53 - TABALONG DI UJUNG BORNEO, TUGAS YANG MENEMPA

 




Malam itu Pulau Merah diam, tapi bukan sunyi. Ombak tetap membisikkan lagu yang sama, membelai kaki-kaki pohon cemara, dan sesekali menyapa rumah-rumah nelayan yang berkelap-kelip lampunya. Aku duduk di meja kayu sederhana, menatap layar laptop yang menampilkan email masuk dari Pak Abidin. Tapi sebelum sempat kubuka, suara beliau sudah terdengar dari belakang:

“Nucky.”

Aku menoleh. Tatapan Pak Abidin tajam, tapi tidak menakutkan. Ada aroma minyak kayu putih dan kesan tegas mantan Laksamana bintang satu yang tidak bisa disembunyikan.

“Direksi minta kamu geser ke site Adaro di Tabalong, Kalimantan Selatan. Mereka nilai kamu orang yang tepat.”

Jantungku, yang biasanya setia di dada, tiba-tiba menari dengan gegap gempita. Tabalong? Kalimantan Selatan? Aku baru dengar sekilas di berita tambang. Tapi di dunia kami, perintah berarti satu kata: siap.

“Luas areanya dua kali lipat dari sini, bahkan menembus Kalimantan Tengah,” tambahnya.

Aku tersenyum kaku, menelan getar yang muncul. Satu sisi hati ingin menjerit senang; sisi lain ingin menangis karena meninggalkan Pulau Merah—surga kecilku. Pagi bersama nelayan, sore berlari di pantai, malam menikmati masakan Chef Wayan, bakso tulang langganan, dan tentu saja bukit Tumpang Pitu tempatku sering merenungi hidup.

Adi Suhardiboy, sahabat dan partner lapanganku, sudah menunggu di kantin. Begitu aku memberitahu, dia menepuk punggungku:

“Congrats, Bro. Meski sedih lu harus ninggalin surga kecil ini. Tapi elu orangnya tepat buat misi kayak gitu.”

 

Perpindahan Kilat: Dari Pantai ke Pedalaman

Besok, katanya, tiket sudah diurus. Besok? Hanya satu malam di Pulau Merah, dan pagi-pagi harus naik kereta ke Surabaya. Adaro Group memang begini: reaktif, cepat, dan tanpa basa-basi. Just do it.

Malam itu aku menelpon Renny. Suaranya lembut, tapi tegas, seperti biasa menjadi rumah bagi segala badai hidupku.

“Bismillah, Yah… jalanin. Aku support penuh dari sini.”

Hatiku sedikit lega. Malam itu aku mengemas hidupku dalam satu koper, menyerahkan semua tugas lapangan ke Adi, dan mencoba tidur—walau jantungku tetap seperti mau meloncat keluar.

 

Kereta, Pesawat, dan Jalan Tanpa Henti

Subuh. Driver menjemputku dari mess. Kereta dari Kali Setail berjalan lambat, melewati sawah dan hutan kecil. Aku menatap jendela, membiarkan kenangan Pulau Merah pergi perlahan. Surabaya sudah menunggu, malam itu aku bermalam sebentar, dan pagi-pagi berikutnya aku sudah berdiri di Juanda, siap naik pesawat ke Banjarmasin.

Penerbangan lima jam ke Tabalong—lebih dari sekadar perjalanan fisik. Lima jam itu bagai ritual peralihan dari dunia nyaman ke medan tugas yang menantang. Sopir menunggu di Banjarmasin.

“Perjalanan kita lima jam menuju Tabalong, Pak. Silakan istirahat di mobil.”

Aku tertawa kecil. Lima jam melewati hutan, sungai, dan pedalaman Kalimantan—seperti membuka halaman baru dalam hidupku.

 

Selamat Datang di Tabalong

Kantor pusat site di Tanjung megah dan luas, seperti kota kecil sendiri. Ratusan tenaga keamanan, ribuan karyawan, semuanya bergerak seperti sebuah ekosistem tersendiri. Pak Irvan, mentor sekaligus leader visioner, menyambutku:

“Welcome, Nucky. Di sinilah pusat Adaro Kalimantan. Areanya 148.148 hektar.”

Aku mengangguk, menelan napas. Dalam hati, aku hanya bisa bilang, “Ini bukan main-main.”

Pak Irvan memperkenalkan struktur organisasi, kebijakan lapangan, dan yang paling penting: karakter Pak Rudi Deswandy, Presdir yang keras, cermat, tanpa toleransi kegagalan.

“Kamu harus pegang prinsip dan jangan pernah kompromi sama hal kecil,” pesannya.

 

Hari-hari Berat dan Disiplin Baja

Awal-awal, semua terasa dingin dan birokratis. Pulau Merah yang hangat dan bersahabat kini digantikan dunia yang ketat, di mana disiplin adalah hukum. Untuk bisa masuk ke zona inti tambang, aku harus lolos uji HSE—ujian ketat yang membuat banyak karyawan gemetar. Alhamdulillah, aku lolos.

Tugasku? Membenahi sistem yang bermasalah, menangani potensi fraud, dan menjaga integritas. Tidak ada ruang untuk kompromi.

 

Menghadapi Konflik: Dari Dapur Hingga Demo

Kasus pertama: katering. Hasil uji makanan berbahaya. Aku harus membekukan kontraknya. Pemilik datang dengan wajah marah, suaranya hampir pecah:

“Pak Nucky, tolong! Saya janji perbaiki kualitasnya. Jangan hentikan!”

Aku menatap matanya, tetap tenang:

“Ini soal nyawa ratusan orang, Pak. Kami beri kesempatan kedua, tapi jangan ulangi kesalahan.”

Kasus kedua: tuntutan karyawan yang memicu demo satu desa. Jalan tambang lumpuh. Truk tidak bisa lewat. Presdir menelpon:

“Nucky, bereskan. Jangan tunggu lama.”

Aku turun tangan. Mediasi dengan: polisi, Disnaker, keluarga karyawan, perusahaan. Panjang, tegang, tapi akhirnya tercapai win-win solution. Pesan dari Jakarta masuk:

“Well done, Nucky. Good job.”

Aku tersenyum, bukan karena pujian, tapi karena konflik bisa berubah jadi simpul harapan baru.

 

Tabalong: Sekolah Kehidupan

Hari-hari di Tabalong terasa panjang, tapi penuh makna. Dari luar tampak formal—rapat, koordinasi, implementasi. Tapi di dalam, medan ini penuh diplomasi, negosiasi, bahkan menyentuh sisi spiritual.

Jam kerjaku dimulai Subuh. Udara lembap menyapa wajah, deru kendaraan berat bersahutan. Tugasku bukan hanya menjaga hubungan baik, tapi menjadi jembatan: antara perusahaan dan warga lokal.

Aku belajar banyak dari warga. Menyapa tokoh adat, ibu-ibu PKK, pemuda desa. Bukan pencitraan, tapi mendengar suara hati mereka.

“Pak Nucky ini beda,” ujar Pak Harun, tokoh adat Desa Sumber Harapan.

“Bukan cuma datang waktu ada masalah, tapi hadir saat kami butuh teman bicara.”

Di internal, aku punya Pak Irvan dan arahan tegas Pak Rudi. Satu kalimatnya bisa jadi arah besar tim:

“Kalau kamu tidak bisa jaga kepercayaan warga, jangan harap proyek bisa jalan mulus.”

Kalimat itu menjadi mantra profesionalismeku.

 

Minggu Libur: Antara Malang dan Makna

Roaster 3:1—tiga minggu di lapangan, satu minggu pulang. Minggu itu adalah oase. Aku menemani Renny di rumah sakit, Namira di sekolah, dan Dragonfly berjalan lancar.

Kadang Namira bertanya:

“Ayah kok nggak tinggal di rumah aja sih?”

“Karena ayah harus jadi jembatan, sayang. Supaya banyak orang bisa kerja, bisa sekolah, dan hidup lebih baik.”

Benih nilai mulai tumbuh di hatinya.

 

Misi Khusus: Risiko dan Keputusan

Suatu hari, kasus lama muncul lagi. Mantan karyawan kecelakaan, keluarga menuntut kompensasi tinggi, bahkan memblokir jalan tambang. Aku turun langsung, memediasi empat pihak: perusahaan, keluarga korban, Disnaker, polisi.

Aku tidak membawa ancaman, tapi solusi manusiawi:

“Mari kita cari yang terbaik. Ini bukan soal menang atau kalah, tapi saling menghormati.”

Akhirnya, deal tercapai. Pesan masuk dari Jakarta:

“Weldone Nucky. Good job.”

Aku tersenyum, bukan karena pujian, tapi karena krisis berubah menjadi simpul harapan.

 

Tabalong: Cermin Diri

Di malam sunyi mess, aku menulis jurnal:

“Kalau kelak aku tua dan ditanya, apa masa paling berat hidupmu? Mungkin Tabalong. Tapi kapan kamu belajar paling banyak tentang hidup? Tabalong juga.”

Kesunyian bukan musuh. Ia guru. Membentuk daya tahan, memurnikan motivasi, membisikkan arah ketika dunia bising.

 

Pulang, Pelukan, dan Kebahagiaan Tak Sederhana

Hari pulang selalu dinanti. Roda pesawat menyentuh landasan Malang. Namira berlari:

“Ayaaaaahhh!!!”

Renny tersenyum penuh arti—rindu, cinta, kekuatan. Pelukan mereka penyembuhan, doa tanpa suara, konfirmasi bahwa aku tidak sendiri.

Makan malam di rawon favorit, tidur bertiga, jogging pagi di Lapangan Rampal. Hidup terasa utuh.

 

Ritual Sehari-hari dan Panggilan Telepon

Panggilan telepon dari Renny dan Namira malam hari jadi obat lelah. Namira bernyanyi, Renny memberi afirmasi:

“Kamu hebat, Yah. Allah bersamamu.”

Kadang aku menangis diam-diam, tapi itu air mata pengingat cinta yang membuat aku kuat.

 

Pelajaran dari Tanah Kalimantan

Aku belajar:

  • Memimpin tanpa pamrih
  • Mendengar dengan empati
  • Bersabar dalam tekanan
  • Pengabdian bukan soal posisi, tapi ketulusan

Setiap pagi sebelum Subuh, aku duduk di jendela mess, menyeruput teh hangat, dan berdoa:

“Ya Rabb… kuatkan aku. Agar nafasku hari ini jadi jalan bagi yang lain. Agar rinduku hari ini jadi bahan bakar semangatku.”

Dan Tabalong, dengan sunyi, debur mesin, dan aroma tanahnya, terus mengajarkanku arti diri.

 

Refleksi Akhir

Kadang kita harus berjalan jauh untuk melihat yang dekat. Medan terkeras adalah cermin paling jujur. Pulang bukan sekadar tempat, tapi siapa yang menunggumu.

Renny: komandanku, malaikatku.
Namira: cahaya yang menuntunku.
Tabalong: medan tempur yang menempaku.

Dan aku tahu: setiap langkah, setiap mediasi, setiap malam sepi—semua membentuk lelaki yang lebih utuh, lebih sabar, dan lebih mencintai hidup.

Medan Diplomasi dan Konflik Pedalaman: Nucky Menjadi Jembatan

Pagi itu, kabut tipis menutupi jalanan tanah merah menuju Desa Sumber Harapan. Mobil yang membawaku berderak melewati jembatan kayu tua, di sisi sungai airnya beriak pelan. Bau hutan basah dan tanah yang baru diguyur hujan menyeruak ke dalam kabin. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Hari ini bukan rapat biasa. Hari ini adalah mediasi konflik yang sudah menahun.

Pak Irvan duduk di sampingku, membaca dokumen sambil sesekali menatap pemandangan luar jendela. Ia tahu aku gelisah.

“Nucky… ini bukan soal siapa menang, tapi soal bagaimana semua pihak merasa dihargai. Ingat itu.”

Aku mengangguk. Kata-kata beliau selalu menenangkan. Tapi jantung tetap berdetak lebih cepat dari biasanya. Desa ini pernah memblokir jalan tambang karena satu insiden kecelakaan kerja yang memicu emosi warga dan solidaritas desa. Beberapa truk tertahan selama berjam-jam, bahkan ada rumor yang menambah ketegangan politik lokal.

 

Pertemuan Pertama: Di Balik Pagar Desa

Kami tiba di balai desa. Tokoh adat, kepala desa, beberapa ibu PKK, pemuda-pemuda, semua sudah menunggu. Mata mereka menatap tajam, sebagian mencurigai, sebagian penasaran.

Aku membuka tas, mengeluarkan catatan, tapi lebih banyak berniat mendengar dulu.

“Selamat pagi semua,” aku memulai, berusaha terdengar hangat tapi tegas. “Hari ini kita tidak datang untuk menyalahkan. Kita datang untuk mendengar dan mencari jalan keluar terbaik bersama.”

Seorang pemuda berdiri, wajahnya tegang. “Pak… sudah bertahun-tahun, kami menunggu penyelesaian. Tapi perusahaan selalu bilang tunggu… tunggu… kami capek!”

Aku tersenyum kecil, mencoba humor ringan untuk mencairkan ketegangan. “Bro, aku juga capek kalau harus nonton serial tanpa kelanjutan, apalagi nunggu hak yang seharusnya diterima. Jadi mari kita buat ini selesai hari ini, biar semua lega.”

Suasana sedikit mencair. Aku tahu, humor di tengah ketegangan itu seperti udara segar di hutan lembap.

 

 

Dua Dunia yang Bertemu

Setelah pemanasan kecil, aku mulai menjelaskan posisi perusahaan dengan jujur. Bukan untuk membela, tapi untuk transparansi:

“Perusahaan tidak menutup mata. Kami bertanggung jawab. Tapi kami juga ingin memastikan keputusan ini berkelanjutan. Artinya, solusi harus adil dan aman untuk semua pihak.”

Kepala desa mengangguk, tapi mata warga masih skeptis. Aku beralih, menatap mereka satu per satu. “Aku paham sakit hati dan kerugian yang kalian rasakan. Tapi mari kita cari solusi yang tidak membuat pihak manapun menanggung risiko baru.”

Pak Irvan menepuk pundakku. “Bagus. Santai tapi jelas.”

Aku menatap catatan, kemudian melihat seorang ibu paruh baya yang duduk di sudut, tangannya menekuk tas rajutan. Matanya berkaca-kaca. Tanpa kata, aku tahu—ini bukan tentang uang semata. Ini soal harga diri, kepercayaan, dan rasa aman.

 

Strategi Nucky: Mendengar, Memahami, Menjembatani

Aku menarik napas, berbicara pelan tapi tegas:

“Kita akan buat kesepakatan. Tapi pertama, mari setiap orang bicara. Ceritakan apa yang kalian rasakan, apa yang kalian harapkan. Tidak ada interupsi. Saya akan mendengar.”

Satu per satu berbicara. Ada yang marah, ada yang sedih, ada yang mencoba menahan tangis. Aku mencatat, tapi lebih banyak menyerap.

Setelah hampir satu jam, aku menegakkan badan:

“Oke… sekarang mari kita lihat jalan keluar. Kita bagi jadi tiga bagian: kompensasi keluarga, perbaikan prosedur kerja, dan program sosial untuk desa. Semua pihak setuju?”

Seorang pemuda mengangkat tangan, tapi ragu. Aku menatapnya. “Kita dengarkan suara hati kamu dulu.”

“Pak… kalau ini bener-bener jalan tengah, kami siap. Tapi jangan bohong.”

Aku tersenyum. “Aku janji. Tidak ada kebohongan. Hanya niat baik dan solusi nyata.”

 

Konflik Berujung Damai

Akhirnya, setelah berjam-jam diskusi, negosiasi, dan beberapa kali debat hangat, tercapai kesepakatan:

  1. Kompensasi keluarga akan dibayarkan dengan transparan.
  2. Perusahaan memperketat prosedur HSE dan mengadakan pelatihan tambahan.
  3. Desa mendapat bantuan sosial berupa program pendidikan dan kesehatan yang langsung menyentuh warga.

Aku menatap semua orang, menghela napas panjang. “Deal. Bukan sempurna, tapi adil. Dan yang paling penting, kita melangkah bersama.”

Pesan masuk dari Jakarta:

“Weldone, Nucky. Good job.”

Aku tersenyum. Bukan karena pujian, tapi karena hari ini, ketegangan berubah menjadi simpul harapan baru.

 

Malam di Mess: Sunyi yang Menggemakan Jiwa

Kembali di mess, malam terasa hening. Aku menatap langit Kalimantan yang gelap tapi penuh bintang redup. Sepi di sini berbeda. Bukan tanpa suara, tapi suara yang mengajarkan ketahanan.

Aku menulis jurnal:

"Tabalong mengajarkanku bahwa memimpin bukan soal perintah, tapi mendengar. Bahwa konflik bukan musuh, tapi cermin. Bahwa keberanian bukan soal berteriak, tapi bertahan dan tetap manusiawi."

Aku menatap ponsel. Satu panggilan masuk: Renny.

“Yah… Namira nyanyi lagu baru. Mau denger?”

Suara kecilnya, falset dan polos, langsung menambal semua lelah. Aku tertawa kecil, sesekali menitikkan air mata.

 

Pelajaran Besar: Nucky, Jembatan Manusia

Setelah beberapa bulan, aku sadar: Tabalong bukan hanya tugas profesional. Ini sekolah hidup.

Aku belajar:

  • Bagaimana bersikap tegas tapi tetap empatik.
  • Bagaimana mendengarkan lebih dari sekadar mendengar.
  • Bagaimana menyelesaikan konflik tanpa mengorbankan martabat manusia.

Setiap pagi Subuh, aku duduk di jendela mess, menyeruput teh hangat, menatap langit Kalimantan. Berdoa:

"Ya Rabb… kuatkan aku. Agar nafasku hari ini menjadi jalan bagi orang lain. Agar rinduku menjadi bahan bakar semangatku."

Tabalong mengajariku satu hal: medan terkeras adalah guru terbaik. Dan di tengah konflik, kesabaran dan empati selalu menemukan jalannya.



lanjut baca klik link : 54 - MEGA PROYEK BATANG - LEMBARAN BARU DARI LANGKAH YANG TELAH TERLATIH 

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN