48 - REUNI AKBAR : PESTA TERAKHIR DI TANAH KENANGAN

 



Hari itu langit Bali seperti sedang ikut merayakan sesuatu—cerah, teduh, dan sedikit mendung tipis yang justru membuat pagi terasa ramah. Angin laut mengusap pelan daun-daun ketapang di tepi jalan, seolah mengajak kami bernostalgia bersama. Komplek Perumahan Bandara Ngurah Rai… ah, tempat segala cerita masa kecil itu—sedang menunggu pesta perpisahan terbesar dalam sejarahnya.

Aku berdiri di depan gerbang komplek, memegang toa kecil yang sudah kupakai sejak zaman jadi panitia 17-an. “Hah, benda ini masih hidup ya?” gumamku. Seseorang menepuk bahuku dari belakang.

“Ky… masih ingat tempat ini?”

Aku menoleh. Ada Dika—teman main layangan sekaligus rival balapan sepeda waktu SD. Tubuhnya kini lebih lebar, rambutnya tipis, tapi senyumnya masih sama: gabungan antara polos, usil, dan sok jagoan.

“Inget? Kita dulu pernah nyolong jambu di halaman sebelah situ,” jawabku sambil menunjuk sebuah rumah tua yang catnya sudah mengelupas.

Dika tertawa keras. “Yang punya rumah ngejar kamu pakai sapu lidi!”

Aku mengangkat alis tinggi-tinggi. “Lho, kenapa cuma aku yang dikejar? Kamu juga ikut!”

Dika menepuk dadanya dengan bangga. “Aku lebih cepat larinya.”

“Bohong. Kamu cuma lebih cepat sembunyi di balik aku!”

Kami tertawa. Tawa itu… entah kenapa terasa seperti suara dari masa yang lain, masa yang lebih sederhana, lebih jujur.

 

Jalan Santai, Jalan Kenangan

Jam 8 tepat. Toa tua di tanganku berbunyi nyaring, dengan suara mendengung seperti radio angkatan udara tahun 70-an.

“Teman-teman… kita mulai jalan santainya yaaa… Jangan rebutan! Ini bukan lomba sembako….”

Hening sejenak. Lalu tawa meledak.

Ratusan orang mulai berjalan pelan menyusuri lorong-lorong sempit komplek. Ada yang datang dari Jakarta, Makassar, Surabaya. Bahkan ada yang terbang jauh dari Jepang, Australia, Timur Tengah, Eropa, dan Kanada. Semua kembali… untuk pulang pada sesuatu yang tak bisa digantikan: kenangan.

“Eh! Ini rumah Bu Yati! Dulu jual es mambo lima puluh perak!”

“Gila, murah banget ya. Sekarang lima ribu pun belum tentu dapet rasa durian.”

“Tuh, itu tempat kita main gundu sampai lutut luka-luka.”

“MasyaAllah… pohon jambu itu masih hidup ternyata!”

Setiap langkah seperti membuka album foto raksasa. Anak-anak kami melihat kami dengan tatapan bingung, mungkin bertanya-tanya kenapa orang dewasa bisa begitu norak.

“Papa kok foto-foto tiang listrik?” tanya seorang anak pada ayahnya.

Ayahnya tersenyum getir. “Nak… tiang ini saksi Papa jatuh dari sepeda pertama kali.”

Aku sendiri nyengir saat melihat rumah merah bata di ujung blok.

Rumah tempat aku pernah naksir anaknya, wkwk.

Ah, masa lalu. Engkau memang tak pernah benar-benar hilang.

 

Perubahan Tak Bisa Dihindari, Tapi Bisa Dirayakan

Kami berkumpul di lapangan besar—yang dulu jadi arena 17-an, tempat kami bertanding tarik tambang sampai baju robek. Kini lapangan itu dipenuhi kursi, panggung kecil, dan tenda makanan.

Aku naik ke panggung darurat yang dibuat dari truk bak terbuka. Mikrofon sempat aku tes dua kali. “Tes… tesss… Halo halo, ini bukan pengumuman pesawat delay ya….”
Penonton tertawa. Alhamdulillah.

Aku menarik napas.

“Teman-teman… hari ini bukan sekadar reuni. Bukan pula nostalgia murahan. Ini cara kita menghormati masa lalu… dan menyambut masa depan. Tempat ini akan berubah. Tapi persahabatan kita… akan terus ada, selama kita mau menjaganya.”

Suara tepuk tangan menggema, keras, penuh rasa. Di beberapa sudut, kulihat ada yang menunduk, mengusap sudut mata.

Seorang teman memelukku setelah aku turun panggung.

“Ky… kamu pahlawan hari ini.”

Aku menggeleng pelan. “Bukan aku. Kenanganlah yang memanggil kita pulang.”

 

Malam Yang Terang Oleh Cinta Lama

Saat malam tiba, suasana berubah menjadi remang-romantis—bukan romantis ala sinetron, tapi romantis ala kehidupan yang sudah matang.

Lampu-lampu kecil yang kami gantung di pohon sejak pagi kini menyala hangat. Layar besar menampilkan foto-foto jadul.

Foto kami yang gigi ompong.
Foto seragam sekolah yang kebesaran.
Foto kami waktu lomba lari karung sambil jatuh berdua.
Foto wajah-wajah dulu… yang kini sudah bertabur kerutan bijaksana.

“Eh itu kamu kecil! Rambut belah pinggir! Hahahaha!”

Aku menepuk dada pura-pura kesal. “Waktu itu model rambutnya cuma dua: belah pinggir atau botak.”

Suasana semakin hangat ketika para orang tua ikut duduk di barisan kursi depan. Mereka tersenyum melihat anak-anaknya—yang dulu berlari-lari di jalan kompleks—kini duduk sebagai ayah, ibu, pemimpin, profesional.

Seorang ibu tua berkata lirih,
“Melihat kalian seperti ini… rasanya seperti hidup dua kali.”

Malam itu, seseorang berseru dari panggung,

“Kita buat komitmen ya! Tali silaturahmi ini… tidak boleh putus!”

“Hidup Komplek Bandara!”
Sorakan membahana. Anak-anak ikut berteriak tanpa tahu apa artinya. Dan entah kenapa, teriakan itu seperti doa.

Aku berdiri, memegang mikrofon, suara tercekat.

“Terima kasih… untuk semua kenangan yang membuat kita tak pernah benar-benar tua.”

 

Penutup Yang Membuka Babak Baru

Komplek Bandara mungkin akan hilang dari peta kota.
Rumah-rumah akan digusur, lapangan akan ditutup, kenangan akan tertimbun beton.

Tapi tidak dari hati kami.
Tidak dari buku ini.
Tidak dari generasi setelah kami.

Jika suatu hari nanti cucu-cucu kami membaca kisah ini, biarlah mereka tahu…

Bahwa di sebuah sudut kecil Bali—di gang sederhana yang hangat—pernah tumbuh cinta, persahabatan, dan harapan yang tak lekang oleh waktu.

Dan pada malam itu… ketika gemuruh tepuk tangan memenuhi langit, aku merasa:

Aku bukan hanya mengadakan reuni.
Aku sedang membantu mengabadikan sejarah.

 

CATATAN NUCKY : Hidup yang bermakna lahir ketika kita mampu melepaskan masa lalu tanpa penyesalan, merayakan setiap kenangan, dan membangun babak baru dengan hati yang jernih. Syukur adalah pijakan, kenangan adalah cahaya, dan keberanian untuk mencintai kehidupan yang ada sekarang… adalah langkah menuju kedewasaan yang sesungguhnya.



 lanjut baca klik link : 49 - UJIAN SEBENARNYA BARU DIMULAI 

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN