22 - RUMAH BERSAMA ITU NYATA
Malam setelah OSPEK itu, aku pulang ke kos dengan langkah yang
aneh. Bukan ringan. Bukan berat. Lebih tepatnya… kosong tapi penuh. Kayak gelas
kopi yang isinya habis tapi aromanya masih nempel.
Di teras kos, lampu neon kembali berkedip—masih setia dengan
bakatnya bikin mata sepet. Aku duduk, menurunkan ransel, membuka sepatu, dan
menghela napas panjang.
“Jadi begini rasanya,” gumamku.
Bukan soal tepuk tangan. Bukan soal sorak-sorai. Tapi rasa bahwa ada 2000
pasang mata yang sempat—walau cuma sebentar—merasa ditemani.
HP-ku bergetar. Pesan dari Rani.
Rani: Kak, besok kita rapat evaluasi ya. Banyak yang perlu dibenahi.
Aku: Siap, Ran. Dunia belum runtuh kan?
Rani: Belum. Tapi kopi kita habis.
Aku nyengir.
Kalau kopi habis, itu darurat nasional.
Setelah Tepuk Tangan, Datanglah Sunyi
Beberapa hari setelah OSPEK, kampus kembali ke mode normal: wajah
capek, kelas pagi, dosen yang slide-nya dari tahun lalu, dan mahasiswa yang
masih berharap hidup bisa semudah ringkasan PDF.
Di sinilah biasanya ilusi kepemimpinan diuji.
Karena memimpin di panggung itu mudah.
Memimpin di lorong sunyi—itu baru ujian iman.
Ada laporan dana yang kurang rapi.
Ada panitia yang saling sindir.
Ada kelompok yang merasa kurang diperhatikan.
Suatu siang, aku duduk di ruang senat. Meja kayu panjang itu
menyimpan lebih banyak emosi daripada rapat keluarga besar saat lebaran.
“Kak, ini gak adil,” kata seorang teman, nadanya ditahan tapi
matanya nyala.
“Kenapa mereka dapat jam tampil lebih banyak?”
“Kenapa keputusan diambil sepihak?”
Aku tarik napas.
Bukan karena marah.
Tapi karena sadar: inilah harga dari membuka ruang.
“Dengerin aku bentar ya,” kataku pelan.
“Kalau kalian mau organisasi yang steril, rapi, dan sunyi—kita bisa tutup
pintu, pasang aturan ketat, dan semua nurut.”
“Tapi jangan harap ada kehidupan di dalamnya.”
Ruangan hening.
“Keributan ini bukan tanda gagal,” lanjutku.
“Ini tanda kita hidup.”
Ada yang mengangguk. Ada yang masih manyun. Tapi aku tahu—benihnya
masuk.
Percakapan dengan Diri Sendiri
Malam itu aku menulis lagi di buku kecilku.
“Tuhan,
Kalau ini terlalu berat,
tolong jangan ringankan bebannya—
tapi kuatkan pundakku.”
Aku teringat hadits yang dulu sering kudengar tapi baru
benar-benar kupahami sekarang:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Lā yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Dulu ayat itu terdengar seperti kalimat motivasi.
Sekarang… rasanya seperti pengakuan Tuhan,
“Aku percaya kamu bisa.”
Dan kepercayaan itu menakutkan sekaligus menguatkan.
Tentang Ego, dan Cara Ia Menyamar
Aku belajar satu hal penting:
Ego itu tidak selalu datang sambil teriak.
Kadang ia datang dengan suara lembut:
“Kan kamu ketuanya.”
“Kan keputusan di tanganmu.”
“Kan kamu yang paling tahu.”
Dan di situlah bahaya dimulai.
Suatu hari Imron nyeletuk saat kami duduk di kantin.
“Nuk, hati-hati ya. Kekuasaan itu kayak mic wireless. Enak, tapi
kalau lupa dimatiin… bisa bocor ke mana-mana.”
Aku ketawa.
Tapi malamnya aku mikir.
Benar juga.
Kadang yang bikin pemimpin jatuh bukan lawan—
tapi suara sendiri yang terlalu sering didengar.
Sejak itu, aku mulai sengaja duduk paling belakang saat rapat.
Bukan sok rendah hati.
Tapi supaya aku ingat rasanya jadi yang jarang didengar.
Surat dari Mahasiswa yang Tidak Pernah Tampil
Suatu pagi, ada surat masuk ke laci mejaku. Tulisan tangannya
kecil, rapi, agak miring.
“Kak Nucky,
Aku bukan siapa-siapa di kampus ini.
Aku gak pinter ngomong.
Gak pernah tampil.
Tapi waktu Kakak bilang ‘semua punya ruang’,
aku merasa… diakui.
Terima kasih sudah bikin aku berani datang ke rapat,
walau cuma duduk dan dengar.”
Aku berhenti membaca.
Bukan karena sedih.
Tapi karena dadaku penuh.
Ternyata, dampak paling besar sering datang dari hal paling sunyi.
Di Ujung Masa Jabatan
Waktu bergerak cepat.
Terlalu cepat untuk nostalgia, terlalu lambat untuk siap berpisah.
Hari terakhir masa jabatanku, aku berdiri di ruangan yang sama.
Tapi rasanya berbeda. Lebih tenang. Lebih ikhlas.
“Terima kasih sudah berjalan bersama,” kataku.
“Kalau selama ini ada salah kata, salah sikap—itu bukan karena aku tidak
peduli. Justru karena aku sedang belajar.”
Tidak ada pidato heroik.
Tidak ada janji muluk.
Hanya kejujuran yang pulang ke rumahnya.
Saat aku menyerahkan palu sidang, tanganku sedikit gemetar.
Bukan karena kehilangan jabatan.
Tapi karena sadar: satu fase hidup benar-benar selesai.
Epilog Kecil yang Diam-diam Besar
Malam itu aku kembali ke teras kos. Lampu masih berkedip. Wifi
masih ngeselin. Dunia masih sama.
Tapi aku tidak.
Aku menutup buku kecilku dengan satu kalimat terakhir:
“Aku tidak lahir untuk jadi paling depan.
Tapi aku pernah melangkah ke depan—
agar yang lain berani menyusul.”
Dan di situlah aku paham:
Panggung sejati bukan tempat orang melihat kita.
Tapi tempat kita belajar melihat orang lain.
Aku tersenyum.
Bangku belakang tidak pernah hilang dari hidupku.
Ia hanya berpindah tempat—
dari posisi… menjadi prinsip.
Dan mungkin,
itulah cara Tuhan membesarkanku:
bukan dengan mengangkatku tinggi-tinggi,
tapi dengan mengajarkanku
cara berdiri dengan rendah hati.
Setelah Lampu Padam, Hidup Tetap Jalan
Hari-hari setelah masa jabatan itu rasanya aneh.
Kayak bangun tidur, nyari HP di saku, lalu sadar… saku celana belum dipakai.
Aku bukan lagi “Ketua Senat”.
Nama itu copot dengan tenang, tanpa drama, tanpa musik latar.
Dan justru di situlah aku belajar:
jabatan itu pergi tanpa pamit,
tapi pelajarannya tinggal lama.
Pagi pertama tanpa agenda rapat, aku duduk di kelas sambil bawa
buku tulis kosong. Dosen bicara panjang lebar soal teori yang sejujurnya… aku
juga gak terlalu paham. Tapi kali ini aku dengar dengan cara berbeda.
Aku bukan lagi yang mikir,
“Ini dampaknya ke organisasi apa?”
atau
“Nanti kebijakan ini bentrok gak sama jadwal senat?”
Aku cuma mahasiswa biasa.
Dan jujur… itu melegakan.
Di sebelahku, seorang adik tingkat nyeletuk pelan,
“Kak Nucky ya?”
“Iya.”
“Kak, sekarang gak sibuk lagi dong?”
Aku senyum. “Sibuk mikirin hidup.”
Dia ketawa.
Aku juga.
Padahal itu jawaban paling jujur yang kupunya.
Identitas yang Tidak Lagi Disematkan
Lucunya, beberapa orang masih manggil aku “Ketua”.
“Ketua, nitip absen dong.”
“Ketua, ada saran gak buat acara ini?”
Aku ingin bilang:
“Aku bukan ketua lagi.”
Tapi akhirnya cuma jawab:
“Panggil aku Nucky aja.”
Karena setelah semua gelar dilucuti,
aku ingin tahu satu hal:
siapa aku kalau tidak sedang memimpin?
Dan pertanyaan itu…
lebih berat dari rapat anggaran.
Malam-malamku kembali sepi.
Tidak ada notifikasi rapat darurat.
Tidak ada telepon panik jam dua pagi.
Tidak ada keputusan yang harus segera diambil.
Tapi justru di kesunyian itu,
suara yang lama tertimbun mulai bicara.
Suara takut.
Suara ragu.
Suara kecil yang dulu sering kutinggal demi terlihat kuat.
Percakapan dengan Tuhan yang Tidak Resmi
Suatu malam aku berjalan sendiri di kampus. Lampu-lampu gedung
menyala setengah hati. Angin membawa bau rumput basah. Aku duduk di tangga
fakultas, menatap langit yang entah kenapa terasa lebih dekat.
“Ya Allah,” bisikku,
“kalau tadi itu puncak…
sekarang aku di mana?”
Tidak ada jawaban langsung.
Tidak ada petir.
Tidak ada suara dari langit.
Tapi hatiku mengingat satu ayat:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
Wa fawqa kulli żī ‘ilmin ‘alīm
“Dan di atas setiap orang yang berilmu, masih ada Yang Maha Mengetahui.”
Ayat itu seperti mengingatkanku pelan-pelan:
Tenang.
Hidupmu bukan lomba naik podium.
Ini perjalanan pulang.
Ketika Tidak Lagi Didengar, Tapi Tetap Berguna
Aku mulai kembali ke hal-hal kecil.
Bantu acara tanpa tampil.
Datang ke diskusi tanpa bicara banyak.
Mendengar lebih sering daripada memberi solusi.
Awalnya kikuk.
Ego sempat berbisik,
“Dulu kamu di depan.”
Tapi aku belajar menjawabnya,
“Iya. Dulu.”
Dan ternyata, duduk di belakang tidak membuatku hilang.
Justru membuatku lebih utuh.
Suatu sore, Rani datang menghampiri.
“Kak, makasih ya.”
“Makasih kenapa?”
“Karena dulu Kakak ngajarin kami buat berani ambil keputusan sendiri. Sekarang…
kami kepake banget.”
Aku menunduk.
Dadaku hangat.
Ternyata warisan terbaik bukan nama di struktur.
Tapi keberanian yang menular.
Aku yang Sedang Belajar Menjadi Biasa
Aku mulai sadar:
menjadi biasa itu tidak hina.
Menjadi manusia utuh jauh lebih penting daripada menjadi figur.
Aku boleh lelah.
Boleh bingung.
Boleh tidak tahu harus jadi apa besok.
Karena dulu aku memimpin orang lain,
sekarang aku belajar memimpin diriku sendiri.
Dan itu…
lebih sulit.
Lebih sunyi.
Lebih jujur.
Catatan Nucky (yang Ditulis Tengah Malam)
“Ada fase dalam hidup
di mana Tuhan menarik kita dari panggung
bukan karena kita gagal,
tapi karena kita sudah siap belajar
tanpa sorotan.”
Aku menutup buku kecilku.
Lampu kamar mati.
Gelap.
Tapi aku tidak takut lagi.
Karena aku tahu sekarang:
terang tidak selalu datang dari atas.
Kadang ia lahir pelan-pelan…
dari dalam.
Dan besok,
aku akan bangun bukan sebagai ketua,
bukan sebagai tokoh,
bukan sebagai siapa-siapa—
kecuali
seorang manusia
yang terus belajar
menjadi cukup.
lanjut baca klik link : 23 - BOSAN KULIAH, TERSADAR JODOH (Kisah Cinta yang Nyasar dari Cinema 21 ke Kantin Kampus)