Hari itu aku persis kayak begitu. Lagi duduk di ruang kerja di
Bali, ruangan kecil yang sudah kuanggap seperti “gua sakti” tempat semua ide
gila muncul—mulai dari konsep iklan sampai mimpi punya kantor sendiri. Angin
lembut dari jendela bikin pikiranku santai. Ya, hidup rasanya lagi
enak-enaknya.
Sampai ponselku berdering.
Dan di layar muncul nama yang bikin jantungku kayak ditabok bantal: Mas Mufid
Wahyudi.
“Lho kok Mas Mufid?” gumamku.
Nama itu bukan sekadar nama. Itu potongan penting dalam perjalanan
hidupku—mentor, partner, abang, sekaligus orang yang percaya padaku bahkan
sebelum aku bisa percaya pada diriku sendiri. Kayak orang yang pertama kali
bilang, “Nuck, kamu bisa tampil di panggung,” padahal aku waktu itu ngomong di
depan ayam aja gugup.
Aku angkat telepon itu.
Dan suaranya masih sama persis seperti bertahun-tahun lalu: penuh energi khas
Arek Suroboyo yang blak-blakan tapi tulus.
“Nuck! Le, kabarmu piye to?”
“Alhamdulillah baik, Mas. Sampeyan piye?”
“Baik, tapi aku butuh kamu, le. Serius iki.”
Nada itu… aku langsung lurus duduk.
“Dengar ya. Bayi yang dulu kita lahirkan itu lho… Jawa Ad…
sekarang wes dadi raksasa cilik. Beneran, lek. Klien-klien gede mulai masuk.
Kita nggak main-main sekarang.”
“Alhamdulillah, Mas. Seneng aku dengernya.”
“Nah, makane. Aku butuh kamu balik. Gabung lagi. Bareng-bareng kita besarkan
Jawa Ad ke level berikutnya.”
“Hehehe… Mas, sampeyan ini…”
“Wis, tak langsung ngomong ae. Aku siapin posisi Associate Managing Director.
Gaji oke. Ruang gerak gede. Dan… kabar baiknya… Renny juga bisa gabung. Satu
kantor.
Gimana?”
Bener-bener kayak ada petir kecil yang nyetrum dada.
Yang muncul bukan cuma kaget, tapi juga kenangan.
Kantor kecil zaman dulu.
Komputer sewaan.
Printer yang kalau macet tingkahnya lebih drama daripada sinetron.
Lembur sampai subuh sambil makan mie gelas.
Proposal demi proposal yang kami susun sambil ketawa, sambil ngeluh, sambil
ngegas mimpi.
Sekarang mimpi itu ternyata tumbuh besar.
Dan aku dipanggil kembali untuk mengurusnya.
Aku menatap jendela.
Kuta terasa damai.
Angin Bali itu memang punya jurus khusus—sedikit saja kena, langsung meluruhkan
stres.
Tapi dalam hati… ada bisikan halus:
“Nucky, ini mungkin panggilan untuk naik level.”
Antara Bali Dan Surabaya – Dialog Dua Hati
Malam itu aku duduk bersama Renny. Di ruang tamu kecil tempat
banyak cerita hidup dimulai: obrolan mimpi, curhat stres kerjaan, rencana masa
depan… semuanya pernah lewat sini.
Aku tarik napas panjang.
“Ren,” kataku pelan, “Mas Mufid telepon. Dia ngajak balik ke
Surabaya. Tawarannya besar… banget.”
Renny yang lagi nyapu-nyapu remah kripik di sofa, berhenti dan
menatapku. Pelan. Dalam. Penuh rasa.
“Gimana perasaanmu?” tanyanya.
Aku menghela napas.
“Jujur… aku seneng. Tapi juga takut. Bali sudah kayak rumah buat kita. Kita
bangun semuanya dari nol di sini. Hidup kita mulai stabil.
Tapi tawaran ini… kayak pintu besar yang kebuka.”
Renny tersenyum pelan. Mata itu… selalu punya cara menenangkan
badai.
“Nuck,” katanya, “tempat itu penting, tapi bukan yang terpenting.
Kita kuat bukan karena Bali, tapi karena kita berdua saling dukung. Kamu mau
naik level? Aku ikut. Kamu mau tetap di Bali? Aku ikut juga. Yang penting kita
jalan bareng.”
Deg.
Kalimat itu kayak air dingin yang jatuh tepat di titik paling panas di hati.
Aku mengangguk pelan.
“Kalau gitu… kita coba buka pintu besar itu ya, Ren.”
Dan dia cuma menjawab,
“Yuk.”
Hijrah Ke Surabaya – Naik Level, Naik Tantangan
Pindahan itu… jangan ditanya.
Packing barang-barang yang kebanyakan punya sejarah membuat suasana jadi
sedikit mellow.
Ada motor pertama yang kami beli bareng, penuh perjuangan.
Ada foto-foto kecil yang ditempel di kulkas.
Ada baju-baju lama yang baunya masih kayak awal-awal nikah.
Kami pamit dari Bali dengan hati campur aduk: sedih, bersyukur,
bangga, tapi juga penuh semangat.
Surabaya menyambut kami seperti biasanya—keras, panas, cepat.
Tapi kami datang bukan untuk numpang lewat.
Kami datang untuk bermain… dan menang.
Aku resmi menjabat Associate Managing Director di Jawa Ad.
Bukan sekadar jabatan—tapi tantangan.
Tantangan yang membutuhkan versi diriku yang lebih dewasa, lebih taktis, lebih
sabar, sekaligus lebih berani.
Renny pun ikut kerja.
Dan lucunya, sekarang kami benar-benar jadi “tim suami-istri kantor”—yang
kadang romantis, kadang malah adu argumen soal deskripsi kerja.
Siang penuh rapat.
Malam dikejar deadline.
Pagi-pagi minum kopi sambil bercanda, “Eh Bu, klien kita ngambek lagi.”
Dan Renny jawab, “Halah Pak, biasa itu. Yang penting kita gandengan terus.”
Dan jujur… melelahkan.
Tapi juga menguatkan.
Hijrah Yang Menumbuhkan
Surabaya mengajariku banyak hal:
• Bahwa profesionalisme itu bukan pilihan, tapi standar.
• Bahwa komunikasi harus jujur, meski kadang pahit.
• Bahwa membangun relasi bukan sekadar menjaga reputasi, tapi juga menjaga
integritas.
• Bahwa kerja bukan cuma soal naik jabatan, tapi juga mengangkat orang lain
tumbuh bersama.
Dan yang paling penting… aku belajar bahwa karier yang baik bukan
soal “seberapa tinggi aku naik,” tapi “siapa saja yang ikut naik bersamaku.”
Hijrah ini bukan cuma pindah kota.
Tapi pindah tingkat.
Pindah cara berpikir.
Pindah keberanian.
Pindah tanggung jawab.
Pindah keyakinan.
Dan aku bersyukur karena dalam perjalanan ini… aku nggak
sendirian. Ada Renny. Ada Mas Mufid. Ada tim baru. Ada masa depan yang
menunggu.
CATATAN NUCKY : Hijrah
sejati bukan sekadar berpindah tempat. Hijrah itu keberanian melepas
kenyamanan, naik kelas, dan menjadikan setiap langkah sebagai jalan untuk
tumbuh, mengabdi, dan membesarkan harapan—bersama orang-orang yang kita cintai.
lanjut baca klik link : 38 - PROYEK KOLOSAL : REZEKI YANG DIJEMPUT, RUMAH YANG MEMBESARKAN KAMI