34 - SURFMAG MENGARUNGI OMBAK BARU BERNAMA ADAPTASI
Jalanan Kuta pagi itu selalu punya suara khas: deru motor, klakson
turis yang selalu salah tikungan, dan aroma pancake campur wangi laut. Aku
masih ingat pertama kali melangkah ke kantor SurfMag—sebuah bangunan kecil
berlantai dua, catnya sedikit memudar, tapi auranya… aura “anak pantai
internasional” banget.
Di depannya ada papan kayu besar bertuliskan:
“SurfMag — Ride the Story, Ride the World.”
Aku menghela napas. “Ya Allah, ini beneran? Aku masuk majalah
surfing?”
Padahal dulu renang aja cuma bisa gaya batu.
Pertemuan Pertama: Harry, Sang Editor Londo Tajam
Mulut Tapi Baik Hati
Begitu masuk, seorang bule tinggi kurus dengan rambut pirang
acak-acakan berdiri sambil membawa cangkir kopi.
“Morning! You must be Nucky?” katanya.
Harry tertawa kecil. “Relax, mate. Here, titles are less
important. The real work matters.”
Setelah itu dia menepuk bahuku sambil berkata, “Let’s survive this
crazy industry together, shall we?”
Di dalam kepalaku aku berkata: Wah, ini editor kok kayak surfer
juga ya… santai tapi tajem.
Dan benar saja—dia itu gabungan unik antara guru killer dan
sahabat nongkrong. Kalau dia kirim email jam 10 pagi, jam 10.05 sudah ada email
lanjutan berisi revisi. Kalau aku telat jawab 10 menit, dia akan masuk ruangan
sambil berkata, “Is your inbox drowning? Need a rescue board?”
Nyebelin. Tapi bikin aku berkembang.
Bahasa Inggris: Dari Dibilang Kemenyek ke Senjata
Profesional
Percaya atau nggak, awalnya aku deg-degan tiap kali buka mulut.
E-mail pertama ke klien luar negeri bisa bikin aku baca ulang 15 kali. Bukan
takut salah grammar… tapi takut Harry baca dan ngetawain.
Yang lucu, bayangan masa SMP langsung bermunculan.
Tapi di Jawa, begitu aku ngomong, langsung ada teman nyeletuk:
“Kemenyek kon, Nuck… nganggo boso Londo segala…”
Dan sekarang? Ealah, hidup memang lucu.
Hari-hari itu aku mulai merasa, tiap aku menjawab telepon klien
asing, aku sedang membayar semua ejekan masa lalu dengan bunga. Dan ternyata
asyik—karena secara tidak sadar, aku mulai bisa bicara selancar para surfer itu
mengarungi ombak.
Mas Piping: Sosok yang Kalem tapi Tembus Badai
Mas Piping selalu punya caranya sendiri untuk menasehati tanpa
merasa menggurui.
Suatu sore, di warung kopi kecil dekat kantor, dia berkata sambil
menyeruput es kopi:
“Nuck, industri itu kayak ombak. Nggak ada yang bisa kita kontrol.
Yang bisa kita lakukan cuma belajar membaca arah angin.”
Aku menatapnya sambil mengangguk-angguk ala orang paham. Padahal
dalam hati aku bilang: Wah, ini deep banget, Mas.
Lalu dia melanjutkan, “Kalau kamu cuma ngandelin skill, kamu cuma
jadi peselancar yang jago tapi sombong. Yang penting itu tim. Chemistry. Sense
of belonging.”
Dan entah kenapa, dari belasan kalimat bijaknya, yang paling
nancep adalah:
“Nggak ada industri yang terlalu besar. Yang ada pikiran kita yang
masih terlalu kecil.”
Aku pulang hari itu dengan kepala panas penuh ide.
Belajar Menjadi Pelaut di Samudra Baru
Kerja di SurfMag bukan cuma soal majalah. Itu tentang ritme.
Tentang budaya. Tentang dunia yang jauh lebih luas dari Lingkungan Tuban atau
gang sempit Malang.
“Nuck, selama ini kamu bukan nggak bisa. Kamu cuma belum ada di
medan yang tepat.”
Dan memang benar.
Dialog yang Mengubah Cara Pandangku
Suatu waktu, setelah meeting panjang, Harry menatap layar dan
berkata:
“You adapt fast, mate. Most people drown in this business.”
Aku tertawa, “I just try not to embarrass myself.”
Refleksi dari Kuta untuk Hidup yang Lebih Besar
Karena dalam hidup, yang bertahan bukan yang paling kuat.
Karena… “Dalam hidup, yang bertahan bukanlah yang paling kuat atau
paling pintar, melainkan mereka yang mau belajar menyesuaikan diri dengan
setiap ombak perubahan.”