terbaik. Tapi Boyke muncul dengan celana robek di lutut karena jatuh dari motor saat ngantar surat cinta.

“Bro… ini robeknya kenapa?”
“Cinta.”
“Cinta dari mana? Jatuh dari motor bilang cinta.”

Foto itu masih kusimpan. Wajah-wajah kami masih polos, padahal kelakuan… ya gitu.

 

Mitos Terbesar: Operasi Tiara Dewata (Pencurian Album Kla Project)

Nah… inilah momen yang bikin kami layak dicap “bodoh spektakuler”.

Album baru KLa Project keluar. Uang jajan? Tipis.
Hasil rapat darurat memutuskan:

Kami harus punya kaset itu. Caranya? Alternatif.

Kami sebut operasi itu: OPERASI TIARA DEWATA.

Prase menyusun strategi militer:

  • Sebagian ganggu penjaga toko kaset.
  • Sebagian lagi “mengamankan” album.

Aku pura-pura sibuk nanya lagu Iwan Fals.
Tedy pura-pura nyoba headset demo.
Budi Mahmudi menyusup ke rak belakang.
Sepersekian detik kemudian…
Kaset itu pindah tangan.

Saat berhasil keluar, Budi berbisik,
“Bro… ini bukan kaset. Ini sejarah.”

Kami naik jip Bram, memutar “Yogyakarta” sekencang-kencangnya.
Kami joget kayak di MTV.
Padahal dosa kami lebih gede dari volume speakernya.

Aduh, kalau diingat sekarang… malu banget.
Tapi ya namanya remaja: antara bego dan kreatif itu beda setipis kertas permen Relaxa.

 

Tarawih Bergemuruh Dan Mercon Malam Ramadan

SMA 1 Denpasar memutuskan mengadakan Tarawih di aula.
Keputusan itu… fatal.

Genk Tuban?
Aduh, jangan kasih tempat gelap.

Di rakaat ke-8, tiba-tiba BRAK!
Satu mercon meletup.

Pak Abu, guru agama paling sabar sedunia, teriak pelan:
“ALLAHU AKBA—eh… SIAPA ITU?!”

Kami sujud khusyuk.
Padahal dalam hati:
“Ya Allah… jangan ketahuan, jangan ketahuan…”

Kelas kami keesokan harinya disuruh bersih-bersih halaman.
Hukuman?
Biasalah.
Yang penting kenangannya abadi.

 

Operasi Gurame Rahasia – Misi Makan Besar Ala Patra Jasa

Ini misi paling gila.

Target: Kolam gurame hotel bintang lima.
Lokasi: Belakang kompleks rumah dinas Bram.
Ikan-ikannya?
Gurame ukuran jumbo, layak saji untuk tamu VIP.

Modal kami?
Jaring, nekat, dan perut kosong.

Braaak!
Dalam waktu 10 menit, tiga gurame sukses “diangkat” dari kolam.

Semua lari sambil teriak pelan:
“Bro! Cepet! Cepet! Satpamnya datang!”

Titik evakuasi: rumah Budi Mahmudi.
Orang tuanya dinas luar kota.
Dapur lengkap.

Kami goreng.
Kami bakar.
Kami sambelin.
Rumah itu mendadak jadi restoran seafood tanpa izin usaha.

Saat makan, kami terdiam.

Bukan hanya karena enak, tapi karena… deg-degan.

“Bro… gurame ini kayaknya IQ-nya di atas kita semua,” kata Mahayasa.

Malamnya, aku menatap langit-langit kamar dan berdoa:
“Ya Allah… kami cuma lapar dan tolol. Ampuni kami…”

Tapi… kenangan itu, aduh, priceless.

 

Operasi Stratak & Toilet Sakti Saat Ebtanas

Ini yang paling fatal.

EBTANAS datang.
Kami panik.
Lahir lah strategi curang paling absurd dalam sejarah.

Jawaban soal diselipkan di toilet.
Kurirnya: Bram.
Penulis jawabannya: aku.

Masalahnya:
Aku salah nulis nomor soal.
Bram ngambil, nyalin, sekelas ikut.

Hasilnya?

Kelas kami nilai tinggi semua.
Kelas sebelah?
Kayak habis diterjang badai angka tiga.

Bram—yang jenius Bahasa Inggris—nilai Matematikanya dapat 3.

Kami ketawa?
Awalnya iya.
Tapi setelahnya…
Kami duduk melingkar, saling diam, dan sadar:

“Integritas itu… kalau sudah retak, nyeselnya panjang.”

Semua dari toilet sekolah.
Tempat kami bertobat… sambil meringis.

 

Bram Pindah Rumah & Genk Taman Griya

Saat Bram pindah dari rumah dinas ke Taman Griya, kami ikut bantu pindahan.
Taman Griya waktu itu masih seperti padang pasir: debu tebal, listrik-belum, air-belum.

Malam pertama, kami ngumpul pakai lampu teplok.
Suasananya kayak desa terpencil tahun 60-an.

Tetangga baru?
Ada Tisa—kelas 5 SD tapi gaya kayak cewek SMA.
Ada Yanti dan Ida—adik kelas yang sering mampir.

Rumah Bram jadi tempat nongkrong baru.
Tempat curhat.
Tempat ketiduran.
Tempat ditakut-takuti, karena kata tukang bangunan:

“Dek… saya sering lihat orang tinggi besar berdiri di depan kamar ini…”

Bram langsung nutup pintu sambil bilang,
“Udah lah, tidur di ruang tamu aja.”

 

Setelah Bertahun-Tahun…

Kami tumbuh.
Kerja.
Kuliah.
Menikah.
Ada yang botak.
Ada yang makin ganteng (katanya).

Jip Bram dijual.
Markas di belakang rumah dinas sudah jadi dapur baru.
Rumah kami semua tercerai ke berbagai kota.

Tapi tiap reuni kecil-kecilan, satu hal gak berubah:

Tawa kami.

Saat lagu “Yogyakarta” diputar, semua mendadak hening.
Bram lalu nyeletuk:

“Bro, siapa yang dulu bikin surat cinta di kertas ulangan Matematika?”

Kami ketawa sampai sakit perut.

Kayak SMA…
gak pernah selesai.

 

CATATAN NUCKY : Kenakalan gila, cinta malu-malu, tawa sahabat, dan momen-momen absurd itu mengajarkan kami bahwa: Keberanian, ketulusan, dan persahabatan lebih berharga daripada nilai atau ranking. Masa remaja itu…bukan tentang sempurna. Tapi tentang belajar jadi manusia—pelan-pelan, sambil ketawa.





Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...