44 - DARI SURABAYA KE PANGGUNG NASIONAL
Telepon itu berdering di pagi yang mestinya tenang. Aku baru saja
menaruh gelas kopi yang masih mengepul, berharap lima menit damai sebelum dunia
memanggil. Tapi yang kudengar justru suara bariton khas arek Suroboyo—yang
kalau bicara, selalu seperti sedang menyulut petasan di kuping orang.
“Jawa Ad ikut Kongres Nasional PPPI—Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia. Aku dipercaya jadi Ketua Panitia Nasional, dan kamu…pegang
Operasional Lapangan. Ketua Bidang IV. Siap, kan?”
Jadi aku hanya menarik napas panjang. “Mas, aku ini siapnya
nanti sore. Tapi kalau jenengan bilang sekarang, yo siap!”
Tawa di seberang terdengar seperti lereng Gunung Arjuno runtuh
setengah—keras, lepas, dan penuh keyakinan.
“Iki jatahmu, Cak. Kesempatan bukan datang dua kali.”
Dan di situlah perjalanan besar itu dimulai.
Menata Langkah, Menata Logistik, Menata Waras
Beberapa jam kemudian, aku sudah duduk bersama Mas Mufid—mentor,
kakak, sparring partner, sekaligus guru kehidupan pahit-manis industri
kreatif. Kadang aku curiga, kalau hidup ini ring tinju, dia lah Mike Tyson
dan aku cuma karung latihan yang sabar.
“Nuck, kita bukan cuma bikin acara. Kita bikin sejarah.”
Tapi kami bukan anak-anak kemarin sore. Kami anak Surabaya: keras
kepala, penuh ide, dan punya motto hidup: “Sing penting YO -ISO !”
Kami lalu merumuskan konsep kongres yang nggak ada
mirip-miripnya dengan acara formal biasanya.
- Sesi
pembukaan kami desain kayak pertunjukan teater Jawa modern.
- Penyambutan
peserta kami taburi musik tradisi dan sentuhan elektronika futuristik.
- Bahkan
coffee break kami susun tematik storytelling—biar minum kopi aja kerasa
kayak sedang masuk ke ruang ide Pixar versi lokal.
Dan aku tahu, ini taruhan besar untuk nama Jawa Ad.
Empat Hari Tiga Malam: Perang Tanpa Peluru
Tapi justru dalam kekacauan terstruktur itulah keajaiban terjadi.
Peserta yang tadinya skeptis—yang bilang, “Surabaya? Bisa
apa?”—langsung rubah mimik. Mereka terpesona: atmosfer, alur acara, energi yang
kami bangun… semuanya hidup.
Aku nyengir. “Pak, kami cuma ngajari bahwa kreativitas itu
bukan milik Jakarta saja.”
Dia tertawa, mengangguk. “Well said.”
Malam Puncak: Ketika Lampu-Lampu Itu Menyalakan
Sejarah
Malam penutupan…
Layar besar menayangkan montage perjalanan empat hari itu: tawa
peserta, ide yang berloncatan, panggung yang berubah warna seperti mood manusia
jatuh cinta, hingga malam gala dinner yang bikin semua orang lupa diet.
“Kami nobatkan Jawa Ad sebagai The Rising Star Newcomer Agency
tahun ini.”
Dari ruangan kecil tanpa AC yang dulu kami beri nama “kantor”,
kini kami berdiri di panggung nasional. Bukan cuma dilihat. Tapi diakui.
Newcomer Tidak Selalu Berarti Dari Belakang
Mewariskan Tongkat Estafet: Saat Api Itu Tak Boleh
Padam
Beberapa tahun setelah kejayaan itu, suatu pagi aku menatap kantor
Jawa Ad yang makin ramai. Banyak wajah baru. Banyak energi segar. Dan aku…
mulai merasakan sesuatu menggelitik hati:
Dan nama-nama itu muncul satu per satu.
SULAIMAN EFENDY alias DIDIK — Si Pekerja Sunyi
Dalam suatu presentasi klien nasional, aku duduk di belakang.
Didik berdiri di panggung kecil kantor, pointer di tangan, dan mulai bicara.
Aku melirik Mas Mufid. Dia hanya mengangguk pelan.
NUNING — Dari Sekretaris Menjadi Navigator
Awalnya dia hanya mengatur jadwal dan menenangkan badai kecil di
internal. Tapi lama-lama, aku lihat insting kepemimpinannya menyala.
Dalam salah satu konflik divisi, sebelum aku turun tangan, Nuning
sudah duluan meredakan, mengurai masalah, dan menyatukan kepala-kepala panas
itu.
Dan sejak itu, ia naik panggungnya sendiri.
Api Itu Harus Terus Hidup