60 - BCC LAB : RUMAH BELAJAR, RUMAH PERUBAHAN

 




Angin sore Bali selalu punya cara untuk membuat ide besar mencuat tanpa permisi. Waktu itu aku dan Purwanto duduk di teras kantor—tempat yang entah kenapa sering lebih produktif daripada ruang meeting ber-AC dan penuh pointer. Lampu-lampu toko di sepanjang Jalan Teuku Umar mulai menyala satu per satu, memantulkan cahaya kuning yang hangat ke meja kami. Di tangan masing-masing, secangkir kopi hitam yang mulai mendingin, tapi ide kami justru semakin panas.

“Aku kepikiran sesuatu,” kataku sambil menyandarkan tubuh ke kursi plastik yang mulai aus di bagian pinggirnya.

Purwanto mengangkat alis. “Nah… kalau beginian biasanya antara ide jenius atau ide bikin migrain.”

Aku tertawa. “Nggak jauh beda lah.”

Aku mengambil napas, merasa momen itu seperti pembuka bab baru dalam buku hidupku sendiri.

“Bro… gimana kalau kita bikin BCC Lab?”

Purwanto diam. Tapi diam Purwanto beda dengan diam orang biasa. Diamnya itu seperti loading bar, lagi muter, lagi ngolah data di kepalanya. Dia bukan tipe orang yang langsung “wow”, tapi kalau dia suka sesuatu, cara kepalanya condong sedikit ke kanan itu sudah cukup jadi persetujuan setengah jalan.

“Lab? Maksudmu kayak dapur uji coba?” tanyanya.

“Bukan cuma dapur,” jawabku, “Rumah belajar. Tempat semua orang dari Aceh sampai Papua bisa datang dan nggak cuma ‘lihat’ BCC, tapi ‘merasakan’ BCC. Tempat gagal itu boleh, salah itu wajar, dan belajar itu wajib.”

Ia tersenyum kecil. Itu dia—Green light.

Dan dari momen kecil dengan kursi plastik aus itu… lahirlah mimpi besar.

 

Rumah Belajar Yang Hidup

Dalam benakku, BCC Lab bukan ruang glossy, bukan studio modern ala-ala YouTube cooking show. Bahkan kalaupun warnanya nggak instagrammable, aku nggak peduli. Yang penting nyawa di dalamnya hidup. Tempat di mana SOP bukan cuma tulisan dingin di kertas, tapi denyut yang dipraktikkan.

Rasanya seperti membuat restoran dummy, tapi dalam versi manusiawi. Restoran yang nggak takut jelek plating-nya, salah seasoning, atau overcooking. Karena di sinilah tempat semua itu dicoba sebelum menyentuh tangan pelanggan.

Aku sampai ngomong ke Purwanto, “Bro, di Lab nanti orang boleh gagal. Asal gagal dengan hormat.”

Purwanto tertawa. “Gagal kok hormat.”

“Ya iyalah,” aku mengedikkan bahu, “Gagal yang bikin kita maju. Bukan gagal yang bikin kita nyalahin orang.”

Kami berdua tertawa. Rasanya seperti merancang tempat bermain bagi manusia-manusia dewasa yang mau belajar lagi.

 

Refleksi Di Jalan: Belajar Menikmati Perubahan

Dasar manusia, kita selalu ingin hasil cepat. Tapi setiap perjalanan ke kota berbeda—Bandung, Makassar, Medan, Surabaya—aku belajar bahwa perubahan itu pelan. Menyakitkan. Kadang bikin ingin banting HP, kadang bikin ingin resign. Tapi di situlah letak seninya.

“Perubahan itu kayak diet,” kataku suatu kali sambil menepuk perut sendiri. “Kalau mau hasil instan, pasti gagal.”

Purwanto mengangguk. “Tapi kalau pelan-pelan, lama-lama kuat.”

Kadang aku temukan pelajaran dari hal paling sederhana. Dari kopi tumpah, dari crew yang bingung, dari cashier yang salah input. Setiap gangguan kecil itu memberikan cermin tentang hal yang harus diperbaiki.

Dan entah dari mana, tiba-tiba aku ingat satu ayat:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
InnaAllaha laa yughayyiru maa biqoumin hatta yughayyiruu maa bi anfusihim
(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.)

Ayat itu seperti menggedor dada.
Jleb.
Ya, perubahan itu dari dalam. Dari hati. Dari niat.

 

Purwanto: Mesin Tenang Yang Menerjemahkan Mimpi

Dalam proyek ini, Purwanto adalah pria yang memegang peta besar di kepala. Aku? Aku mungkin lebih ke orang yang menggambar awan dan matahari cerah di sudut kertas.

Ia mulai menyusun SOP versi baru, training flow, sistem QC, evaluasi harian. Ia nongkrong di dapur, mencicipi makanan, memerhatikan plating, sampai-sampai seorang barista pernah berbisik ke temannya:

“Pak Purwanto itu sebenarnya auditor atau ninja ya? Tiba-tiba muncul aja…”

Aku ketawa dengar cerita itu.
Tapi begitulah dia—the quiet reformer.

 

Ujian Di Makassar: Hertasning, Babak Baru

Setelah Lab berjalan, tibalah ujian sesungguhnya: pembukaan gerai Hertasning, Makassar.

Ini bukan sekadar grand opening.
Ini exam final untuk BCC Lab.

Kami mengirim 15 orang trainee ke Bali, tinggal satu bulan penuh. Belajar dari nol. Ada yang homesick, ada yang nangis waktu ditegur, ada yang hampir menyerah. Tapi malam-malam evaluasi selalu menjadi titik balik. Lagu “Don’t Dream It’s Over” mengalun lembut dari speaker Lab, sementara kami melihat anak-anak muda itu berlatih, mengulang, memperbaiki. Kadang sambil tertawa, kadang sambil menunduk dalam-dalam.

Seorang trainee pernah bilang dengan suara pelan, “Pak… saya dulu kerja cuma buat gaji. Tapi di sini… rasanya kayak punya tujuan.”

Aku menepuk bahunya.
“Tujuan terbesar kita bukan menyajikan kopi, Nak. Tapi menyajikan kebanggaan.”

 

Grand Opening: Makassar Bergetar

Hari itu, Makassar seperti punya festival mini. Karpet merah, bunga papan berjejer, barista tampil dengan atraksi latte art, aroma kopi menyeruak dari pintu kaca yang masih baru dipasangi stiker.

Dan yang paling ditunggu:
Walikota Makassar, Moh. Ramdhan “Danny” Pomanto, hadir dengan senyum khasnya.

“Ini bukan sekadar kedai kopi,” katanya lantang, “Ini ruang baru bagi tumbuhnya harapan.”

Aku melihat video itu dari jauh, dari balik layar kerja yang tidak pernah selesai. Tapi rasanya dada ini ikut bangga. Seperti melihat anak pertama kali ikut lomba lari dan menang.

Media mengulas, publik memuji, promosi berjalan, tim project gelagapan tapi bahagia. Semua seperti puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.

Makassar menjadi bukti bahwa BCC Lab bukan mimpi kosong.
Ia nyata.
Ia hidup.

 

Suasana Baru Di Bcc Amaris: Rumah Baru Yang Hangat

Sejak Lab berjalan, suasana BCC Amaris berubah pelan tapi pasti. Briefing pagi bukan lagi formalitas. Ada “Quote of the Day” yang jadi vitamin. Ada kebiasaan saling memuji kecil—yang dulu rasanya aneh, sekarang jadi manis.

Seorang barista menyapa pelanggan:
“Selamat pagi kak! Kopinya mau selembut hatimu atau mau yang kuat kayak tekad mantanmu move on?”

Pelanggan tertawa ngakak.
Aku cuma geleng-geleng: Ini anak-anak makin kreatif atau makin gila?

Tapi aku bangga.
Budaya itu tumbuh.

 

Bcc Lab, Bcc Academy, Dan Gerbang Hertasning

Lab melahirkan Academy.
Academy melahirkan transformasi.
Transformasi melahirkan gerai baru.
Dan Hertasning… melahirkan harapan baru bagi Makassar.

Akhirnya aku sadar:

Kita bukan cuma membangun restoran.
Kita sedang membangun peradaban kecil—tempat orang belajar, tumbuh, dan merasa dihargai.

 

CATATAN NUCKY : Perubahan sejati bukan datang dari ide besar, tapi dari hati yang berani mengakui kekurangan dan melangkah bersama, setapak demi setapak. Karena pertumbuhan terbesar bukan yang terlihat, tapi yang dirasakan.

 

 

 

Dan perjalanan ini…
belum selesai.

Ini baru awal babak baru.
Awal dari BCC yang lebih manusiawi, lebih hangat, lebih hidup.
Awal dari mimpi besar yang dulu hanya lahir dari secangkir kopi dan kursi plastik yang hampir patah di teras kantor.

Perjalanan belum selesai.
Tapi hari ini…
kita sudah melangkah jauh.

Dan esok, kita akan melangkah lebih jauh lagi.


lanjut baca klik link : 
61 - RERUNTUHAN YANG MENGAJARKAN ARTI KEBIJAKSANAAN  

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN