Perjalanan Bocah Kampus yang (Akhirnya) Gak Bisa
Diam
Awalnya, hidup kampus buatku itu sederhana: datang tepat waktu,
duduk paling pinggir, nyatet paling rajin, dan pulang paling cepat. Pokoknya
tipikal mahasiswa yang kalau difoto kelas pasti cuma kelihatan ujung rambut.
Waktu OSPEK, aku cuma berharap satu: jangan sampai kakak senior nunjuk aku buat
orasi dadakan. Setiap ada momen perkenalan, aku langsung pura-pura sibuk nyari
pulpen jatuh—padahal pulpennya mah aman di saku.
Temen-temen seangkatanku ada yang udah kayak “manusia PowerPoint”:
cara ngomongnya runtut, rapi, ada punchline, ada kesimpulan. Sementara aku? Ya
cuma numpang tepuk tangan biar gak terlalu kelihatan inferior.
“Wah keren ya…” gumamku setiap ada yang orasi.
Dalam hati, ada suara kecil nyinyir: Bro, kamu kapan naik level?
Tapi ya sudahlah. Toh waktu itu tugasku cuma kuliah dan memastikan
tinta pulpen warna-warni gak habis.
Erry Nurul dan
Sore yang Menampar
Satu sore, tiba-tiba Erry, temen sekelasku, nongol dengan semangat
HMI-nya yang khas.
“Nu, kamu ikut diskusi gak? Di Korkom Merdeka. Seru nih. Biar nambah wawasan.”
Aku yang biasanya punya alasan klasik “nanti aja deh”,
entah kenapa malam itu nurut. Mungkin karena aku lagi bosan jadi penonton hidup
sendiri.
Habis Maghrib, aku datang. Termangu di teras Korkom. Orang-orang
baru selesai jamaah. Aku celingak-celinguk kayak anak hilang di terminal
Bungurasih.
Erry? Hilang.
Yang aku kenal? Nol.
Yang berani aku lakukan? Senyum awkward sambil doa cepat-cepat ada yang ngajak
ngobrol.
Tiba-tiba seorang senior keluar. Aku tahu dia: Mas Bambang. Senior
FE.
Aku coba sok akrab, “Assalamualaikum, Bang…”
“Waalaikumsalam. Dari Fakultas mana, dik?”
“Ekonomi, Bang.”
“Oh, junior.”
Lalu mendadak nanya, “Kamu bawa bahan apa? Bawa ide apa?”
DEG.
Sumpah itu pertanyaan paling mengintimidasi setelah “IPK kamu berapa sekarang?”
Aku gelagapan. “Eee… gak bawa apa-apa, Bang. Cuma pengen belajar.”
Mas Bambang memandangku lama. Terlalu lama.
Terus dia bilang kalimat yang membelah otak dan harga diriku jadi dua:
“Kalau gak siap, jangan coba-coba nantang senior. Bisa kencing di
celana kamu kalau datang dengan otak kosong.”
Trus dia masuk, ninggalin aku di teras.
Kayak habis dicampur antara ditegur, dicemooh, dan disantet mental.
Seketika, aku memutuskan pulang.
Tanpa pamit. Tanpa sisa martabat. Ngacir kayak maling sandal masjid.
Tapi, anehnya…
Kalimat itu membekas.
Mengganggu.
Menggelitik harga diri.
Menyenggol ego.
Dan justru dari situlah api kecil itu muncul.
Perjumpaan dengan Spanduk yang Mengubah Warna Hidup
Semester 3 datang seperti masa pubertas versi akademik: tiba-tiba
aku ngerasa perlu “jadi sesuatu”. Dan momen itu datang dari hal yang absurd:
spanduk rekrutmen UKM FORDIMAPELAR.
FOR–DI–MA–PE–LAR.
Namanya aja kayak mantra.
“Forum Studi Mahasiswa Penalar.”
Sumpah waktu baca itu aku ngerasa otakku otomatis pakai kemeja.
Tapi aku daftar.
Dan hidupku berubah.
Diklatnya bikin aku sadar: mikir itu skill, bukan bawaan lahir.
Debat itu latihan, bukan bakat.
Presentasi itu pengalaman, bukan warisan genetik.
Di sana aku ketemu dua mentor dahsyat:
- Mas
Lukman Malanuang: logika setajam silet, tapi hatinya
kayak kasur busa Inoac.
- Mas
Akhmad Yanto: lahir di Masalembo—tempat yang kalau
dijadiin film judulnya pasti “Kapten Barbel dan Misteri Pulau Berkabut”.
Mereka ngajarin aku bahwa “bicara” itu bukan cuma suara keluar,
tapi tanggung jawab moral.
Tugas eksplorasi pertamaku? Ke Madiun.
Bukan buat makan pecel, tapi penelitian.
Walau tetap… pulangnya makan pecel juga sih.
Dan dari situ aku entah kenapa…
didapuk jadi Sekretaris Umum FORDIMAPELAR.
Aku sampai mikir:
“Ini UKM serius apa salah input nama?”
Anak minder jadi sekum.
Yang dulu cuma nyatet, sekarang memimpin rapat.
Hidup memang suka nge-prank.
Masuk HMI dan Rasanya Seperti Hidup di Dimensi Baru
Belum selesai euforia di FORDIMAPELAR, aku dikenalkan dengan HMI.
Dari luar HMI ini auranya serius, kayak ruangan rapat DPR tapi
tanpa uang makan.
Tapi begitu ikut LK1…
Wah, itu kayak bootcamp intelektual dan spiritual sekaligus.
Ngomongin negara, ideologi, filsafat, keadilan sosial.
Diskusi panjang sampai lupa makan.
Bedanya, kalau lupa makan di rumah kena marah mama.
Kalau di HMI? Dapat ilmu plus roti sumbangan panitia.
Mentor-mentornya juga bukan kaleng-kaleng:
- (Alm.)
Munir – aktivis HAM, tajam, jernih, menampar
tapi dengan kasih sayang intelektual.
- Mas
Imran Elly – dari Maluku, ahli filsafat, bisa bahas
eksistensialisme sambil nyeruput kopi sachet.
Indonesia waktu itu ribut soal SDSB—judi versi legal.
Dan kami demo dong.
Aku teriak:
“SDSB MUSUH RAKYAT!”
Padahal kalau Papa tahu aku turun ke jalan?
Bisa-bisa beliau kirim fax berisi: “Pulang. Sekarang.”
Dari Takut Bicara ke Pembicara Nasional
Di HMI, aku naik jadi Ketua Bidang PTKP.
Agenda makin padat dari dosen.
Sampai akhirnya aku dikirim sebagai pembicara dalam Lokakarya
Mahasiswa Nasional di UB.
Aku debat bareng Helda—aktivis dari organisasi sebelah yang kalau bicara
nadanya tegas tapi matanya ramah.
Kami debat panas…
Lalu makan bareng sambil ngetawain kesalahan argumen masing-masing.
Kadang lucu ya…
Di forum kita saling bantah, tapi di warung penyet kita rebutan sambal.
Dan dari perjalanan itu aku sadar:
“Aku memang bukan anak elite kampus. Tapi aku tahu di mana aku harus berdiri.”
Hidup kampus bukan cuma soal IPK.
Tapi tentang menemukan keberanian untuk bicara ketika suara diperlukan.
Refleksi yang Diam-Diam Menguatkan
Kalau kuingat lagi perjalanan ini, rasanya kayak nonton versi
extended hidupku sendiri.
Dari anak minder…
jadi Sekum.
Dari penonton…
jadi pembicara nasional.
Dari bocah kompleks airport…
jadi penggerak diskusi tentang negara dan kemanusiaan.
Benar kata Mandela:
“Courage is not the absence of fear, but the triumph over it.”
Dan pesan Nabi Muhammad SAW selalu terngiang:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Itu yang sekarang jadi kompas hidupku.
Aku ingin bermanfaat.
Bukan besar karena jabatan, tapi karena kebermaknaan.
Catatan Nucky : “Rasa
minder bukanlah akhir, tetapi pintu awal menuju keberanian; sebab saat kita
melangkah meski gemetar, di situlah jati diri hadir, makna hidup terbuka, dan
kesempatan untuk berguna bagi sesama.”
Kalau kamu baca sampai sini, percayalah:
kita semua pernah minder.
Bedanya, sebagian memilih berhenti di situ.
Sebagian lagi… melangkah.
Dan dunia biasanya bergerak mengikuti mereka yang berani langkah
kecil pertama.
lanjut baca klik link : 21 - DARI LORONG BELAKANG KE PANGGUNG DEPAN