39 - KETIKA ANAK LAHIR, HATI LAHIR KEMBALI
Pagi itu, entah kenapa, dunia rasanya seperti melambat sedikit.
Mungkin karena perut Renny sudah benar-benar membesar. Mungkin karena aku sudah
mulai kebanyakan bayangin skenario-skenario absurd—mulai dari “kalau nanti
anakku mirip aku dan langsung botak di usia 40, gimana?”, sampai “apa aku siap
kalau dia kelak nanya kenapa ayah takut jarum suntik?”
Tapi hari itu… semuanya berhenti. Bukan karena ada tragedi. Tapi
karena ada sesuatu yang justru terlalu indah untuk dibiarkan lewat begitu saja.
Namira Rabbani Kertapati — Hadiah Langit Dalam Wujud
Kecil
“Namira… itu
cantik ya,” kata Renny waktu itu, sambil mengusap perutnya yang sudah seperti
gunung kecil.
Aku menimpali sambil sok bijak, “Iya. Semoga dia jadi perempuan
yang sopan, elegan, dan… ya setidaknya jangan sampai bawel kayak ayahnya.”
Renny melotot, “Yang bawel itu kamu Ayah.”
“Yaa… tapi kan bawelku penuh cinta.”
Ia tertawa. Dan sejak saat itu, aku percaya bahwa nama memang
punya getar. Nama yang baik membawa harapan baik. Dan kami menaruh doa itu di
punggung kecilnya.
Perjalanan Menanti — Dari Surabaya, Bali, Ke Malang
Kehamilan Renny bukan jenis kehamilan yang bisa dibiarkan santai.
Kandungannya sensitif, jadi kami harus sering kontrol ke Malang—tempat salah
satu dokter terbaik, sekaligus oomnya sendiri: Prof. Dr. Sutomo.
Secara logistik capek. Secara finansial… ya, dompet sempat protes
keras.
Tapi bagiku, semua itu bukan pengorbanan. Itu cuma cara cinta
berjalan.
Malam Itu—Ketegangan Yang Menggantung
Oom Tomo masuk dengan suara tegas tapi lembut.
“Nucky, Renny. Kita operasi malam ini. Ini demi keselamatan ibu
dan bayi.”
Aku mengangguk… walau sejujurnya bagian otakku yang satu pengen
kabur ke toilet buat teriak dulu lima detik.
Aku menggenggam tangannya, “Iya. Kita hadapi sama-sama.”
Suasana rumah sakit malam itu kayak adegan film: lampu putih
dingin, langkah kaki suster, suara alat medis, dan berbagai detik yang terasa
terlalu panjang.
28 November 2003 — Suara Tangis Yang Mengubah
Segalanya
Sekitar pukul
10.30 pagi, suara itu terdengar.
Saat aku masuk ke ruang operasi, Renny terlihat lemah tapi
tersenyum. Senyum itu… ya ampun… rasanya kayak seluruh dunia memelukku.
“Itu anak kita…” katanya setengah berbisik.
Lalu bidan datang membawa bungkusan kecil berwarna merah muda yang
masih hangat, masih berbau surga.
“Nah, ini ayahnya,” kata bidan sambil tersenyum.
Makna Di Balik Nama—Nara
- sebagai manusia yang peka,
- lembut hatinya,
- sadar akan makna hidup,
- membawa damai,
- dan tetap sederhana seperti kota Nara di
Jepang—tenang, penuh sejarah.
Setiap kali
aku menyentuh wajah kecilnya, aku merasa… hidupku berputar ke arah yang lebih
baik.
Hari-Hari Pertama — Dunia Baru Yang Bernama Ayah
Kalau ada yang bilang menjadi ayah itu gampang, mungkin dia belum
pernah mengganti popok jam 2 pagi sambil merem dan nyasar kiblatnya.
Dan aku belajar cepat:
- anak
menangis bukan karena drama, tapi karena butuh,
- bayi
tidak bisa menunggu,
- dan
pelukan orang tua adalah bahasa paling universal.
Kantor Jadi “Daycare Mini”
“Nuck, anakmu tidur nih?” tanya salah satu staff sambil cekikikan.
Aku mengangguk sambil terus mengetik. “Iya, jangan berisik. Dia
sensitif sama suara gosip kantor.”
Tidak ada bonus akhir tahun yang bisa menandingi itu.
Pelajaran Dari Bayi Kecil
Aku belajar banyak dari Nara:
- tentang
fokus—karena bayi kalau ketawa ya ketawa aja,
- tentang
kejujuran emosi—kalau sedih menangis, kalau senang ngakak,
- tentang
kehadiran—karena mereka hidup di momen sekarang.
Dari situ, aku sadar bahwa hidup terlalu pendek untuk hidup
setengah-setengah.
Menjadi Ayah Di Era Digital
Tapi anak… tidak menunggu.
Menjaga Rumah, Menjaga Langit
- kehangatan,
- waktu,
- kepemimpinan
yang lembut,
- dan
kasih sayang yang tidak pelit.
Setiap malam aku menatap wajah Nara, lalu berdoa:
“Ya Allah, jadikan anakku anak yang baik budi… dan izinkan aku
punya cukup waktu untuk mendampinginya.”
Karena waktu… adalah bentuk cinta yang paling nyata.
Akhirnya….
lanjut baca klik link : 40 - BELAJAR MENDENGAR, MENJAGA LANGIT