38 - PROYEK KOLOSAL : REZEKI YANG DIJEMPUT, RUMAH YANG MEMBESARKAN KAMI

 




Pagi itu, kantor kami yang ukurannya masih setara lapangan futsal versi mini—yang kalau kamu tarik napas terlalu keras bisa kedengeran sampai ujung ruangan—tiba-tiba seperti kedatangan guntur. Bukan petir beneran, tapi suara Mas Mufid yang mendadak pecah seperti pengumuman kemenangan undian berhadiah kulkas.

“Nuck! Kita masuk shortlist vendor Bank Permata dan KKG!”

Aku spontan berdiri seperti habis diinjek listrik. “Serius, Mas? KKG? Kompas Gramedia yang itu? Yang logonya aja udah kayak lambang kemenangan?”

Mas Mufid cuma nyengir. “Yang itu.”

Aku sampai pegang kepala. “Astaghfirullah… siapa kita, siapa mereka? Kita ini adik kelas yang duduk paling belakang, tiba-tiba disuruh tampil di panggung final band SMA.”

Mas Mufid ngakak. “Iya, tapi kalau kita menang, kita naik kasta, bro!”

Dan benar. Dalam lima menit, kantor kami berubah jadi war room. Kertas berserakan, whiteboard penuh coretan, sticky notes nempel dimana-mana seperti sarang lebah kreatif, dan kopi… ah, jangan ditanya. Kafein level kami waktu itu sudah setara pilot pesawat tempur.

 

Renny: Mesin Organisasi Yang Tak Pernah Mati

Renny, yang saat itu merangkap Sekretaris Direksi, muncul seperti komandan pasukan medis.

“Nuck, ini draft letter ke Bank Permata. Ini meeting log KKG. Ini jadwal presentasi. Ini legal checklist. Ini…”

Aku hanya bisa mengangguk-angguk sambil merapikan napas. Kadang aku sampai kelepasan manggil, “Bu Renny…,” padahal itu istriku sendiri. Dia cuma angkat alis, senyum kecil, lalu kembali mengetik.

Aneh ya, kerja bareng pasangan itu kadang kayak tarian waltz—anggun dan ritmis. Kadang juga kayak dangdutan liar di hajatan—kaki saling keinjak tapi tetap gerak terus.

Kami sama-sama tahu: ini bukan sekadar kerja. Ini pondasi masa depan.

 

Dan Kabar Itu Datang…

Sore itu, ketika mata kami sudah merah karena terlalu lama mantengin layar, Mas Mufid teriak dari ujung ruangan.

“Selamat! Jawa Ad dipilih jadi agency resmi campaign regional Bank Permata dan unit media Kompas Gramedia!”

Rasanya kayak lepas dari ujian nasional dengan nilai nyaris sempurna. Kami ribut. Kami teriak. Kami sujud. Kami tepuk-tepukan meja. Itu bukan hanya kemenangan. Itu validasi.

KKG dan Bank Permata, bro! Dua nama besar yang bisa jadi stempel naik kelas.

Tapi ternyata, Allah belum selesai memberi kami ujian naik level.

 

Tantangan Baru: Sampoerna Dan Malam-Malam Panjang

Belum sempat napas lega, Sampoerna Group datang membawa brief yang kalau dibentangkan mungkin bisa menutupi satu lapangan voli.

Event multi-kota. Aktivasi brand. Deadline mepet. Standar tinggi. Presentasi data-driven, bukan data asal jadi.

Aku sampai bilang ke tim, “Ini bukan presentasi. Ini sidang skripsi yang kalau salah jawab bisa nggak lulus.”

Dan bener aja. Tim desain hampir tumbang. Salah satu desainer terbaik sampai drop karena kecapekan. Desain baru beres 60%, sementara ribuan copy harus naik cetak dalam dua hari.

Itu malam paling mencekam dalam sejarah kantor kami.

Aku masuk ke ruangan tim. Lihat wajah-wajah lelah, mata panda, rambut acak-acakan.

Aku bilang pelan tapi tegas, “Guys… kita di sini bukan cuma cari uang. Kita sedang bikin sejarah. Kalau kita selesaikan ini, besok ketika kita tua, kita bisa bilang: ‘Kami pernah menaklukkan tugas mustahil.’”

Mereka saling pandang.

Dan malam itu, kantor kami berubah jadi dapur restoran Michelin. Semua bergerak cepat tapi rapi. Renny bikin mikro-task list. Aku bikin shifting tim. Barista? Nggak ada. Tapi kopi? Mengalir seperti sungai Nil.

Dua hari kemudian, semua selesai.

Dan project Sampoerna sukses besar.

Itu bukan kemenangan.
Itu pengukuhan.

 

 

Leadership Saat Krisis: Saat Kantor Hampir Runtuh, Kami Tetap Berdiri

Tahun 2005, badai ekonomi datang seperti tamu tak diundang yang minum teh habis satu termos. Harga minyak naik, pasar goyang, klien goyah. Kontrak ditunda. Proyek dibatalkan.

Arus kas kantor mulai megap-megap.

Aku dan Mas Mufid duduk lama sekali malam itu. Lampu kantor yang remang membuat diskusi kami terasa seperti rapat rahasia bapak-bapak negara.

