32 - BABAK BARU DI TANAH KELAHIRAN : ANTARA ASING, ASA, DAN API YANG TAK PERNAH PADAM

 



Pulau Bali.
Tanah kelahiranku sendiri. Tempat pertama kali aku belajar merangkak, menangis, jatuh, dan bermimpi. Tapi entah kenapa, saat roda pesawat itu menyentuh landasan Ngurah Rai dan angin asin laut langsung menyapa wajahku… rasanya justru seperti aku datang sebagai orang asing.

“Ini kampungmu sendiri, loh, Nuk,” gumamku sambil menunggu koper yang entah kenapa selalu keluar paling akhir. “Tapi kok deg-degan kayak mau daftar MOS SMA?”

Semua orang terlihat sibuk. Bali—yang dulu kupandang sebagai bumi tanpa beban—kini tampak seperti dunia yang menuntutku untuk menjawab pertanyaan yang tidak pernah kusiapkan:
“Lalu, kamu mau mulai dari mana?”

Aku tidak tahu ritmenya. Aku tidak tahu pintu mana yang harus diketuk. Bali terasa seperti buku baru dengan halaman kosong, sementara aku berdiri membawa pulpen yang tintanya setengah kering.

Tapi satu hal yang aku tahu, dan suara itu muncul dari dalam dadaku seperti alarm:
“Do something, Nuk… do it now.”

 

Dunia Baru Bernama SMS Blasting

Beberapa minggu pertama aku seperti ubur-ubur mental—mengikuti arus saja, belum punya bentuk. Sampai akhirnya aku dapat pekerjaan di sebuah perusahaan digital marketing kecil yang sedang naik daun karena satu layanan: SMS Blasting.

Iya, zaman itu SMS masih jadi primadona. Belum ada WA broadcast yang tinggal centang kanan-kiri.

Hari pertamaku?
Kocak parah.

Atasan bilang, “Kamu tinggal klik send, pilih database, selesai.”

Tapi server ngadat. Database duplikat. Ada satu klien ngamuk karena penawaran diskonnya malah terkirim ke nomor mantan istrinya.

Aku cuma bisa garuk-garuk kepala.

“Ini kerjaan digital apa kerjaan memecahkan masalah rumah tangga, sih?” batinku.

Tapi dari situ pelan-pelan aku belajar lagi: membaca pasar Bali yang unik, bicara dengan pemilik UMKM, berteman dengan sales yang motornya selalu dipenuhi brosur, sampai belajar ulang adat, irama, dan karakter masyarakat lokal.

Bali memang tanah lahirku, tapi memahaminya sebagai ladang kerja adalah hal yang sama sekali berbeda.

 

Wartel: Mimpi Kecil, Peluru Masa Depan

Sembari kerja, spirit wirausahaku seperti kambuh lagi.

Aku lihat peluang: Wartel.
Zaman itu, telepon rumah bukan kebutuhan wajib, HP masih banyak yang pakai antena, dan orang butuh tempat buat nelepon murah.

“Coba aja satu,” pikirku.
Eh, satu jadi dua.
Dua jadi tiga.

Modalnya? Tabungan sisa-sisa hidup masa kuliah plus tekad jenis yang bikin ibu-ibu warung sebelah bilang, “Nih anak kayanya nekat tapi ada jalannya.”

Dan, jujur saja… di balik itu semua, ada satu kata yang terus berdentang dalam dada:

Nikah.

Yes. Mau seganteng apapun seseorang, kalau dompetnya masih kosong, restu orang tua bisa mental.
Jadi aku kerja, nabung, dan ngebangun pondasi masa depan sedikit-sedikit.

 

Renny, Skripsi, dan Perjuangan Dua Kota

Sementara itu, Renny masih berjuang menyelesaikan skripsinya di Malang. Kami LDR—yang jaraknya bukan cuma geografis, tapi juga isi dompet.

Kami nggak punya komputer.
Kalau dia ngerjain skripsi, ya di rental. Kadang mesin ketiknya rusak, kadang tombol “S” suka ngadat, jadi tulisan “Skripsi” berubah jadi “Kripi”. Lucu sih kalo lagi nggak stres.

Tapi kami jalanin.

Sampai hari sidang itu tiba.
Aku datang dari Bali, langsung menuju kampus. Duduk di kursi kayu yang dinginnya kayak sengaja mengejek kecemasanku.

Setiap kali pintu ruang sidang terbuka, aku langsung angkat kepala.

Lalu akhirnya penguji keluar.
Aku berdiri refleks.

“Saudari Renny… lulus. Predikat A.”

Aku menghembuskan napas begitu lega sampai satpam sebelahku nengok karena kukira aku lagi coba-coba teknik pernapasan baru.

Dalam hati aku bilang,
“Alhamdulillah… Yessss, we got it.”

Bukan dia.
Bukan aku.
Tapi kami.

Kami bukan pasangan yang berlimpah fasilitas, tapi kami punya tekad yang nggak gampang dikalahin jarak, cuaca, atau harga sewa rental komputer.

 

Renny Pindah ke Bali: Dua Sayap, Satu Langit

Tak lama setelah lulus, Renny ikut aku ke Bali.

Awalnya dia kerja di perusahaan cargo kecil, tapi karena dia tipe perempuan yang kalau belajar bisa kilat, kalau kerja bisa gesit, dan kalau marah… ehm, ya gitu deh…
akhirnya dia dapat tawaran masuk ke MRI Group—Hard Rock Radio Bali.

Aku ingat malam sebelum interview aku bilang:

“Nah, di sana nanti kamu bersinar ya… tapi jangan lebih bersinar dari aku.”
Renny langsung melempar bantal ke mukaku.

