Arief: Si Ob Cerdas Yang Belajar Di Balik Tempat Sampah
Aku ingat betul hari pertamanya. Anak itu datang dengan rambut
klimis, kemeja kebesaran, dan mata yang… ah, mata yang sama seperti mataku dulu
waktu pertama kali masuk industri: penuh harapan yang malu-malu.
“Mas, tempat sampahnya diangkat sekalian?” katanya waktu itu.
Nada bicaranya sopan, tapi matanya ngintip ke monitor desainer yang lagi buka
CorelDraw.
Aku cuma senyum. “Kamu suka desain?”
Dia angguk kecil. “Suka, Mas. Cuma… ya gitu. Belajarnya diam-diam.”
Dan benar—diam-diam anak ini belajar Photoshop di sisa waktu makan
siangnya.
Diam-diam memperbaiki layout yang ditinggal desainer ke toilet (yang bikin
desainer itu kaget campur malu).
Diam-diam nanya ke aku, “Mas, kalau mau bikin bayangan biar realistis gimana
ya?”
Diam-diam… tapi langkahnya jauh.
Aku lihat diriku sendiri di situ.
Atau mungkin, aku lihat anak-anak seusiaku yang dulu cuma butuh satu orang
bilang: “Kamu bisa.”
Maka kupilih Arief untuk dapat beasiswa internal.
Dan sejak hari itu, dia bukan lagi cuma OB.
Dia jadi “anak kandung kreativitas”—versi paling mentah, paling murni, dan
paling lapar dari apa yang disebut semangat hidup.
Lahirnya Frontline: Panggung Baru Untuk Darah Muda
Dengan regenerasi yang mulai kupetakan, aku bikin divisi baru: Frontline—event
& experiential marketing.
Darahnya muda. Nadinya cepat. Napasnya pendek tapi kenceng.
Aku serahkan komando ke mereka:
- Didik sebagai
Project Director—suara keras, tapi hatinya seperti nasi padang: pedas,
tapi nagih.
- Nuning yang
rapi seperti excel, tegas seperti deadline.
- Arief di tim
support, tapi entah kenapa rasanya dia bakal jauh lebih besar dari sekadar
“support.”
Kantor langsung berubah.
Rasa-rasanya, dari ujung pintu sampai ke dapur penuh semangat “Ayo gas lagi!”
Tentu, masalah ikut tumbuh.
Namanya juga kreativitas—kadang cuma gara-gara kurang kopi, dua divisi langsung
debat kayak sidang parlemen.
Aku lihat, aku dengar, tapi aku nggak selalu turun tangan.
Dulu aku pemadam kebakaran.
Sekarang aku penjaga kompas.
Turun tangan itu penting.
Tapi turun hati… jauh lebih menentukan.
Dari Pekerja Jadi Pendidik
Waktu mengajarkanku satu hal:
“Kalau mau lari cepat, larilah sendiri.
Tapi kalau mau lari jauh, latih timmu.”
Dan aku ingin lari jauh.
Dulu aku sibuk jadi pusat panggung.
Sekarang aku lebih suka ada di balik layar—ngarahin lampu, nyiapin panggung,
memastikan pemain baru tahu kapan masuk dan kapan berhenti.
Aku mulai sadar…
Bahwa makin tinggi kamu naik, makin sedikit kursi di dekatmu.
Maka lebih baik aku turun, duduk bersama mereka, dan kasih ruang lebih luas
untuk tumbuh.
Dari Kreator Ke Kontributor
Setelah sekian lama jadi penggagas kampanye dan pemenang tender,
ada hari-hari di mana aku duduk bengong di ruang meeting.
Bukan tidak sibuk, tapi… hatiku bertanya sesuatu.
“Apa gunanya semua ini, kalau tak ada yang lebih baik setelahmu
pergi?”
Pertanyaan itu membawaku ke perjalanan baru:
Mengajar anak-anak muda desain gratis.
Buka magang untuk siapa saja yang mau belajar—bukan siapa yang punya ijazah.
Kasih panggung kecil ke tim muda biar mereka belajar gagal.
Karena pemimpin yang baik bukan yang paling hebat,
Tapi yang paling bisa membuat orang lain jadi hebat.
CATATAN NUCKY: “Nama baik
lebih mahal dari profit. Rezeki panjang lahir dari integritas. Dan aku melihat
kalimat itu hidup di diri Arief.
Ketika Sahabat Jadi Rival Tanpa Disadari
Tapi hidup tidak selalu tentang pencapaian.
Kadang justru tentang luka yang mengajarkan cara pulang.
Aku dan Mas Mufid memulai Jawa Ad seperti mimpi dua anak muda:
berani, penuh ambisi, dan percaya dunia pasti takluk oleh kreativitas.
Tapi seiring perusahaan tumbuh, hal lain tumbuh diam-diam: ego.
Keputusan strategis mulai bentrok.
Obrolan jadi debat.
Debat jadi dingin.
Dingin jadi jurang.
Dan ketika Bu Marisa—istri Mas Mufid sekaligus Finance
Manager—merasa perannya terpinggirkan, situasinya makin kompleks.
Posisiku makin kuat secara informal.
Posisi beliau kuat secara struktural.
Salah paham kecil jadi konflik besar.
Arah perusahaan retak.
Dan istriku, Renny, memilih mundur lebih dulu.
Kadang, yang paling sakit bukan saat orang lain menyakitimu,
Tapi saat kamu sadar dirimu pun ikut menyakiti tanpa sadar.
Titik Pecah: Saat Aku Memutuskan Mundur
Aku memilih jalan yang paling berat:
Mundur dari perusahaan yang aku bangun sendiri.
Tapi tidak berhenti di situ.
Aku bersama tim inti membangun Teamwork Partner.
Dan perusahaan itu langsung melejit.
Jawa Ad goyah.
Teamwork tumbuh.
Dunia bilang aku menang.
Tapi malam-malam panjang di kamar berkata lain:
“Lalu? Untuk apa semua ini?”
Aku kehilangan sahabat.
Aku kehilangan rumah yang dulu kubangun.
Aku kehilangan sebagian dari diriku sendiri.
Pelajaran Dari Runtuhnya Impian
Di sanalah aku belajar:
Perusahaan
tidak bisa berdiri di atas semangat saja.
Harus diikuti kedewasaan emosi.
Bisnis
tidak boleh tercampur kepentingan keluarga.
Sebaik apa pun niatnya.
Ego
adalah penyamar paling lihai.
Sering kita kira sedang memperjuangkan prinsip.
Padahal hanya memperjuangkan menang.
- Rekan
kerja banyak. Sahabat sejati jarang.
- Kadang
bangkit itu bukan membangun lagi, tapi mengikhlaskan.
Ketika Teamwork sudah kokoh,
Aku menyerahkan tongkat pada Didik.
Aku mundur, bukan kalah.
Tapi karena aku ingin memberi ruang bagi generasi baru.
Luka Yang Membentuk Makna
Kini, setiap kali mendengar nama Jawa Ad atau Teamwork, hatiku
tidak bergetar karena kebanggaan.
Tapi karena syukur.
Aku pernah jatuh.
Aku pernah tersesat.
Aku pernah dikalahkan oleh diriku sendiri.
Tapi dari situlah aku belajar arti pulang.
Arti menjadi manusia utuh—bukan hanya pengusaha sukses.
Arti menjadi kontributor yang bukan sekadar mencari panggung,
Tapi mempersiapkan panggung bagi yang datang setelahku.
“Kadang, kita harus rela kehilangan panggung
untuk naik ke tempat yang lebih tinggi
dalam panggilan hidup kita.”
Dan kini aku tahu…
Bisnis bukan soal siapa yang menang.
Tapi siapa yang pulang dengan hati yang utuh.