39 - KETIKA ANAK LAHIR, HATI LAHIR KEMBALI

 




Pagi itu, entah kenapa, dunia rasanya seperti melambat sedikit. Mungkin karena perut Renny sudah benar-benar membesar. Mungkin karena aku sudah mulai kebanyakan bayangin skenario-skenario absurd—mulai dari “kalau nanti anakku mirip aku dan langsung botak di usia 40, gimana?”, sampai “apa aku siap kalau dia kelak nanya kenapa ayah takut jarum suntik?”

Tapi hari itu… semuanya berhenti. Bukan karena ada tragedi. Tapi karena ada sesuatu yang justru terlalu indah untuk dibiarkan lewat begitu saja.

 

Namira Rabbani Kertapati — Hadiah Langit Dalam Wujud Kecil

Kami menamainya Namira Rabbani Kertapati—nama yang kami pilih bukan pakai cara “scroll nama bayi di internet,” tapi hasil diskusi panjang yang bahkan sempat memicu debat kecil soal huruf vokal mana yang paling “adem.”

Kami panggil dia Nara.
Nama kecilnya sederhana, tapi entah kenapa rasanya seperti doa yang jatuh pelan dari langit.

“Namira… itu cantik ya,” kata Renny waktu itu, sambil mengusap perutnya yang sudah seperti gunung kecil.

Aku menimpali sambil sok bijak, “Iya. Semoga dia jadi perempuan yang sopan, elegan, dan… ya setidaknya jangan sampai bawel kayak ayahnya.”

Renny melotot, “Yang bawel itu kamu Ayah.”

“Yaa… tapi kan bawelku penuh cinta.”

Ia tertawa. Dan sejak saat itu, aku percaya bahwa nama memang punya getar. Nama yang baik membawa harapan baik. Dan kami menaruh doa itu di punggung kecilnya.

 

Perjalanan Menanti — Dari Surabaya, Bali, Ke Malang

Kehamilan Renny bukan jenis kehamilan yang bisa dibiarkan santai. Kandungannya sensitif, jadi kami harus sering kontrol ke Malang—tempat salah satu dokter terbaik, sekaligus oomnya sendiri: Prof. Dr. Sutomo.

Aku masih ingat cara beliau memandang kami—tenang, lembut, dan penuh perhatian.
“Semua baik, tapi tetap harus rutin kontrol. Jangan main-main,” katanya.

Dan sejak itu, hidup kami berubah jadi drama perjalanan jarak jauh: Bali–Malang–Bali–Malang.
Kalau dihitung, mungkin kami sudah hafal semua plang SPBU dan warung rawon sepanjang perjalanan.

Secara logistik capek. Secara finansial… ya, dompet sempat protes keras.

Tapi bagiku, semua itu bukan pengorbanan. Itu cuma cara cinta berjalan.

 

Malam Itu—Ketegangan Yang Menggantung

27 November 2002.
Rencananya hanya kontrol biasa.
Nyatanya… air ketuban pecah duluan.

Renny langsung memegang tanganku erat. Wajahnya pucat.
Aku mencoba tenang… padahal lututku gemeter lebih heboh daripada kipas angin lawas.

Oom Tomo masuk dengan suara tegas tapi lembut.

“Nucky, Renny. Kita operasi malam ini. Ini demi keselamatan ibu dan bayi.”

Aku mengangguk… walau sejujurnya bagian otakku yang satu pengen kabur ke toilet buat teriak dulu lima detik.

Renny menarik napas panjang.
“Yah… waktunya ya?”

Aku menggenggam tangannya, “Iya. Kita hadapi sama-sama.”

Suasana rumah sakit malam itu kayak adegan film: lampu putih dingin, langkah kaki suster, suara alat medis, dan berbagai detik yang terasa terlalu panjang.

Keluarga berdatangan.
Ibuku menangis pelan sambil baca doa.
Bapakku sok tegar padahal suara “husss”-nya pas batuk palsu itu jelas tanda emosi.
Orang tua Renny duduk berdampingan tanpa banyak kata—tapi tasbih di tangan mereka bergerak cepat seperti meteran listrik saat AC dinyalakan.

Kami tidak sendiri.
Dan itu… luar biasa menguatkan.

 

 

 

28 November 2003 — Suara Tangis Yang Mengubah Segalanya

Sekitar pukul 10.30 pagi, suara itu terdengar.

Tangis pertama.
Tangis yang langsung menembus dada—bukan menyakitkan, tapi justru membuka ruang kecil yang selama ini mungkin tertutup.

Aku menangis.
Ya, aku.
Laki-laki yang biasanya sok tegar ini, langsung runtuh begitu saja.

Nara lahir.
Dan bersamaan dengan itu… lahirlah seorang ayah di dalam diriku.

Saat aku masuk ke ruang operasi, Renny terlihat lemah tapi tersenyum. Senyum itu… ya ampun… rasanya kayak seluruh dunia memelukku.

“Itu anak kita…” katanya setengah berbisik.

Aku menahan air mata.
“Iya, Ren. Anak kita.”

Lalu bidan datang membawa bungkusan kecil berwarna merah muda yang masih hangat, masih berbau surga.

“Nah, ini ayahnya,” kata bidan sambil tersenyum.

Aku mengazani Nara.
Suara azanku bergetar.
Tapi getar itu bukan karena gugup.
Itu rasa syukur yang tak bisa kutahan.

 

Makna Di Balik Nama—Nara

  • sebagai manusia yang peka,
  • lembut hatinya,
  • sadar akan makna hidup,
  • membawa damai,
  • dan tetap sederhana seperti kota Nara di Jepang—tenang, penuh sejarah.

Setiap kali aku menyentuh wajah kecilnya, aku merasa… hidupku berputar ke arah yang lebih baik.

 

Hari-Hari Pertama — Dunia Baru Yang Bernama Ayah

Kalau ada yang bilang menjadi ayah itu gampang, mungkin dia belum pernah mengganti popok jam 2 pagi sambil merem dan nyasar kiblatnya.

Tapi aku menikmatinya.
Semua kerepotan itu seperti langkah awal dari cinta yang baru.

Dan aku belajar cepat:

  • anak menangis bukan karena drama, tapi karena butuh,
  • bayi tidak bisa menunggu,
  • dan pelukan orang tua adalah bahasa paling universal.

Kantor Jadi “Daycare Mini”

Kadang aku bawa Nara ke kantor.
Timku udah hafal: kalau ada suara “Ngeeek” dari sudut ruangan, itu bukan printer rusak, tapi anak bos.

“Nuck, anakmu tidur nih?” tanya salah satu staff sambil cekikikan.

Aku mengangguk sambil terus mengetik. “Iya, jangan berisik. Dia sensitif sama suara gosip kantor.”

Ruang kerjaku punya pojok khusus: bantal, selimut, boneka kecil, dan botol susu.
Dan setiap kali Nara tersenyum di sela meeting… rasanya semua stress kerja langsung hilang begitu saja.

Tidak ada bonus akhir tahun yang bisa menandingi itu.

 

Pelajaran Dari Bayi Kecil

Aku belajar banyak dari Nara:

  • tentang fokus—karena bayi kalau ketawa ya ketawa aja,
  • tentang kejujuran emosi—kalau sedih menangis, kalau senang ngakak,
  • tentang kehadiran—karena mereka hidup di momen sekarang.

Dari situ, aku sadar bahwa hidup terlalu pendek untuk hidup setengah-setengah.

Menjadi Ayah Di Era Digital

Ini tantangan besar.
Notifikasi berisik.
Chat kerja masuk terus.
Deadline kadang datang mendadak.

Tapi anak… tidak menunggu.

Ia tumbuh.
Setiap hari.

Dan aku memutuskan:
“Lebih baik sedikit rezeki, daripada kehilangan banyak momen yang tak bisa dibeli kembali.”

 

Menjaga Rumah, Menjaga Langit

Di era sekarang, jadi suami bukan cuma bayar tagihan dan gaji datang setiap bulan.
Rumah butuh:

  • kehangatan,
  • waktu,
  • kepemimpinan yang lembut,
  • dan kasih sayang yang tidak pelit.

Rumah tangga adalah ibadah panjang.
Dan anak adalah amanah yang tak boleh disia-siakan.

Setiap malam aku menatap wajah Nara, lalu berdoa:

“Ya Allah, jadikan anakku anak yang baik budi… dan izinkan aku punya cukup waktu untuk mendampinginya.”

Karena waktu… adalah bentuk cinta yang paling nyata.

 

Akhirnya….

Nara lahir ke dunia.
Tapi yang benar-benar lahir hari itu adalah diriku sendiri.

Aku lahir menjadi lelaki yang lebih lembut,
lebih sadar,
lebih mencintai,
lebih bertanggung jawab,
lebih manusiawi.

Dan sejak hari itu… hidupku berubah selamanya.
Dalam cara yang paling indah, paling sunyi, dan paling tulus.


lanjut baca klik link : 40 - BELAJAR MENDENGAR, MENJAGA LANGIT 

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN