28 - CINTA, SKRIPSI, DAN PERJUANGAN MUDA DI KOTA MALANG
Pagi itu, Malang masih seperti Malang yang kukenal: dingin,
tenang, dan sedikit sok misterius seolah sedang menyembunyikan cerita baru
untuk kujalani. Tapi di dadaku, ada rasa yang lain—semacam getaran yang cuma
muncul saat kita mau menghadapi hal besar. Atau saat lihat Renny senyum.
Dua-duanya bikin jantung ribut.
Aku menarik napas dalam-dalam sambil berjalan melewati lorong
kampus. “Ayo, Nuck. Skripsi nggak bakal nulis sendiri,” gumamku. Andai bisa,
mungkin kutikung saja biar cepat kelar. Tapi ya jelas nggak mungkin. Dosen
pembimbingku bukan Bu Diah yang bisa ditipu, dan Pak Maxion… ah jangan
berharap. Pria itu kayak detektor kebohongan berjalan.
Pertarungan Judul dan Keberanian Bertahan
Hari-hari awal itu… ya Allah. Tiap ngajuin judul skripsi rasanya
kayak masuk kompetisi lempar martil. Judul-judulku dilempar balik sama Pak
Maxion dengan komentar khasnya:
“Ini terlalu umum.”
“Ini sudah banyak.”
“Kamu yakin sudah baca referensinya?”
Sementara Bu Diah selalu dengan lembut menyelipkan senyum dan
bilang, “Tidak apa-apa, coba lagi ya. Kamu bisa, kok.”
Sungguh perpaduan yang aneh tapi menyelamatkan mental.
Dan setiap kali aku pulang dari kampus dengan wajah kayak abis
disiram hujan badai, Renny selalu muncul dalam bentuk kecil: senyum, pesan
singkat, atau kadang cuma satu kalimat pendek, “Jangan nyerah, ya. Kamu pasti
dapat judul itu.”
Ajaibnya, kalimat segitu sederhana bisa menamparku lebih kuat
daripada kuliah statistik.
Malam-Malam Panjang Bersama Komputer Sewa
Jangan bayangkan aku menulis skripsi di kamar kos dengan laptop
canggih. Haha. Itu cuma ada di iklan universitas.
Realitanya?
Aku menyewa komputer per jam.
Atau nebeng komputer sepupuku, Audi, yang tinggal bersamaku.
Kadang Audi naik pitam karena aku ngacak foldernya. “Nuck, fileku pindah ke
mana lagi ini?!” teriaknya dari dapur.
“Eh… mungkin terseret angin malam,” jawabku.
Audi cuma bisa geleng-geleng.
Tapi di balik semua itu, ada kepuasan aneh tiap kali satu paragraf
selesai. Semacam rasa: “Aku bisa, kok. Walau lambat, tapi aku jalan.”
Dan lambat itu pun akhirnya sampai. Judulku disetujui.
Setelah berkali-kali ditolak, setelah hampir menyerah, setelah digertak Pak
Maxion dan dipeluk semangat Bu Diah, setelah doa-doa panjang Mama yang dikirim
lewat telepon malam…
Judul itu disetujui juga.
Aku sujud syukur di kamar kos yang lantainya sudah mulai retak.
Tapi tetap, retakan itu jadi saksi.
Kerja. Kuliah. Cinta. Hidup.
Semuanya Dalam Satu Wajan
Skripsi berjalan, tapi hidup juga harus hidup.
Aku diterima di CV Aneka Electronic sebagai marketing dengan gaji 250
ribu. Angka yang bagi mahasiswa kala itu terasa kayak menang lotere kecil.
Apalagi sebelumnya cuma dapat 50 ribu dari ayah.
Dengan gaji itu, aku bisa melunasi banyak hal:
- kos 50
ribu
- makan
1.000 rupiah sekali
- traktir
Renny nasi pecel sesekali
- bantu
bayar kuliahnya
- dan…
nyicil tanah di Singosari (anak kos nyicil tanah, siapa coba yang
nyangka?)
Mas Feby jadi partnerku di marketing. Kami sering lomba siapa
paling banyak dapat pelanggan. Kadang aku menang, kadang dia. Yang penting,
kami tertawa dalam prosesnya.
Kerja itu bikin aku sadar: dunia nyata itu nggak nunggu kita siap.
Dia langsung seret kita ke gelanggang. Tapi entah kenapa, aku malah suka.
Renny: Nafas di Tengah Semua Kepadatan
Ada satu bagian dalam hidupku di Malang yang bikin semuanya jadi
masuk akal: Renny.
Dia bukan cuma pacar. Dia partner. Dia tim support. Dia pengingat.
Dia penyemangat. Dia yang ngingetin makan. Dia yang marah kalau aku overwork.
Dia yang nyeletuk:
“Nucky, kamu tuh hebat. Tapi kamu bukan Superman. Tidur, sana.”
Dan aku tidur.
Dia yang paling setia dengar keluh-kesah soal judul yang dicoret,
teori yang nggak nyambung, data yang hilang, printer yang ngambek.
“Kalau kamu lelah, bilang, ya,” katanya.
Aku nggak bilang. Tapi dia selalu tahu.
Hari Presentasi:
Antara Berkeringat dan Berdoa**
Hari itu… ah, hari itu seperti menonton hidup sendiri dalam slow
motion. Ruang ujian skripsi rasanya terlalu dingin. Kursi-kursi itu seolah
menghakimi.
Di depan duduk tiga orang dosen yang sudah sangat kukenal:
- Pak
Maksion, wajah setegas batu kapur tapi jujur
dalam menilai.
- Bu Diah, ibu
akademik yang selalu bikin hati adem.
- Pak
Bambang, dosen yang tahu aku bukan cuma
mahasiswa, tapi juga aktivis.
Aku memulai presentasi. Kata demi kata keluar, kadang lancar,
kadang belepotan. Tapi aku tahu satu hal: aku sudah berjuang mati-matian.
Ketika rapat kecil antar-dosen berlangsung, aku menatap lantai
sambil menggenggam meja. Keringat dingin menetes.
Lalu kalimat itu keluar.
“Selamat, Saudara Nucky. Anda lulus dengan nilai A.”
Aku terhenyak. Lalu runtuh. Air mata turun tanpa bisa kutahan.
Sungguh, tak ada kata paling jujur selain “Alhamdulillah…”
Telepon ke Bali yang Menggetarkan Dunia
Begitu keluar ruangan, aku langsung lari ke wartel. Tanganku
gemetar waktu mencet nomor rumah.
“Ma…” suaraku sudah pecah.
“Iya, Nak… kenapa?”
Aku mencoba bicara, tapi yang keluar cuma tangis.
“Ma… aku lulus, Ma… aku sarjana…”
Mama menangis di seberang. Aku bisa dengar ayah bertanya, “Kenapa?
Kenapa?” Lalu Mama menjawab, “Nak kita lulus…”
Dan kami bertiga menangis lewat kabel telepon.
Malam Perayaan:
Tawa, Pelukan, dan Renny**
Malam itu teman-teman merayakan kelulusanku. Ada tawa, musik
kecil, nasi bungkus, dan cerita-cerita konyol tentang masa kuliah.
Tapi momen yang paling membekas adalah ketika Renny memelukku
perlahan.
Dia tidak bilang apa-apa. Aku juga tidak.
Tapi seolah ada kalimat yang disampaikan lewat tatapan:
“Kita sampai, ya. Terima kasih sudah berjuang.”
REFLEKSI:
Akhir yang Jadi Awal Baru : Lulus itu bukan hadiah. Ia tanda bahwa
perjalanan berikutnya lebih berat. Tapi aku siap. Karena aku pernah jatuh,
pernah ditolak, pernah diragukan, pernah capek setengah mati…
Tapi aku tidak menyerah.
Dan itu cukup membuatku berdiri hari itu—sebagai sarjana, sebagai
anak, sebagai manusia.
CATATAN NUCKY : “Kadang
perjuangan bukan soal siapa paling pintar. Tapi siapa paling tekun, paling
setia pada proses, paling banyak berdoa, dan paling sedikit menyerah. Di
Malang, aku belajar semuanya. Dengan cinta, dengan kerja keras, dan dengan doa
yang tak pernah putus.”
EPILOG:
Mahasiswa, Sejarah, dan Pangggung yang Selalu
Bergerak
Aku hidup di era yang penuh turbulensi: Orde Baru tumbang,
Reformasi menggeliat. Dan di tengah perubahan itu, mahasiswa menjadi pemain
penting. Bukan karena kami hebat, tapi karena kami berani.
Kami adalah bagian dari sejarah—sekaligus saksi maraknya diskursus
politik, ekonomi, dan sosial yang berubah cepat. Dari teori Gramsci sampai
Bourdieu, dari Demonstrasi Senayan sampai ruang kuliah kecil yang kusam,
semuanya memberi pelajaran:
Bahwa idealisme bukan untuk dielu-elukan.
Ia untuk diperjuangkan.
Di jalanan, di ruang diskusi, di ruang ujian skripsi, dan di ruang hidup kita
masing-masing.
Dan aku… ya, aku bagian kecil dari itu.
Akhirnya, Malang mengubahku.
Menguatkanku.
Membentukku.
Menjadikan aku yang bukan bukan siapa-siapa…
tapi juga bukan lagi anak yang sama.
Aku bertumbuh.
Dengan cinta.
Dengan kerja keras.
Dengan air mata.
Dengan tawa.
Dan Malang adalah saksi dari semua itu.
lanjut baca klik link :