Langsung ke konten utama

20 - DARI ANAK MIDER KE MEJA FORUM NASIONAL

 


Perjalanan Bocah Kampus yang (Akhirnya) Gak Bisa Diam

Awalnya, hidup kampus buatku itu sederhana: datang tepat waktu, duduk paling pinggir, nyatet paling rajin, dan pulang paling cepat. Pokoknya tipikal mahasiswa yang kalau difoto kelas pasti cuma kelihatan ujung rambut. Waktu OSPEK, aku cuma berharap satu: jangan sampai kakak senior nunjuk aku buat orasi dadakan. Setiap ada momen perkenalan, aku langsung pura-pura sibuk nyari pulpen jatuh—padahal pulpennya mah aman di saku.

Temen-temen seangkatanku ada yang udah kayak “manusia PowerPoint”: cara ngomongnya runtut, rapi, ada punchline, ada kesimpulan. Sementara aku? Ya cuma numpang tepuk tangan biar gak terlalu kelihatan inferior.
“Wah keren ya…” gumamku setiap ada yang orasi.
Dalam hati, ada suara kecil nyinyir: Bro, kamu kapan naik level?

Tapi ya sudahlah. Toh waktu itu tugasku cuma kuliah dan memastikan tinta pulpen warna-warni gak habis.

 

Erry  Nurul dan Sore yang Menampar

Satu sore, tiba-tiba Erry, temen sekelasku, nongol dengan semangat HMI-nya yang khas.
“Nu, kamu ikut diskusi gak? Di Korkom Merdeka. Seru nih. Biar nambah wawasan.”

Aku yang biasanya punya alasan klasik “nanti aja deh”, entah kenapa malam itu nurut. Mungkin karena aku lagi bosan jadi penonton hidup sendiri.

Habis Maghrib, aku datang. Termangu di teras Korkom. Orang-orang baru selesai jamaah. Aku celingak-celinguk kayak anak hilang di terminal Bungurasih.

Erry? Hilang.
Yang aku kenal? Nol.
Yang berani aku lakukan? Senyum awkward sambil doa cepat-cepat ada yang ngajak ngobrol.

Tiba-tiba seorang senior keluar. Aku tahu dia: Mas Bambang. Senior FE.
Aku coba sok akrab, “Assalamualaikum, Bang…”

“Waalaikumsalam. Dari Fakultas mana, dik?”

“Ekonomi, Bang.”

“Oh, junior.”
Lalu mendadak nanya, “Kamu bawa bahan apa? Bawa ide apa?”

DEG.
Sumpah itu pertanyaan paling mengintimidasi setelah “IPK kamu berapa sekarang?”

Aku gelagapan. “Eee… gak bawa apa-apa, Bang. Cuma pengen belajar.”

Mas Bambang memandangku lama. Terlalu lama.
Terus dia bilang kalimat yang membelah otak dan harga diriku jadi dua:

“Kalau gak siap, jangan coba-coba nantang senior. Bisa kencing di celana kamu kalau datang dengan otak kosong.”

Trus dia masuk, ninggalin aku di teras.
Kayak habis dicampur antara ditegur, dicemooh, dan disantet mental.

Seketika, aku memutuskan pulang.
Tanpa pamit. Tanpa sisa martabat. Ngacir kayak maling sandal masjid.

Tapi, anehnya…
Kalimat itu membekas.
Mengganggu.
Menggelitik harga diri.
Menyenggol ego.

Dan justru dari situlah api kecil itu muncul.

 

Perjumpaan dengan Spanduk yang Mengubah Warna Hidup

Semester 3 datang seperti masa pubertas versi akademik: tiba-tiba aku ngerasa perlu “jadi sesuatu”. Dan momen itu datang dari hal yang absurd: spanduk rekrutmen UKM FORDIMAPELAR.

FOR–DI–MA–PE–LAR.
Namanya aja kayak mantra.

“Forum Studi Mahasiswa Penalar.”
Sumpah waktu baca itu aku ngerasa otakku otomatis pakai kemeja.

Tapi aku daftar.
Dan hidupku berubah.

Diklatnya bikin aku sadar: mikir itu skill, bukan bawaan lahir.
Debat itu latihan, bukan bakat.
Presentasi itu pengalaman, bukan warisan genetik.

 

 

Di sana aku ketemu dua mentor dahsyat:

  • Mas Lukman Malanuang: logika setajam silet, tapi hatinya kayak kasur busa Inoac.
  • Mas Akhmad Yanto: lahir di Masalembo—tempat yang kalau dijadiin film judulnya pasti “Kapten Barbel dan Misteri Pulau Berkabut”.

Mereka ngajarin aku bahwa “bicara” itu bukan cuma suara keluar, tapi tanggung jawab moral.

Tugas eksplorasi pertamaku? Ke Madiun.
Bukan buat makan pecel, tapi penelitian.
Walau tetap… pulangnya makan pecel juga sih.

Dan dari situ aku entah kenapa…
didapuk jadi Sekretaris Umum FORDIMAPELAR.

Aku sampai mikir:
“Ini UKM serius apa salah input nama?”

Anak minder jadi sekum.
Yang dulu cuma nyatet, sekarang memimpin rapat.

Hidup memang suka nge-prank.

 

Masuk HMI dan Rasanya Seperti Hidup di Dimensi Baru

Belum selesai euforia di FORDIMAPELAR, aku dikenalkan dengan HMI.

Dari luar HMI ini auranya serius, kayak ruangan rapat DPR tapi tanpa uang makan.
Tapi begitu ikut LK1…
Wah, itu kayak bootcamp intelektual dan spiritual sekaligus.

Ngomongin negara, ideologi, filsafat, keadilan sosial.
Diskusi panjang sampai lupa makan.
Bedanya, kalau lupa makan di rumah kena marah mama.
Kalau di HMI? Dapat ilmu plus roti sumbangan panitia.

Mentor-mentornya juga bukan kaleng-kaleng:

  • (Alm.) Munir – aktivis HAM, tajam, jernih, menampar tapi dengan kasih sayang intelektual.
  • Mas Imran Elly – dari Maluku, ahli filsafat, bisa bahas eksistensialisme sambil nyeruput kopi sachet.

Indonesia waktu itu ribut soal SDSB—judi versi legal.
Dan kami demo dong.

Aku teriak:
“SDSB MUSUH RAKYAT!”
Padahal kalau Papa tahu aku turun ke jalan?
Bisa-bisa beliau kirim fax berisi: “Pulang. Sekarang.”

 

Dari Takut Bicara ke Pembicara Nasional

Di HMI, aku naik jadi Ketua Bidang PTKP.
Agenda makin padat dari dosen.

Sampai akhirnya aku dikirim sebagai pembicara dalam Lokakarya Mahasiswa Nasional di UB.
Aku debat bareng Helda—aktivis dari organisasi sebelah yang kalau bicara nadanya tegas tapi matanya ramah.

Kami debat panas…
Lalu makan bareng sambil ngetawain kesalahan argumen masing-masing.

Kadang lucu ya…
Di forum kita saling bantah, tapi di warung penyet kita rebutan sambal.

Dan dari perjalanan itu aku sadar:
“Aku memang bukan anak elite kampus. Tapi aku tahu di mana aku harus berdiri.”

Hidup kampus bukan cuma soal IPK.
Tapi tentang menemukan keberanian untuk bicara ketika suara diperlukan.

 

Refleksi yang Diam-Diam Menguatkan

Kalau kuingat lagi perjalanan ini, rasanya kayak nonton versi extended hidupku sendiri.

Dari anak minder…
jadi Sekum.
Dari penonton…
jadi pembicara nasional.
Dari bocah kompleks airport…
jadi penggerak diskusi tentang negara dan kemanusiaan.

Benar kata Mandela:
“Courage is not the absence of fear, but the triumph over it.”

Dan pesan Nabi Muhammad SAW selalu terngiang:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Itu yang sekarang jadi kompas hidupku.
Aku ingin bermanfaat.
Bukan besar karena jabatan, tapi karena kebermaknaan.

 

Catatan Nucky : “Rasa minder bukanlah akhir, tetapi pintu awal menuju keberanian; sebab saat kita melangkah meski gemetar, di situlah jati diri hadir, makna hidup terbuka, dan kesempatan untuk berguna bagi sesama.”

 

Kalau kamu baca sampai sini, percayalah:
kita semua pernah minder.
Bedanya, sebagian memilih berhenti di situ.
Sebagian lagi… melangkah.

Dan dunia biasanya bergerak mengikuti mereka yang berani langkah kecil pertama.

 

lanjut baca klik link : 21 - DARI LORONG BELAKANG KE PANGGUNG DEPAN  





Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...