25 - MALAM INAUGURASI : KETIKA PANGGUNG MENYALA JIWA JIWA MUDA BERSINAR
Malam itu… ah, bagaimana menjelaskannya? Ada malam yang biasa, ada
malam yang istimewa, dan ada malam yang bikin dada serasa digebukin rasa
bangga. Inaugurasi Mahasiswa Baru Fakultas Ekonomi UNMER Malang jatuh di
kategori terakhir: malam yang kalau kau kenang lima tahun kemudian masih mampu
bikin senyum tiba-tiba bocor di wajah.
Aula fakultas malam itu padat. Lampu-lampu panggung meletupkan
warna seperti kembang api kecil, asap tipis dari mesin fog melayang-layang
kayak roh penasaran, dan suara penonton bergema seperti stadion mini. Warga
kampus datang dari segala penjuru—dosen-dosen, senior-senior sok bijak, sampai
para mahasiswa baru yang matanya masih berbinar seperti anak ayam baru lepas
kandang.
Di balik semua itu, berdiri satu sosok yang pantas dikasih gelar kreator
kegilaan resmi Fakultas Ekonomi: Gazzy.
Anak Malang berdarah Madura ini memang punya otak yang sering kali
melompat lebih cepat daripada lidahnya. Gila konsep, cepat gerak, dan
semangatnya bisa bikin genset menyerah kalah. Ia menggerakkan seluruh tim seni
kampus seperti dirigen orkestra yang lagi jatuh cinta.
“Wahyu! Zahrul! Ayo turun gunung! Kapan lagi kalian nge-rock buat
adik-adik kita?!”
Gazzy berteriak sambil ngetok-ngetok samping drum pake botol air mineral.
Herannya, si dua legenda musik kampus itu nurut. Malam itu Wahyu
Kacamata dan Zahrul bukan sekadar tampil—mereka menyala. Setiap nada
mereka seperti mantra yang bikin crowd menggila.
Lalu ada fashion show. Ah, ini kacau dalam cara yang indah.
Tutri dan Siska mengatur barisan model kampus ala Victoria’s
Secret versi ekonomi—lenggak-lenggoknya percaya diri, senyumnya mematikan, dan…
di tengah-tengah itu, ada satu wajah yang membuatku merasa seluruh ruangan
menyempit.
Renny. Pacarku waktu itu. Rambutnya jatuh lembut, jalannya anggun, dan
senyumnya… ya ampun, senyumnya itu, bro. Bikin jantungku berdetak lebih cepet
dari beat drum Wahyu. Aku bahkan sempat menelan ludah sambil ngomong sendiri:
“Ya Allah… kuatkan hamba-Mu ini.”
Dekorasi malam itu gila-gilaan. Bukan dekor yang sekadar “wah”,
tapi yang bikin orang bilang, “Ini beneran anak ekonomi yang bikin? Kok kayak
EO nasional?”
Lampu-lampu warna-warni menari, kain-kain besar melengkung artistik, backdrop
berdiri megah kayak panggung award show.
Di tengah semua kemeriahan itu, tibalah saat aku naik ke panggung
untuk sambutan. Kupandang wajah adik-adik mahasiswa baru, dan entah kenapa dada
ini meletup oleh rasa haru.
“Assalamu’alaikum, adik-adikku semua!” seruku.
“Wa’alaikumsalam!!”
“Ada yang siap tampil malam ini?”
“Siap!!!”
“Ada yang siap jatuh cinta malam ini?”
“Wooooiiiii!!!”
Tawa pecah.
Gazzy di belakang panggung cuma geleng-geleng. “Nuck, sambutan kok isinya
godain orang,” katanya sambil ngejedot jidat sendiri.
Tapi ya begitulah panggung. Selalu ada ruang kecil buat selipan
humor biar vibes-nya hangat.
Ketika acara puncak tiba, Wahyu dan Zahrul menutup dengan lagu
Dewa 19, “Tak Ada Cinta yang Lain.” Ruangan seketika melunak, seperti ada angin
sepoi masuk lewat celah-celah kenangan.
Aku memandang panggung. Mencari satu wajah.
Dan di sana…
Dalam sorot lampu yang membingkai tubuhnya, Renny tersenyum.
Senang. Bangga. Dan entah kenapa… seolah tersenyum padaku.
Malam itu selesai dengan pelukan.
Aku memeluk Gazzy dan seluruh tim.
“Matur suwun, bro. Kalian gila. Gila beneran.”
Gazzy tertawa, “Lha kamu Ketua Senat, masak aku bikin event ecek-ecek?”
Dan tiba-tiba, komentar datang bertubi-tubi.
Dosen-dosen bilang, “Inilah inaugurasi terbaik sejak fakultas ini berdiri.”
Senior bilang, “Gila kalian, bisa dapat konsep begini.”
Mahasiswa baru bilang, “Bang, bangga banget jadi mahasiswa ekonomi!”
Aku cuma senyum.
Kadang orang hanya lihat hasil.
Tapi aku tahu di balik panggung, ada puluhan jiwa muda yang bertaruh waktu,
tenaga, dan cinta.
Dan malam itu, mereka semua bersinar.
Refleksi: Panggung Yang Menyalakan Jiwa
Panggung… bukan sekadar tempat orang tampil.
Ia adalah cermin dari jiwa kolektif. Tempat mahasiswa menemukan hal yang bahkan
jarang mereka temukan dalam kelas: keberanian.
Kepercayaan diri. Solidaritas.
Dan kadang… cinta.
Orang sering kejar struktur organisasi—ketua siapa, sekretaris
siapa.
Padahal kekuatan organisasi sesungguhnya ada pada suasana yang kau
bangun.
Kalau suasana itu dibangun dengan cinta, yang lahir bukan program… tapi
kenangan.
“Mahasiswa hebat bukan yang paling lantang debat, tapi yang
membuat orang lain bersinar di panggung mereka sendiri.”
Malam itu mengajarkanku satu hal:
Apa pun jabatanmu, jangan lupa bahwa tugasmu adalah membuat orang lain lebih
bersinar.
Gazzy: Si Singo Edan Yang Datang Dari Lorong Tak
Terduga
Pertemuanku dengan Gazzy dulu bukan yang manis-manis amat.
Malah… agak bikin kuping panas.
Waktu itu aku cuma lewat depan sekretariat Senat.
Salah satu senior nyeletuk, “Heh, kamu! Mau ngapain mondar-mandir?”
Aku kaget. “E… cuma lewat, Kak.”
Gazzy ikut nimbrung, gaya agak songong, “Anak baru ya?”
“Semester tiga, Kak.”
“Oh. Yaudah lewat.”
Momen itu ngeselin sih. Tapi, justru dari situ muncul tekad:
“Suatu hari bakal gue buktikan: aku bukan sekadar mahasiswa lewat.”
Dan ya Tuhan… dunia benar-benar muter.
Ketika aku jadi Ketua Senat, aku butuh orang kreatif.
Namanya langsung muncul di kepala: Gazzy.
Dan sejak dia masuk tim, acara kami naik level.
Dari yang biasa-biasa jadi megah. Yang sederhana jadi elegan.
“Bro, event itu soal rasa,” katanya suatu malam.
“Kalau gak ada rasa, cuma jadi acara. Gak jadi pengalaman.”
Itu kalimat paling puitis yang pernah keluar dari mulut anak Arema
Singo Edan itu.
Tapi ada satu masalah kecil…
Gazzy ini idola cewek-cewek. Termasuk… beberapa yang aku kenal.
Bahkan Renny pun sering godain dia, tapi jelas bercanda.
Untung Gazzy tipe orang yang tahu batas.
Saking sayangnya sama aku, dia pernah bilang,
“Nuck, kalau aku naksir pacarmu… aku bilang dulu kok.”
“Kebangetan, Gaz!”
Kami tertawa sampai perut sakit.
Sampai suatu hari ia berkata perlahan,
“Kita berdua sama, Nuck. Sama-sama punya darah Madura.”
Dan seketika, segala sesuatu terasa lebih nyambung.
Seolah Tuhan mempertemukan dua anak perantauan dengan satu tujuan yang sama:
membangun.
Dari awal yang menyebalkan itu, lahirlah persahabatan yang solid.
Kadang hidup memang suka bercanda.
Study Tour Bandung–Yogya: Satu Bus, Seribu Cerita
Nah, kalau ini film, bab ini pasti masuk kategori slice of life
yang lembut, hangat, tapi penuh tawa.
Satu bus berisi 40 anak.
Bayangkan: dari aktivis sok bijak sampai anak musik yang kalau ngomong pakai
nada, dari kutu buku sampai si pendiam yang ternyata paling alim.
Dan aku… ya, di sana juga.
Duduk dekat jendela.
Di samping Renny.
BANDUNG – Kota Ilmu dan Rindu
UNPAD menyambut kami dengan ademnya yang bikin pengen tidur siang.
Diskusi dibuka, presentasi berjalan, dan kepala kami dijejali ilmu yang membuat
horizon semakin luas.
Tapi tentu tak semua tentang serius.
Kami kelayapan ke Dago, Braga, Cihampelas.
Tertawa-tawa, foto-foto, makan cilok rasa mahal, dan minum bandrek sambil
menggigil.
Renny berjalan di sampingku sambil bawa jajanan.
“Aku bawain kamu roti, biar gak masuk angin,” katanya.
Dan entah kenapa, malam Bandung punya musik sendiri malam itu.
YOGYA – Kota yang Selalu Punya Ruang untuk Kenangan
Malioboro.
Aroma sate kere. Lampu temaram. Musik jalanan.
Langkah kaki yang selaras meski tak direncanakan.
Kami beli gantungan kunci bertuliskan nama masing-masing.
Kami makan ronde sambil cerita mimpi.
Kami tertawa di bawah lampu-lampu kota yang seolah merestui.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa masa mudaku sedang merekam
sesuatu yang akan disimpan hati selamanya.
SATU BUS – Tempat di Mana Orang Biasa Jadi Keluarga
Di bus, tawa tak pernah selesai.
Ada yang ngorok.
Ada yang cerita horor.
Ada yang rebutan charger.
Ada yang tertawa sampai nangis.
Ada yang… jatuh cinta.
Perjalanan itu bukan liburan.
Itu proses menjadi saudara.
REFLEKSI
Sering kali kita mengejar program, rapat, dan target.
Seolah itu satu-satunya bukti bahwa kita bekerja.
Tapi dalam organisasi, yang paling mengikat bukan agenda.
Melainkan perjalanan-perjalanan kecil yang membuat kita melihat sisi manusia
dari satu sama lain.
Bandung memberi ilmu.
Yogya memberi kenangan.
Dan satu bus itu memberi kehangatan yang tak akan pernah terganti.
Kadang kita tak butuh ruang seminar untuk belajar.
Cukup satu perjalanan.
Satu tawa.
Satu orang di sampingmu.
Dan kau akan berkata,
“Ini fase hidupku yang tak ingin kulupakan.”
Malam inaugurasi, persahabatan dengan Gazzy, study tour…
semuanya bukan hanya bagian dari kisahku.
Mereka adalah jembatan yang membentuk siapa aku hari ini.
Dan dari panggung yang menyala malam itu, aku belajar:
Pemimpin yang baik bukan yang paling terlihat…
tapi yang membuat orang lain merasa layak bersinar.