“Nuck, kita tahan dulu gaji direksi. Yang penting staf aman.”

Aku mengangguk. Berat, tapi itu pilihan laki-laki.

Kami buka semua peluang. Event kecil, branding UMKM, ngurus majalah kampus. Apa saja yang halal dan bisa jaga dapur tetap ngebul. Kami bahkan turun tangan sendiri ke lapangan.

Tapi yang membuatku terharu sampai sekarang:
Nggak ada satu pun staf yang menyerah.

Mereka tetap datang. Tetap tertawa kecil. Tetap setia.

Kadang aku berpikir, mungkin inilah rezeki sejati:
memiliki orang-orang yang percaya padamu saat kondisi justru terburuk.

 

Rumah Dan Kantor: Tariaan Dua Dunia

Kerja bareng pasangan itu lucu.

Di kantor, kami profesional:
“Bu Renny, tolong kirim P.O.”
“Baik Pak Nucky.”

Tapi begitu pulang…
“Ayah, kamu udah makan?”
“Belum. Kamu dulu.”

Aturan kami sederhana:
Di kantor: tak ada drama rumah tangga.
Di rumah: tak ada deadline kantor.

Ternyata itu resep manjur.
Kami tumbuh bersama tanpa saling menenggelamkan.

 

 

 

Menjemput Rezeki: Dari Mimpi, Akal, Dan Sujud Malam

Ada satu malam yang membuatku berhenti sejenak di tengah tumpukan proposal.

“Rezeki ini datang dari siapa, sih?”

Apakah dari kerja keras?
Dari kecerdikan strategi?
Dari relasi?

Jawabannya:
Ternyata bukan.

Rezeki datang dari Allah.
Dan tugas kita hanyalah menjemputnya, bukan menunggu.

Aku sering bilang pada tim,
“Doa tanpa usaha itu cuma angan. Usaha tanpa doa itu cuma kesombongan.”

Sejak itu, kultur kantor berubah.

 

Shodaqoh Korporat — Rezeki Yang Dibalikkan Ke Langit

Kami mulai menyisihkan keuntungan untuk sedekah perusahaan.
Bukan formalitas. Tapi yang nilainya dirasakan langsung:

• bantu sekolah anak staf,
• perbaikan musala sekitar kantor,
• bantu UMKM,
• bahkan desain gratis untuk pesantren kecil.

Dan anehnya?
Klien makin banyak. Dari arah yang tak disangka-sangka.

Kadang tanpa pitching.
Hanya “Ada yang rekomendasiin Jawa Ad nih…”

Aku percaya:
Jika kita memberi, Allah mengganti.

 

Waktu Shalat Adalah Waktu Sakral

Ketika adzan berkumandang, pekerjaan kami berhenti.
Pernah suatu kali klien besar datang jam 12 lewat.

“Kita break dulu ya Pak, shalat dulu.”

Dan mereka menghormati.

Ternyata, kalau kita teguh pada prinsip, dunia justru menghargai.

 

Menanggal: Rumah Ketiga Kami, Tempat Mimpi Ditumbuhkan

Setelah pindah ke Surabaya, kami memutuskan hidup mandiri. Rumah kontrakan pertama cukup nyaman, tapi saat Renny mulai menunjukkan tanda kehamilan, aku tahu… kami butuh ruang baru.

Dan akhirnya kami pindah ke Menanggal.

Rumah tiga kamar.
Satu untuk kami.
Satu untuk calon bayi.
Satu untuk ruang kerja.

Lokasinya dekat Masjid Agung.
Setiap lewat, rasanya hati kayak di-charge ulang.
“Ya Allah, mudah-mudahan anakku nanti tumbuh dekat sama-Mu…”

Rumah itu jadi saksi awal:

• Renny muntah-muntah pertama kali,
• kami menabung pelan-pelan untuk persalinan,
• kami menempel impian di pintu lemari,
• kami berdoa bersama sebelum tidur.

Tetangga-tetangga ramah.
Anak-anak mengaji tiap sore.
Adzan yang terasa lebih lembut.

Rasanya seperti Allah bilang, “Tenang. Kamu sudah di tempat yang tepat.”

 

Fondasi Yang Dibangun Dari Cinta Dan Keringat

Rumah itu mungkin kontrakan.

Tapi fondasi yang kami bangun di dalamnya—
itu permanen.

• fondasi cinta,
• fondasi tanggung jawab,
• fondasi spiritualitas,
• fondasi mimpi untuk keluarga kecil kami,
• dan fondasi keberanian untuk menjemput rezeki, bukan menunggu.

Setiap proyek besar yang datang, setiap badai ekonomi yang menghantam, setiap kemenangan kecil dan besar… semuanya merajut perjalanan kami jadi satu hal:

Bahwa hidup akan selalu menguji, tapi Allah tak pernah meninggalkan.

Dan sampai hari ini aku percaya:

Pekerjaan terbaik bukan yang bikin kaya duluan,
tapi yang bikin kita berarti duluan.


lanjut baca klik link : 39 - KETIKA ANAK LAHIR, HATI LAHIR KEMBALI

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN