30 - BERANI MENGAMBIL PELUANG : WALAU BELUM SIAP
Surabaya, pagi pertama sebagai “anak kantor beneran”, rasanya
seperti masuk ke kandang singa… tapi singanya masih tidur, jadi aku bisa napas
sedikit lega.
Aku berdiri di depan gedung kantor itu—entah kenapa rasanya lebih
besar dari semestinya. Kayak gedung itu mau nanya balik padaku, “Yakin, Ky?
Kamu udah siap?”
Dan seperti biasa, aku membatin sambil nyengir, “Siap nggak
siap, yang penting jalan.”
Malem sebelumnya aku bahkan sempat bergumam ke diri sendiri di
kamar kos yang kipas anginnya cuma punya dua mode: angin dikit dan angin
mau putus baling-baling.
“Aku ini ngapain sih? Kerjaan pertama, di kota baru, dan skill-ku…
yaaa, masih level ayam baru belajar terbang.”
Tapi entah bagaimana, pagi itu aku malah datang paling awal.
Mungkin karena terlalu takut terlambat, atau mungkin karena aku belum tahu rute
macetnya Surabaya. Apa pun alasannya, aku berdiri di depan pintu kantor 20
menit sebelum jam masuk.
Seorang satpam berkumis tebal menatapku dengan ekspresi yang sulit
diterjemahkan.
“Mas Nucky ya?” tanya dia.
“I-iya, Pak.”
“Lho, kok jam segini sudah datang?”
“Takut nyasar, Pak…”
Dia ngakak. “Santai ae, Mas. Ojo sampe kantor dianggap hutan
rimba. Kowe kerja, ora perang.”
Aku ikutan ketawa, padahal jujur… iya, aku merasa kayak mau
perang.
Hari Pertama: Antara Gugup Dan Bismillah
Begitu masuk, aku disambut bau khas kantor—campuran AC, kertas
fotokopian, dan kopi sachet. Entah kenapa aroma itu ngasih vibe: “Selamat
datang di dunia orang dewasa.”
Supervisor-ku, Mas Edo, anaknya kalem, rapi, tapi senyumnya tuh
kayak senyum orang yang hafal semua SOP di dunia.
“Pagi, Ky! Siap langsung mulai?”
Aku nyaris pengen jawab, “Sebenarnya enggak, Mas…”
Tapi aku cuma sempat bilang:
“Bismillah, Mas!”
Dia ketawa. “Sip! Yang penting semangat dulu.”
Di meja yang baru pertama kali kusentuh itu, aku membuka laptop
sambil membatin, ‘Laptop… tolong ya jangan nge-hang di hari pertama. Kita
bikin hubungan baik.’
Dan seperti didengar malaikat IT, laptop itu menyala mulus.
Lalu dimulailah hari pertama yang… jujur, cukup bikin kering
tenggorokan. Banyak istilah baru, banyak prosedur yang aku nggak ngerti, dan
banyak file yang namanya mirip padahal isinya beda. Tapi setiap kali aku mulai
panik, aku ingat kata Mandela:
“Keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut. Keberanian adalah
keputusan untuk tetap melangkah meski kita takut.”
Dan ya ampun, aku takut.
Tapi aku tetap melangkah.
Kadang jalannya miring, kadang kayak mau jatuh, tapi tetap jalan.
Dialog Klasik: Aku & Diri Sendiri
Sore hari, ketika kantor mulai sepi, aku bersandar di kursi sambil
memandang layar yang sudah berjam-jam kupelototi.
“Ky…”
“Ya?”
“Kamu ngerti apa yang kamu kerjakan?”
“Belum semuanya.”
“Takut?”
“Banget.”
“Nyerah?”
“Enggak lah! Baru hari pertama.”
Aku ngakak sendiri sambil minum air galon. Orang lain mungkin
ngira aku stres. Padahal nggak, itu cara otakku reboot.
Tantangan Pertama
Minggu kedua, Mas Edo melempar tugas dengan kalimat santai tapi
rasanya kayak dilempar granat.
“Ky, coba kamu presentasikan konsep ini ke tim, ya.”
Presentasi.
Ke tim.
Aku.
Rasanya kayak disuruh push-up 1000 kali padahal baru latihan 10
menit kemarin.
“Ma—mas, saya belum terlalu ngerti—”
“Nggak apa. Justru biar kamu belajar.”
Huft.
Malamnya aku belajar sampai kos rasanya berubah jadi markas
militer. Ada kertas dimana-mana. Ada paku payung nancep di soft board yang
kubuat sendiri dari kardus bekas mie instan. Laptop panas. Otak panas. Tapi
entah kenapa aku bahagia.
Ada rasa yang aku suka:
Didekati tantangan, aku malah pengen maju.
Presentasi besoknya?
Jujur… nggak sempurna.
Slide-nya kebanyakan warna.
Aku sempat salah sebut data.
Di tengah presentasi aku bahkan sempat batuk salah waktu.
Tapi saat selesai, Mas Edo cuma bilang:
“Good job, Ky. Kamu punya keberanian, dan itu modal besar.”
Hah…
Kadang satu kalimat bisa jadi vitamin kuat, lho.
Jangan Menyerah Sebelum Mencoba
Minggu-minggu setelahnya, aku makin sadar satu hal:
Tidak ada yang langsung jago.
Tidak ada yang langsung ahli.
Tidak ada yang lahir ke dunia kerja dengan mode expert level.
Yang ada adalah orang-orang biasa… yang memutuskan untuk tidak
berhenti belajar.
Aku lihat sendiri, orang-orang paling hebat di kantor sekalipun
pernah bingung. Pernah salah. Pernah ditegur. Pernah tersesat dalam
folder-folder penuh dokumen misterius.
Bedanya? Mereka terus mencoba.
Dan aku?
Aku memilih ikut jalan itu.
CATATAN NUCKY : Kadang kita nggak pernah
benar-benar siap. Tapi hidup itu sering ngetok pintu sambil bilang, “Ini
peluang. Mau nggak?” Kalau kamu nunggu siap dulu, peluang itu udah pergi naik
ojek online.
Kesiapan itu sering muncul justru di tengah jalan, waktu
kaki sudah melangkah.
Waktu kita sudah setengah gemetaran.
Waktu kita sudah bilang, “Aduh, aku nggak bisa…”
Tapi tetap maju juga.
Dari rasa takut, tumbuh keberanian.
Dari ketidaktahuan, tumbuh keahlian.
Dari nol, kita tumbuh jadi sesuatu.
Dan aku…
Saat mengingat masa awal bekerja di Surabaya, aku tersenyum.
Karena ternyata, di balik gugup, peluh, dan salah-salah kecil yang bikin malu
itu…
Aku menemukan versi diriku yang paling aku banggakan:
Versi diriku yang berani mencoba. Tidak menyerah. Dan percaya
bahwa belajar adalah cara terbaik tumbuh.