Petualangan Menjadi Ketua Senat Fakultas Ekonomi
Ada masanya hidup datang bukan sambil mengetuk pintu, tapi
langsung masuk, duduk, dan bilang, “Bro, ini tanggung jawab baru. Siap gak
siap, kamu ambil.”
Dan hari itu, hidup menemuiku tepat setelah kelas jam 10 bubar. Aku masih
bingung mau makan di kantin atau ngutang ke warteg lagi — keputusan besar ala
mahasiswa akhir bulan.
Tiba-tiba, Mas Arief Adi Wibawa—Ketua Senat FE yang selalu tampil
rapi seolah habis difoto majalah kampus—ngajak aku duduk.
Serius. Bahkan sendalnya pun rapi lurus.
“Nucky…” katanya pelan tapi mantap, “Kamu ini punya potensi. Bantu
aku kembangkan Senat, ya?”
Aku bengong. Setengah hati melayang. Setengah lagi kayak nanya ke
malaikat Raqib: “Are you kidding me?”
Aku? Anak non-Senat?
Anak UKM Fordimapelar yang dulu cuma tepuk tangan di barisan belakang?
Anak kompleks, yang dulu kalau maju presentasi, tangan dingin lebih dingin dari
AC ruang seminar?
Tapi… aku bukan yang dulu.
Aku sudah ditempa.
Di Fordimapelar aku belajar bicara pakai data, bukan asumsi.
Di HMI aku belajar bicara pakai hati dan ideologi.
Di forum nasional, aku duduk sejajar dengan anak-anak hebat negeri ini, meski
kadang cuma modal nekat dan sepatu pinjaman.
Dan di momen itu, aku merasa ada sesuatu bergetar.
Mungkin ini saatnya.
Saat si bocah kompleks mencoba berdiri di panggung depan.
Kampanye Bocah Kompleks
Petualangan dimulai.
Kampanye Ketua Senat Ekonomi — yang ternyata lebih absurd dari sinetron FTV.
Pesaingku:
Mas Ikhwan, pria Bima yang karismanya kayak politisi muda yang lagi naik
daun. Senioritas kuat. Relasi kuat. Sorot mata kuat.
Aku?
Akar rumput… dan geng loyalis yang kadang lebih ribut daripada efektif.
Tim kampanyeku:
- Rino – juru
strategi. Narasi bikin jantung lawan berdebar dan pendukung dapet energi
gratis.
- Samsurizal –
tukang orasi. Sekali teriak, catur di selasar langsung bubar.
- Ery – PR
tim. Lembut, damai, mempersatukan yang retak.
- Adi –
diplomat, negosiator, dan pahlawan diskonan makan.
Kampanye kami model “gerilya akademik.”
Dari kantin, lorong kelas, pos satpam (siapa tahu bisa milih juga), sampai
fotokopian.
Kami ajak ngobrol anak-anak biasa.
Yang jarang diperhitungkan.
Yang jarang diajak rapat.
Yang lebih memilih makan mi instan daripada ikut organisasi.
Karena dari merekalah perubahan muncul.
Hari Pemilihan
Ruang fakultas berubah seperti TPS mini.
“Suara untuk Nucky…”
“Suara untuk Ikhwan…”
Deg-degan, sumpah. Jantungku kayak marching band kehilangan komando.
Dan akhirnya…
“Ketua Senat Fakultas Ekonomi terpilih adalah… NUCKY/RAHADHIAN INU
KERTAPATI!”
Seketika:
Ledakan sorak.
Pelukan.
Tangis.
Ada yang jingkrak. Ada yang salah sebut namaku “Nucky Radhian Inul Kartapati.”
Aku hanya diam. Menunduk.
Dan aku tahu… ini bukan kemenangan pribadi.
Ini kemenangan orang-orang yang percaya anak kompleks pun bisa memimpin.
KABINET RASA WARTEG – Semua Rasa Harus Ada
Kupikir setelah menang, hidup bakal tenang.
Kaya iklan kopi hitam: tinggal duduk, hirup aroma, selesai.
Oh tidak.
Nyatanya, membentuk kabinet itu… ribetnya mengalahkan ngerjain sks tiga kali.
Karena fakultasku kaya warna-warni:
- Anak
band yang hapal chord KLa Project tapi gak hapal teori Keynes.
- Kutu
buku yang kalau ngomong pake footnote, lengkap dengan daftar pustaka.
- Aktivis
masjid yang selalu buka rapat dengan “Bismillah…”
- Anak
roker gondrong yang hatinya selembut angsuran KPR.
- Kaum
rebahan yang gak ikut organisasi tapi paling vokal di Twitter.
Aku sadar:
Kalau Senat cuma jadi tempat anak tertentu, kita gagal sejak awal.
Jadi, aku rangkul semua.
Kayak warteg: semua rasa ada.
“Kalau semua kabinet isinya orang yang pintar ngomong, nanti siapa
yang kerja?”
Itu rumusku.
Rapat Pleno: Demokrasi Full Volume
Rapat pertama?
Bruh… itu bukan rapat. Itu konser ideologi.
“Kita harus fokus akademik!”
“Seni juga penting, Bro!”
“Kenapa riset dapet anggaran kecil?”
“Karena riset gak bikin mahasiswa joget!”
Aku hanya duduk, tersenyum seperti orang bijak, padahal hati
bergumam:
“Kenapa aku gak ambil Teknik Sipil aja sih? Bangun jembatan itu lebih gampang.”
Tapi aku belajar.
Pemimpin bukan mematikan suara, tapi menyatukannya.
Pelan-pelan, kami bentuk skema:
Program akademik, seni, olahraga, pengabdian, kerohanian, semua dapat ruang.
Semua dapat anggaran.
Semua diberi panggung.
Senat bukan milik satu kelompok.
Ini rumah bersama.
Proyek Pertama: Festival Ekonomi – Meriah Bin Ajaib
Acara perdana:
Pekan Kreativitas Ekonomi Mahasiswa.
Ada bazar, talkshow nasional, workshop digital, debat, sampai
stand up comedy bertema inflasi.
Proposal ditolak tiga kali.
Sponsor kabur.
MC hilang sehari sebelum acara.
Tapi… kami jalan terus.
Dan acara itu sukses besar.
Anak-anak senyum.
Dosen bangga.
Alumni share di Facebook.
Dan ada maba yang bilang, “Bang, keren nih. Ini baru Senat.”
Hatiku penuh.
Menjaga Idealisme: Rasa Kopi Pahit
Setelah sukses, godaan datang:
“Sponsor ini lumayan… cuma tanda tangan aja.”
“Udah ngikut arus, aman bos.”
“Ini demi kelancaran politik kampus.”
Lah, aku bukan cari “kelancaran politik.”
Aku cari perubahan.
Aku ingat Munir:
“Berani karena benar. Bukan karena banyak yang sepakat.”
Maka aku berdiri tegak.
- Kutolak
sponsor yang gak bersih.
- Kubuka
laporan anggaran ke publik.
- Kuberi
ruang kritik terbuka.
- Kupastikan
Senat bukan tempat elit, tapi tempat mahasiswa semua golongan.
Ada yang gak suka?
Banyak.
Wajar.
Pemimpin bukan kue ulang tahun—gak harus disukai semua orang.
Refleksi: Dari Anak Minder ke Panggung Perubahan
Di titik ini aku sadar…
Ternyata perjalanan ini bukan tentang naik jabatan.
Tapi naik level sebagai manusia.
Dulu aku bocah minder di barisan belakang.
Tapi Allah tuntun langkah demi langkah.
Pelan. Konsisten.
Dari Fordimapelar, HMI, forum nasional, sampai Senat.
“Barang siapa berjalan di atas jalan, maka ia akan sampai.”
— Pepatah Arab
Dan Rasulullah SAW bersabda:
“Pemimpin adalah pelayan bagi kaumnya.” (HR. Abu Nu’aim)
Aku teringat itu setiap malam.
Saat mata lelah, idealisme diuji, dan dunia kampus terasa penuh drama.
Aku bukan lahir sebagai pemimpin.
Aku belajar.
Sedikit demi sedikit.
Dari jatuh, dari salah, dari malu, dari rapat-rapat ribut, dari kopi pahit,
dari tawa teman-teman.
Dan kini…
Aku berdiri.
Bukan karena hebat.
Tapi karena berani mencoba.
Karena kadang…
Perubahan besar dimulai oleh anak kompleks yang dulu takut bicara.
Dan aku janji —
Amanah ini kujaga.
Demi mereka yang percaya…
bahwa panggung depan bukan hanya milik yang sejak awal bersinar.
Tapi juga untuk mereka yang berani melangkah dari lorong belakang.
lanjut baca klik link :