31 - LAHIRNYA JAWA AD: TUMBUH DARI KRISIS, MENEMBUS BADAI

 



Tahun 1998 itu… duh, kalau boleh jujur, rasanya seperti seluruh Indonesia sedang ikut lomba siapa yang paling stres. Bayangin aja: harga sembako naik kayak roket, rupiah jungkir balik, kantor-kantor mendadak sepi kayak kuburan jam 2 pagi, dan berita TV isinya cuma dua kategori: kerusuhan dan kehilangan harapan.

Aku waktu itu duduk di kantor, menatap komputer yang layarnya lebih sering kosong daripada hidup percintaan teman-temanku. Proyek? Entah ke mana. Klien? Hilang tanpa jejak, kayak mantan yang tiba-tiba tobat dan buka toko herbal.

Aku menatap layar, muter bolpoin, terus ngomel dalam hati:
"Ini hidup kok tiba-tiba jadi mode HARD begini, ya?”

Belum sempat aku meratap lebih dalam, pintu kantor bunyi kreek. Mas Mufid muncul dengan gaya ‘tenang padahal otaknya jelas sedang terbakar ide’. Dia lulusan sekolah advertising di Australia—yang berarti kosa katanya kadang campur-campur bahasa planet lain. Tapi wajahnya selalu punya aura: “tenang, kita bisa.”

Dia menatapku lama, lalu bicara pelan, logat Jawa halusnya selalu terasa nyaman.

“Nuk… kita bikin perusahaan baru. Advertising company.”

Aku refleks bengong. “Advertising? Lah… itu apa bedanya sama bikin spanduk?” kataku dalam hati. Tapi bibirku malah mengangguk kayak anak TK yang disodorin permen.

Kenapa aku setuju?
Karena aku percaya… kadang keputusan terbaik dalam hidup justru muncul dari ketidaktahuan yang tulus.

Atau… karena aku memang agak nekat dari lahir.

 

Dari Kertas Ke Strategi – Bayi Kecil Bernama Jawa Ad

Kami sepakat nama itu: Jawa Ad. Sederhana, punya nuansa tanah kelahiran, dan gampang diucapkan ibu-ibu tukang warung.

Tugasku:

  • cari klien
  • kejar proyek
  • ngawasin produksi
  • pura-pura paham istilah advertising

Sedangkan Mas Mufid:

  • mikirin strategi
  • ngarahin konsep
  • nunjukin cara mikir kreatif

Di awal, jujur ya, aku ini lebih cocok jadi kurir semangat daripada marketing communication specialist. Tapi hidup kadang lucu: justru di saat kacau, pintu-pintu rezeki malah muncul satu-satu.

Klien pertama datang karena… temannya temanku yang butuh brosur.
Klien kedua muncul karena lihat brosur pertama.
Klien ketiga karena lihat aku ngotot ngejelasin konsep sambil keringetan.

Lama-lama, kami bukan lagi percetakan pinggir krisis.
Kami naik kelas.
Kami bicara strategi.
Kami belajar branding.
Kami buat campaign, aktivasi, event, konsep visual.

Aku yang dulu cuma bisa bilang “font-nya dibesarin dikit, Mas… biar mantap”, sekarang bisa ngomong:

“Brand itu janji. Visual itu bahasa. Konsumen itu psikologi.”

Dengar diriku ngomong begitu, aku sering tepuk jidat sendiri:
Halah, gaya banget lu, Nuk.

Tapi begitulah perjalanan.
Perlahan, perusahaan kecil itu jadi rumah.
Tim kami bertambah seperti keluarga baru setiap bulan.
Yang dulu cuma dua orang kurus, kini sudah ada desainer, marketing, anak produksi, sampai office boy yang gayanya macam direktur muda.

 

Antara Surabaya–Malang – Cinta Yang Menjemput Di Terminal

Di tengah semua hiruk-pikuk itu, ada satu hal yang selalu membuatku mengemudi malam-malam: Renny.

Perempuan yang hidupnya waktu itu dipenuhi skripsi, printilan referensi, dan kegalauan yang tidak kalah pelik dari drama Korea. Dia kuliah di Malang, dan aku rela naik bis ekonomi bolak-balik Surabaya–Malang cuma buat nemenin dia ngetik atau sekadar mendengarkan dia ngeluh.

Kadang aku datang dengan wajah lelah, tapi Renny langsung menyambut dengan senyum kecil yang entah kenapa bisa bikin aku lupa caos kerja.

“Kamu capek ya?”
“Enggak kok… cuma paru-paru aja yang tinggal separuh.”
“Lho???”
“Iya… separuhnya kepenuhan kangen kamu.”

Dia lempar buku ke muka.
Tapi habis itu dia ketawa… dan itu cukup.

Aku tahu perjuangan skripsi bukan hal ringan. Pernah kok dia nangis karena revisi dosen. Pernah juga dia nyerah dan bilang ingin berhenti.

Dan tugasku adalah satu: tetap di belakangnya.
Nge-push dia waktu dia mau menyerah.
Ngedengerin semua keluhannya.
Nemenin dia baca jurnal sampai nemu kalimat yang membuatnya merasa jenius sesaat.

Cinta kami saat itu sederhana:
Tidak banyak kata-kata, tapi banyak bentuk hadir.

 

Telepon Yang Mengubah Arah – 'Nuk, Pulang'

Di tengah masa stabil itu… telepon berdering.

Papa.

Suaranya berat, tapi tenang—jenis suara yang bikin kamu otomatis berdiri lebih tegak.

“Nuk… pulang ke Bali.
Papa butuh bantuan kamu di sini.”

Aku diam.
Kata-kata itu seperti membuka pintu yang sudah lama tertutup.

Bali adalah rumah, iya.
Tapi Surabaya adalah tempatku ditempa, jatuh, bangkit, jadi manusia.

Apa aku siap meninggalkan Jawa Ad?
Meninggalkan perjuanganku?
Meninggalkan tempat aku merasa akhirnya berguna?

Malam itu aku duduk lama di depan jendela kantor.
Lampu-lampu Surabaya terlihat seperti sekumpulan harapan kecil yang menari di udara.

Mas Mufid datang, menepuk bahuku.

“Kamu harus pulang, Nuk.
Itu bukan kehilangan… itu bab baru.”

Aku mengangguk. Berat, tapi yakin.

Hari aku mengepak koper, rasanya seperti memeluk seluruh ingatan.
Jalanan Surabaya, panasnya, ambisinya, kantor kecil yang penuh tawa dan ketakutan… semua tinggal kenangan.

Aku pulang.
Dengan dada penuh tanda tanya, tapi langkah yang tetap berani.

Karena hidup memang begini:
Kadang kita tidak memilih takdir—tapi takdir memilih kita.

 

Refleksi – Bukan Sekadar Bisnis, Tapi Ujian Jiwa

Kini ketika aku menoleh ke belakang, aku sadar:

Krisis 1998 itu bukan musuh, tapi guru.

Kalau waktu itu ekonomi baik-baik saja, mungkin aku takkan pernah berani bikin usaha. Mungkin Jawa Ad takkan pernah lahir. Mungkin aku takkan pernah belajar berdiri ketika dunia runtuh di sekelilingku.

Aku bukan orang yang paling pintar.
Bukan yang paling kaya.
Bukan yang paling ahli.

Tapi aku punya satu hal yang ternyata mahal di masa krisis:

 

Nyali Untuk Tidak Menyerah.

Dan itu cukup untuk membuat sebuah bisnis lahir dari puing-puing sejarah.

 

CATATAN NUCKY : Krisis itu bukan tanda kiamat., Krisis itu alat seleksi alam., Yang takut—tenggelam. Yang berani—tumbuh.

Karena badai bukan untuk membuat kita roboh…tapi untuk menunjukkan seberapa kuat akar kita tertanam. Dan di tahun-tahun itulah, aku akhirnya mengerti: Jati diri lahir bukan saat hidup tenang, tapi saat dunia kacau balau.



Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN