68 - GELAS-GELAS KOPI, DAN MIMPI YANG MULAI MENJELMA

 





Pagi itu di Jakarta terasa lain lagi.
Setelah Grand Opening BCC Nindya Karya, energiku seakan belum habis—bahkan malah seperti disuntik adrenalin ekstra. Tapi, di balik semua itu, aku sadar satu hal: sukses itu bikin kepala panas, tapi hati kadang sepi kalau tak dijaga.

Aku berjalan di koridor kantor sementara tim sibuk menata dokumen, laporan, dan kontrak-kontrak baru.
Dimas, adikku, mengikutiku dengan membawa secangkir kopi hitam. “Ayah, jangan lupa minum. Semua orang di sini kayak zombie kerja nonstop.”

Aku tertawa. “Santai, Dik. Zombie versi stylish, ya.”

Tapi, di balik canda itu, ada gelisah kecil. Pandemi meninggalkan jejaknya—tidak hanya di ekonomi, tapi di hati banyak orang. Aku mulai berpikir tentang mengapa kita melakukan semua ini.

Ya, tentu saja, bisnis harus jalan. Gerai harus buka, revenue harus naik. Tapi ada yang lebih penting: memberi arti bagi orang lain.

Aku menengok secangkir kopi di tangan Dimas. Aroma hangat itu seperti pengingat: hidup ini sederhana, tapi butuh ketulusan untuk membuatnya berarti.

 

Pertemuan Tak Terduga

Hari itu ada tamu spesial: seorang pengusaha muda yang baru pulih dari kehilangan akibat pandemi. Namanya Fauzan.
Dia duduk di Avocado Coffee House, memandang tanaman hijau sambil menatap secangkir cappuccino.
“Kopi ini… beda, Yah,” katanya. “Aku rasa… ini bukan sekadar kopi, tapi semacam terapi.”

Aku tersenyum. “Ya, Fauzan. Avocado bukan sekadar café. Tempat ini buat napas, buat cerita, buat bangkit lagi setelah terpuruk.”

Dia menatapku serius. “Ayah, saya mau belajar dari Ayah. Bagaimana bisa bangkit dan tetap memberi manfaat saat dunia terasa runtuh?”

Aku meneguk kopi perlahan. Ini pertanyaan klasik yang tak lekang waktu.
“Mulailah dari hal kecil, Fauzan. Dari apa yang bisa kamu bantu. Dari satu orang, satu komunitas, satu mimpi yang dijaga. Dan jangan lupa berdoa, biar langkahmu selalu diberkahi.”

Dia tersenyum malu-malu. Aku bisa melihat semangatnya kembali menyala.
Sekilas, aku teringat masa pandemi—hari-hari penuh kegelisahan, menata strategi untuk Black Canyon, Avocado, dan KITA GROUP. Semua itu terasa seperti latihan hidup yang sebenarnya.

 

Cinta Dan Rumah Yang Tak Pernah Padam

Di tengah kesibukan, Wulan selalu hadir sebagai jangkar hati.
Suatu malam, di Avocado, kami duduk di balkon kecil menghadap halaman hijau.

“Ayah… kadang aku khawatir, kau terlalu capek,” kata Wulan.
Aku tersenyum, menyentuh tangannya. “Lan… ini bukan capek biasa. Ini capek yang berarti. Capek yang bikin kita belajar, tumbuh, dan bisa memberi lebih banyak.”

Wulan tertawa kecil. “Ya… tapi jangan sampai Ayah lupa jadi Ayah juga, bukan hanya Nucky CEO.”

Aku menatapnya. Teringat pada panggilan baru yang selama pandemi berubah—Ayah. Sebuah panggilan yang mengubah cara aku melihat dunia, cara aku memimpin, dan cara aku mencintai keluarga.

Ya, panggilan itu membuatku lebih manusiawi. Lebih sabar. Lebih lembut. Dan kadang… lebih mudah tersenyum di tengah kesibukan gila.

 

Meluaskan Dampak

BCC dan Avocado hanyalah permulaan. KITA GROUP pun mulai berproses:

  • Petani mendapat akses pasar digital melalui Puspa Agro Mart.
  • UMKM lokal bisa naik kelas melalui platform koperasi.
  • Startup alumni mendapatkan mentoring dan pendanaan awal.

Aku berdiri di ruang meeting, menatap tim yang sibuk mempresentasikan laporan. “Ingat, ini bukan sekadar angka. Ini nyawa orang-orang yang kita sentuh, mimpi yang kita rawat. Jangan pernah lupakan itu.”

Dimas, sambil menyeringai, menambahkan, “Ayah… kadang serius banget, ya.”

Aku tertawa, tapi hatiku hangat.
Benar. Perjalanan ini memang serius, tapi tak berarti kita harus kehilangan humor, tawa, dan keceriaan. Karena tanpa itu, energi akan cepat habis.

 

Sebuah Pelajaran Malam Hari

Malam itu, aku duduk sendiri di Avocado. Lampu hangat, suara daun tertiup angin, dan aroma kopi masih tercium. Aku menulis di buku catatan:

“Kesuksesan sejati bukan tentang berapa banyak gerai yang dibuka, bukan tentang laba yang meningkat. Tapi tentang seberapa banyak kita bisa menyalakan harapan di hati orang lain. Tentang seberapa banyak kita bisa menjadi lilin, bukan cermin.”

Aku menutup buku. Hening. Tapi dalam diam itu, ada keyakinan besar: langkah-langkah ini baru permulaan. Masih ada Surabaya, Jakarta, Malang, Bromo, UMKM, alumni, kader, komunitas… semuanya menunggu sentuhan, semua menunggu keberanian yang tulus.

Dan aku tahu, perjalanan ini akan terus berlanjut—dari gelas kopi, meja bisnis, hingga hati yang tak pernah tenang untuk terus memberi.

 

CATATAN NUCKY: : “Hidup bukan tentang apa yang kita capai sendiri, tapi tentang apa yang bisa kita tinggalkan untuk orang lain. Keberhasilan adalah ketika mimpi pribadi berubah menjadi harapan bersama. Dan semua dimulai dari satu langkah kecil, satu secangkir kopi, dan satu niat tulus.”

Aku menatap secangkir cappuccino di hadapanku.
Aku tersenyum.
Dan aku siap untuk langkah berikutnya.


lanjut baa klik link : 69 -  MENTORSHIP, UMKM, DAN JEJAK HARAPAN

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN