37 - PANGGILAN DARI MASA LALU : KETIKA TAKDIR MENGAJAK NAIK LEVEL

 




Kadang hidup itu rasanya kayak lagi duduk manis di warung bakso—baru mau nyeruput kuah, eh tiba-tiba ada yang manggil dari belakang, “Mas! Tambah sambal, ya?”
Kaget, tumpah, panas. Tapi setelah itu baru sadar: oh iya, mungkin memang butuh pedes dikit biar hidupnya naik tingkat.

Hari itu aku persis kayak begitu. Lagi duduk di ruang kerja di Bali, ruangan kecil yang sudah kuanggap seperti “gua sakti” tempat semua ide gila muncul—mulai dari konsep iklan sampai mimpi punya kantor sendiri. Angin lembut dari jendela bikin pikiranku santai. Ya, hidup rasanya lagi enak-enaknya.

Sampai ponselku berdering.
Dan di layar muncul nama yang bikin jantungku kayak ditabok bantal: Mas Mufid Wahyudi.

“Lho kok Mas Mufid?” gumamku.

Nama itu bukan sekadar nama. Itu potongan penting dalam perjalanan hidupku—mentor, partner, abang, sekaligus orang yang percaya padaku bahkan sebelum aku bisa percaya pada diriku sendiri. Kayak orang yang pertama kali bilang, “Nuck, kamu bisa tampil di panggung,” padahal aku waktu itu ngomong di depan ayam aja gugup.

Aku angkat telepon itu.
Dan suaranya masih sama persis seperti bertahun-tahun lalu: penuh energi khas Arek Suroboyo yang blak-blakan tapi tulus.

“Nuck! Le, kabarmu piye to?”
“Alhamdulillah baik, Mas. Sampeyan piye?”
“Baik, tapi aku butuh kamu, le. Serius iki.”

Nada itu… aku langsung lurus duduk.

“Dengar ya. Bayi yang dulu kita lahirkan itu lho… Jawa Ad… sekarang wes dadi raksasa cilik. Beneran, lek. Klien-klien gede mulai masuk. Kita nggak main-main sekarang.”
“Alhamdulillah, Mas. Seneng aku dengernya.”
“Nah, makane. Aku butuh kamu balik. Gabung lagi. Bareng-bareng kita besarkan Jawa Ad ke level berikutnya.”
“Hehehe… Mas, sampeyan ini…”
“Wis, tak langsung ngomong ae. Aku siapin posisi Associate Managing Director. Gaji oke. Ruang gerak gede. Dan… kabar baiknya… Renny juga bisa gabung. Satu kantor.
Gimana?”

Bener-bener kayak ada petir kecil yang nyetrum dada.
Yang muncul bukan cuma kaget, tapi juga kenangan.

Kantor kecil zaman dulu.
Komputer sewaan.
Printer yang kalau macet tingkahnya lebih drama daripada sinetron.
Lembur sampai subuh sambil makan mie gelas.
Proposal demi proposal yang kami susun sambil ketawa, sambil ngeluh, sambil ngegas mimpi.

Sekarang mimpi itu ternyata tumbuh besar.
Dan aku dipanggil kembali untuk mengurusnya.

Aku menatap jendela.
Kuta terasa damai.
Angin Bali itu memang punya jurus khusus—sedikit saja kena, langsung meluruhkan stres.

Tapi dalam hati… ada bisikan halus:
“Nucky, ini mungkin panggilan untuk naik level.”

 

Antara Bali Dan Surabaya – Dialog Dua Hati

Malam itu aku duduk bersama Renny. Di ruang tamu kecil tempat banyak cerita hidup dimulai: obrolan mimpi, curhat stres kerjaan, rencana masa depan… semuanya pernah lewat sini.

Aku tarik napas panjang.

“Ren,” kataku pelan, “Mas Mufid telepon. Dia ngajak balik ke Surabaya. Tawarannya besar… banget.”

Renny yang lagi nyapu-nyapu remah kripik di sofa, berhenti dan menatapku. Pelan. Dalam. Penuh rasa.

“Gimana perasaanmu?” tanyanya.

Aku menghela napas.
“Jujur… aku seneng. Tapi juga takut. Bali sudah kayak rumah buat kita. Kita bangun semuanya dari nol di sini. Hidup kita mulai stabil.
Tapi tawaran ini… kayak pintu besar yang kebuka.”

Renny tersenyum pelan. Mata itu… selalu punya cara menenangkan badai.

“Nuck,” katanya, “tempat itu penting, tapi bukan yang terpenting. Kita kuat bukan karena Bali, tapi karena kita berdua saling dukung. Kamu mau naik level? Aku ikut. Kamu mau tetap di Bali? Aku ikut juga. Yang penting kita jalan bareng.”

Deg.
Kalimat itu kayak air dingin yang jatuh tepat di titik paling panas di hati.

Aku mengangguk pelan.
“Kalau gitu… kita coba buka pintu besar itu ya, Ren.”

Dan dia cuma menjawab,
“Yuk.”

 

Hijrah Ke Surabaya – Naik Level, Naik Tantangan

Pindahan itu… jangan ditanya.
Packing barang-barang yang kebanyakan punya sejarah membuat suasana jadi sedikit mellow.

Ada motor pertama yang kami beli bareng, penuh perjuangan.
Ada foto-foto kecil yang ditempel di kulkas.
Ada baju-baju lama yang baunya masih kayak awal-awal nikah.

Kami pamit dari Bali dengan hati campur aduk: sedih, bersyukur, bangga, tapi juga penuh semangat.

Surabaya menyambut kami seperti biasanya—keras, panas, cepat.
Tapi kami datang bukan untuk numpang lewat.
Kami datang untuk bermain… dan menang.

Aku resmi menjabat Associate Managing Director di Jawa Ad.
Bukan sekadar jabatan—tapi tantangan.
Tantangan yang membutuhkan versi diriku yang lebih dewasa, lebih taktis, lebih sabar, sekaligus lebih berani.

Renny pun ikut kerja.
Dan lucunya, sekarang kami benar-benar jadi “tim suami-istri kantor”—yang kadang romantis, kadang malah adu argumen soal deskripsi kerja.

Siang penuh rapat.
Malam dikejar deadline.
Pagi-pagi minum kopi sambil bercanda, “Eh Bu, klien kita ngambek lagi.”
Dan Renny jawab, “Halah Pak, biasa itu. Yang penting kita gandengan terus.”

Dan jujur… melelahkan.
Tapi juga menguatkan.

 

Hijrah Yang Menumbuhkan

Surabaya mengajariku banyak hal:

• Bahwa profesionalisme itu bukan pilihan, tapi standar.
• Bahwa komunikasi harus jujur, meski kadang pahit.
• Bahwa membangun relasi bukan sekadar menjaga reputasi, tapi juga menjaga integritas.
• Bahwa kerja bukan cuma soal naik jabatan, tapi juga mengangkat orang lain tumbuh bersama.

Dan yang paling penting… aku belajar bahwa karier yang baik bukan soal “seberapa tinggi aku naik,” tapi “siapa saja yang ikut naik bersamaku.”

Hijrah ini bukan cuma pindah kota.

Tapi pindah tingkat.
Pindah cara berpikir.
Pindah keberanian.
Pindah tanggung jawab.
Pindah keyakinan.

Dan aku bersyukur karena dalam perjalanan ini… aku nggak sendirian. Ada Renny. Ada Mas Mufid. Ada tim baru. Ada masa depan yang menunggu.

 

CATATAN NUCKY : Hijrah sejati bukan sekadar berpindah tempat. Hijrah itu keberanian melepas kenyamanan, naik kelas, dan menjadikan setiap langkah sebagai jalan untuk tumbuh, mengabdi, dan membesarkan harapan—bersama orang-orang yang kita cintai.

 

 lanjut baca klik link : 38 - PROYEK KOLOSAL : REZEKI YANG DIJEMPUT, RUMAH YANG MEMBESARKAN KAMI




Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN