Langsung ke konten utama

21 - DARI LORONG BELAKANG KE PANGGUNG DEPAN

 





Petualangan Menjadi Ketua Senat Fakultas Ekonomi

Ada masanya hidup datang bukan sambil mengetuk pintu, tapi langsung masuk, duduk, dan bilang, “Bro, ini tanggung jawab baru. Siap gak siap, kamu ambil.”
Dan hari itu, hidup menemuiku tepat setelah kelas jam 10 bubar. Aku masih bingung mau makan di kantin atau ngutang ke warteg lagi — keputusan besar ala mahasiswa akhir bulan.

Tiba-tiba, Mas Arief Adi Wibawa—Ketua Senat FE yang selalu tampil rapi seolah habis difoto majalah kampus—ngajak aku duduk.
Serius. Bahkan sendalnya pun rapi lurus.

“Nucky…” katanya pelan tapi mantap, “Kamu ini punya potensi. Bantu aku kembangkan Senat, ya?”

Aku bengong. Setengah hati melayang. Setengah lagi kayak nanya ke malaikat Raqib: “Are you kidding me?”

Aku? Anak non-Senat?
Anak UKM Fordimapelar yang dulu cuma tepuk tangan di barisan belakang?
Anak kompleks, yang dulu kalau maju presentasi, tangan dingin lebih dingin dari AC ruang seminar?

Tapi… aku bukan yang dulu.

Aku sudah ditempa.
Di Fordimapelar aku belajar bicara pakai data, bukan asumsi.
Di HMI aku belajar bicara pakai hati dan ideologi.
Di forum nasional, aku duduk sejajar dengan anak-anak hebat negeri ini, meski kadang cuma modal nekat dan sepatu pinjaman.

Dan di momen itu, aku merasa ada sesuatu bergetar.
Mungkin ini saatnya.
Saat si bocah kompleks mencoba berdiri di panggung depan.

 

Kampanye Bocah Kompleks

Petualangan dimulai.
Kampanye Ketua Senat Ekonomi — yang ternyata lebih absurd dari sinetron FTV.

Pesaingku:
Mas Ikhwan, pria Bima yang karismanya kayak politisi muda yang lagi naik daun. Senioritas kuat. Relasi kuat. Sorot mata kuat.
Aku?
Akar rumput… dan geng loyalis yang kadang lebih ribut daripada efektif.

Tim kampanyeku:

  • Rino – juru strategi. Narasi bikin jantung lawan berdebar dan pendukung dapet energi gratis.
  • Samsurizal – tukang orasi. Sekali teriak, catur di selasar langsung bubar.
  • Ery – PR tim. Lembut, damai, mempersatukan yang retak.
  • Adi – diplomat, negosiator, dan pahlawan diskonan makan.

Kampanye kami model “gerilya akademik.”
Dari kantin, lorong kelas, pos satpam (siapa tahu bisa milih juga), sampai fotokopian.

Kami ajak ngobrol anak-anak biasa.
Yang jarang diperhitungkan.
Yang jarang diajak rapat.
Yang lebih memilih makan mi instan daripada ikut organisasi.

Karena dari merekalah perubahan muncul.

 

Hari Pemilihan

Ruang fakultas berubah seperti TPS mini.

“Suara untuk Nucky…”
“Suara untuk Ikhwan…”
Deg-degan, sumpah. Jantungku kayak marching band kehilangan komando.

Dan akhirnya…

“Ketua Senat Fakultas Ekonomi terpilih adalah… NUCKY/RAHADHIAN INU KERTAPATI!”

Seketika:
Ledakan sorak.
Pelukan.
Tangis.
Ada yang jingkrak. Ada yang salah sebut namaku “Nucky Radhian Inul Kartapati.”

Aku hanya diam. Menunduk.
Dan aku tahu… ini bukan kemenangan pribadi.
Ini kemenangan orang-orang yang percaya anak kompleks pun bisa memimpin.

 

KABINET RASA WARTEG – Semua Rasa Harus Ada

Kupikir setelah menang, hidup bakal tenang.
Kaya iklan kopi hitam: tinggal duduk, hirup aroma, selesai.

Oh tidak.
Nyatanya, membentuk kabinet itu… ribetnya mengalahkan ngerjain sks tiga kali.

Karena fakultasku kaya warna-warni:

  • Anak band yang hapal chord KLa Project tapi gak hapal teori Keynes.
  • Kutu buku yang kalau ngomong pake footnote, lengkap dengan daftar pustaka.
  • Aktivis masjid yang selalu buka rapat dengan “Bismillah…”
  • Anak roker gondrong yang hatinya selembut angsuran KPR.
  • Kaum rebahan yang gak ikut organisasi tapi paling vokal di Twitter.

Aku sadar:
Kalau Senat cuma jadi tempat anak tertentu, kita gagal sejak awal.

Jadi, aku rangkul semua.
Kayak warteg: semua rasa ada.

“Kalau semua kabinet isinya orang yang pintar ngomong, nanti siapa yang kerja?”
Itu rumusku.

 

Rapat Pleno: Demokrasi Full Volume

Rapat pertama?
Bruh… itu bukan rapat. Itu konser ideologi.

“Kita harus fokus akademik!”
“Seni juga penting, Bro!”
“Kenapa riset dapet anggaran kecil?”
“Karena riset gak bikin mahasiswa joget!”

Aku hanya duduk, tersenyum seperti orang bijak, padahal hati bergumam:
“Kenapa aku gak ambil Teknik Sipil aja sih? Bangun jembatan itu lebih gampang.”

Tapi aku belajar.
Pemimpin bukan mematikan suara, tapi menyatukannya.

Pelan-pelan, kami bentuk skema:
Program akademik, seni, olahraga, pengabdian, kerohanian, semua dapat ruang.
Semua dapat anggaran.
Semua diberi panggung.

Senat bukan milik satu kelompok.
Ini rumah bersama.

 

Proyek Pertama: Festival Ekonomi – Meriah Bin Ajaib

Acara perdana:
Pekan Kreativitas Ekonomi Mahasiswa.

Ada bazar, talkshow nasional, workshop digital, debat, sampai stand up comedy bertema inflasi.

Proposal ditolak tiga kali.
Sponsor kabur.
MC hilang sehari sebelum acara.

Tapi… kami jalan terus.

Dan acara itu sukses besar.
Anak-anak senyum.
Dosen bangga.
Alumni share di Facebook.
Dan ada maba yang bilang, “Bang, keren nih. Ini baru Senat.”

Hatiku penuh.

 

Menjaga Idealisme: Rasa Kopi Pahit

Setelah sukses, godaan datang:

“Sponsor ini lumayan… cuma tanda tangan aja.”
“Udah ngikut arus, aman bos.”
“Ini demi kelancaran politik kampus.”

Lah, aku bukan cari “kelancaran politik.”
Aku cari perubahan.

Aku ingat Munir:
“Berani karena benar. Bukan karena banyak yang sepakat.”

Maka aku berdiri tegak.

  • Kutolak sponsor yang gak bersih.
  • Kubuka laporan anggaran ke publik.
  • Kuberi ruang kritik terbuka.
  • Kupastikan Senat bukan tempat elit, tapi tempat mahasiswa semua golongan.

Ada yang gak suka?
Banyak.

Wajar.
Pemimpin bukan kue ulang tahun—gak harus disukai semua orang.

 

Refleksi: Dari Anak Minder ke Panggung Perubahan

Di titik ini aku sadar…

Ternyata perjalanan ini bukan tentang naik jabatan.
Tapi naik level sebagai manusia.

Dulu aku bocah minder di barisan belakang.
Tapi Allah tuntun langkah demi langkah.
Pelan. Konsisten.

Dari Fordimapelar, HMI, forum nasional, sampai Senat.

“Barang siapa berjalan di atas jalan, maka ia akan sampai.”
— Pepatah Arab

Dan Rasulullah SAW bersabda:
“Pemimpin adalah pelayan bagi kaumnya.” (HR. Abu Nu’aim)

Aku teringat itu setiap malam.
Saat mata lelah, idealisme diuji, dan dunia kampus terasa penuh drama.

Aku bukan lahir sebagai pemimpin.
Aku belajar.
Sedikit demi sedikit.
Dari jatuh, dari salah, dari malu, dari rapat-rapat ribut, dari kopi pahit, dari tawa teman-teman.

Dan kini…
Aku berdiri.
Bukan karena hebat.
Tapi karena berani mencoba.

Karena kadang…
Perubahan besar dimulai oleh anak kompleks yang dulu takut bicara.

Dan aku janji —
Amanah ini kujaga.
Demi mereka yang percaya…
bahwa panggung depan bukan hanya milik yang sejak awal bersinar.
Tapi juga untuk mereka yang berani melangkah dari lorong belakang.

 

 lanjut baca klik link : 




Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...