Dan benar, ia berkembang.
Bekerja dengan ritme yang cepat, bertemu banyak orang kreatif, belajar hal baru setiap hari. Ia bukan lagi sekadar mendampingiku—ia ikut mendorong kehidupan kami maju.

Dua sayap.
Satu langit.

 

Tiga Graphic House: Mimpi yang Disetrika Ulang

Di sisi lain, aku mulai merindukan dunia kreatif.
Lalu, seperti puzzle yang tiba-tiba nyambung, aku bertemu Ade Adinata—teman kecilku.

Kami akur lagi seperti anak SD yang rebutan gundu—bedanya sekarang yang kami rebutkan adalah ide dan peluang.

Lalu berdirilah Tiga Graphic House.

Kenapa tiga?
Sederhana. Kami cuma dua orang, tapi mimpi kami kadang terasa kayak ditanggung tiga kepala. Jadi ya… biar seimbang.

Proyek pertama kami kecil-kecilan. Bikin flyer, menu restoran, baliho.

Sampai suatu hari satu hotel bintang lima telpon:
“Kami dapat rekomendasi dari klien bapak. Bisa handle desain untuk paket promosi kami?”

Aku langsung jawab, “Bisa!”
Padahal laptopku waktu itu kipasnya bunyi kayak kulkas tua.

Lalu klien berikutnya datang.
Courts—perusahaan retail internasional. And then another.
Pelan-pelan, Tiga Graphic House berdiri tegak sebagai rumah ide lokal yang kualitasnya bisa bersaing dengan agensi besar.

Dan aku?
Aku menikmati prosesnya. Karena aku tahu:
Tidak ada sukses yang instan.
Yang instan itu mie. Itu pun kalau airnya mendidih.

 

Menyambung Titik-Titik Kehidupan

Di malam-malam panjang, saat lampu studio sudah dimatikan dan hanya suara AC yang berisik, aku sering termenung.

Tiba-tiba semua hal dari masa lalu seperti menari di kepala:

Warnet tempatku mengetik skripsi.
Wartel tempatku belajar mengatur uang.
SMS blasting yang mengasah komunikasiku.
Pekerjaan-pekerjaan kecil yang kadang terasa enteng tapi ternyata menanamkan sesuatu.

Dan aku mulai paham:

Tidak ada yang sia-sia.
Semuanya titik-titik kecil yang saling terhubung.

Tapi ada satu hal yang akhirnya aku sadari:

Semangat saja tidak cukup.
Tekad saja tidak cukup.

Untuk bertahan di dunia yang penuh manusia keras kepala sepertiku, kita butuh satu cahaya lain:

Kreativitas

Karena kreativitas itulah yang membedakan kita dari jutaan manusia yang juga punya semangat dan tekad.

Dan aku mulai bertanya pada diriku sendiri,

“Apa yang membuatmu berbeda, Nuk?”

Jawabannya datang pelan-pelan, seperti bisikan:

Aku tahu caraku bertahan.
Dan aku tahu kekuatanku sendiri.

Sejak itu aku tak ingin sekadar jadi “orang yang baik” atau “orang yang rajin”.
Aku ingin menjadi orang yang berbeda dan berdampak.

 

Menemukan Misi Hidup

Di satu malam yang sunyi, aku duduk di belakang rumah sambil menyeruput kopi. Dari jauh terdengar suara gamelan, entah dari pura atau latihan banjar. Aku menutup mata dan bertanya:

“Apa sih sebenarnya misi hidupku?”

Dulu aku pikir jawabannya adalah gelar, gaji, rumah, dan perusahaan sendiri.
Tapi semakin jauh melangkah, aku sadar: itu semua cuma alat.

Alat untuk membentuk jiwa.
Alat untuk membuka mata hati.

Dan pelan-pelan aku merumuskan misiku:

Tumbuh.
Memberi makna.
Membagikan harapan.

Aku ingin tumbuh terus—sebagai manusia, bukan cuma sebagai profesional.
Aku ingin setiap langkahku punya makna.
Dan aku ingin setiap orang yang pernah bersinggungan denganku merasa sedikit lebih berdaya, sedikit lebih kuat, sedikit lebih terdorong.

Aku pun menetapkan nilai-nilai hidupku:

  1. Integritas.
    Tanpa itu, segalanya runtuh.
  2. Kerja keras dengan cerdas.
    Bukan banyaknya usaha, tapi tepatnya arah.
  3. Kerendahan hati.
    Dunia lebih butuh pembelajar daripada pemenang.
  4. Keberanian bertumbuh.
    Karena zona nyaman seringkali hanya membuat kita kecil.
  5. Ketulusan dalam mencinta dan memberi.
    Yang tulus tak akan sia-sia.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa langkahku tidak lagi goyah.
Bukan karena aku sudah tahu segalanya.
Tapi karena aku akhirnya punya kompas.

Kompas untuk hidup yang bukan hanya ingin ada, tetapi ingin berarti.

 

CATATAN NUCKY : Kadang pulang berarti memulai dari nol. Tapi justru di titik asing itulah kita belajar bahwa tekad, cinta, dan keberanian untuk terus bergerak mampu mengubah tanah yang asing menjadi rumah bagi mimpi. Hidup adalah rangkaian titik yang kelak saling terhubung. Dan ketika kita menemukan keunikan serta misi hidup kita, maka setiap jatuh bangun bukan sekadar pengalaman, tetapi bekal untuk memberi arti dan harapan bagi dunia.

 lanjut baca klik link : 33 - MENJADI PEMIMPIN YANG TUMBUH BERSAMA BUKAN DIATAS YANG LAIN 





Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN