77 - WHAT IF — KETIKA TUBUH TUMBANG, JIWA BELAJAR BERDIRI

 



Stroke itu bukan sakit yang datang sambil bilang, “Permisi ya, numpang lewat bentar.” Enggak. Dia datang kayak tamu tak diundang, nyelonong masuk, mindahin perabot hidup, lalu ninggalin aku dalam kondisi setengah sadar sambil mikir, “Lah… ini rumah siapa sekarang?” Kalau flu itu kayak teman lama yang numpang nginep—dikasih obat, disuruh istirahat, tiga hari cabut—stroke itu beda kelas. Ini penyakit kompleks, paket komplit, all in one. Medis iya, mental iya, psikologis iya, gaya hidup juga ikut diobrak-abrik. Pokoknya stroke itu bukan cuma nyerang badan, tapi juga harga diri, kesabaran, dan iman—sekalian.

Yang paling berat justru bukan rasa sakit fisiknya. Tapi saat aku pengin ngomong sesuatu, otakku sudah nyusun kalimat rapi, hatiku sudah penuh makna, eh… mulutku malah ngeluarin versi demo yang error. Kadang yang keluar bukan maksudku. Kadang nadanya salah. Kadang malah bikin orang bingung. Dan di situ aku frustasi. Dalam hati teriak, tapi yang keluar cuma ekspresi setengah putus asa. Pernah satu kali aku cuma pengin bilang, “Capek,” tapi yang keluar malah suara aneh yang bikin orang rumah saling pandang. Mama mendekat, nanya pelan, “Kenapa, Nak?” Aku cuma bisa ngelirik sambil mikir, “Ini otak gue kenapa loading-nya lemot banget sih?”

Dari situlah drama kecil sering muncul. Emosi bisa meledak tiba-tiba. Nangis tanpa sebab. Murung tanpa alasan jelas. Bukan karena aku drama king, tapi karena saraf di otak lagi konser tapi pemainnya enggak sinkron. Yang satu main jazz, yang lain dangdut koplo. Ribet. Dan orang normal yang ngedengerin kadang pakai logika sederhana, padahal buat otak yang lagi rusak, logika itu rasanya kayak soal matematika UN di jam tiga pagi.

Di situlah aku belajar satu hal penting: kesembuhan itu bukan cuma urusan dokter dan obat, tapi urusan orang-orang terdekat. Mereka adalah obat tanpa resep. Kalau mereka sabar, aku tenang. Kalau mereka lembut, hatiku ikut melunak. Aku enggak butuh ceramah panjang. Aku enggak butuh nasihat berlapis-lapis. Aku cuma butuh ditemani. Didengarkan. Dipeluk tanpa banyak tanya.

Sayangnya, kadang yang datang justru kalimat sakti sejuta umat, “Sabar ya… ini ujian…”
Aku cuma bisa senyum tipis sambil mikir, “Iya, aku tahu ini ujian. Tapi aku lagi bingung baca soal-soalnya.”
Kalimat “sabar” itu baik, tapi kalau kebanyakan, rasanya kayak ditumpukin beban baru. Yang lebih ngena justru kalimat sederhana. Suatu pagi, waktu terapi, tanganku cuma naik sedikit lebih tinggi dari kemarin. Kakakku langsung nyeletuk sambil senyum lebar,
“MasyaAllah, hari ini lebih tinggi loh dari kemarin. Keren banget.”
Aku langsung nyengir. Dalam hati bilang, “Nah ini… ini bahasa surga.”
Apresiasi kecil itu bikin dadaku lega. Rasanya kayak dikasih bensin tambahan buat lanjut jalan, walaupun jalannya masih pelan banget.

Pelan-pelan aku mulai ngerti, stroke itu bukan cuma soal tensi, gula darah, atau tekanan. Ini soal bagaimana lingkungan bikin ruang yang tenang. Ruang yang penuh kasih. Karena tubuh boleh lemah, tapi jiwa yang dirawat dengan cinta bisa jadi obat paling mujarab.

Di titik itu, aku mulai nemuin harapan. Keringat dari terapi bukan lagi sekadar capek, tapi jadi bukti perjuangan. Langkah kecilku berubah jadi doa yang berjalan. Dan senyum keluargaku—yang kadang sambil bercanda, kadang sambil ngelap air mata—jadi bahan bakar paling mahal yang pernah aku punya.

Rasanya kayak Allah ngasih aku second chance. Bukan bonus, tapi amanah. Aku belajar lagi dari nol. Jalan pelan-pelan. Makan harus diatur. Tidur enggak boleh kebablasan. Ngopi? Boleh… tapi jangan sok jago. Dulu aku pikir hidup itu soal kebebasan. Bebas begadang, bebas kerja, bebas ketawa sampai lupa waktu. Ternyata tubuh punya cara sendiri buat bilang, “Bro, kamu kelewatan.” Dan peringatannya enggak pakai surat cinta, tapi pakai tamparan halus yang lama sembuhnya.

Malam-malam sering jadi medan pertempuran pikiran. Aku menatap langit-langit sambil bertanya,
“Apa aku bisa sembuh beneran?”
“Apa aku bisa balik kayak dulu?”
Di situ kata “what if” datang bertubi-tubi. Tapi aku belajar satu trik: jangan biarin “what if” jadi monster. Ubah dia jadi teman.

Daripada, “What if aku nggak sembuh?”
Aku ganti, “What if aku jadi lebih kuat dari sebelumnya?”
Daripada, “What if aku jadi beban?”
Aku balik, “What if aku justru jadi pengingat betapa berharganya hidup sehat?”

Dan anehnya, dari situ tumbuh energi baru. Setiap sujud di sepertiga malam, aku cerita ke Allah tanpa sensor. Tentang takut. Tentang sakit. Tentang harapan yang masih belepotan. Dan dari situ aku nemu ketenangan yang enggak pernah aku temuin di resep obat mana pun.

Keluargaku jadi tim support paling solid. Mereka nyuapin, nemenin, nguatin, bahkan bercanda,
“Tenang aja, Nick. Pelan-pelan. Kan hidup bukan lomba lari.”
Aku ketawa kecil sambil mikir, “Iya juga ya… yang penting sampai.”

Sekarang aku tahu, stroke bukan akhir dunia. Ini mungkin pintu masuk ke hidup yang lebih sadar, lebih pelan, tapi lebih bermakna. Prinsipku sederhana: jangan takut sama sakit, jangan kalah sama keadaan. Karena semua terapi, obat, dan aturan cuma akan jalan kalau semangat masih nyala. Kalau semangat mati, semuanya percuma. Tapi kalau semangat hidup, insyaAllah jalan kesembuhan selalu ada.



Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN