41 - MENIKMATI PROSES PERUBAHAN - LANGKAH KECIL YANG MENGAJARIKU MENDEWASA
Kalau ada satu hal yang kupelajari dari hidup, itu adalah:
perubahan nggak pernah datang dengan suara meriah. Tidak pakai pengumuman,
tidak pakai marching band, tidak juga pakai petir menyambar genteng rumah.
Ia datang… pelan-pelan. Diam-diam. Kadang lewat kesalahan. Kadang lewat dialog
kecil antara aku dan Renny di kamar kos sempit yang cat temboknya sudah mulai
mengelupas, tapi anehnya—kami malah merasa itu tempat ternyaman di dunia.
“Ren, Bukaan Daganganmu Lagi Hari Ini?”
Sore itu, sambil duduk bersila di lantai kos karena memang tidak
punya meja layak, aku bertanya ke Renny.
“Iya, tapi kok kayaknya orang-orang lagi bokek semua ya…” jawabnya
sambil melihat pembatas buku buatan tangannya yang lebih rapi daripada
skripsiku waktu itu.
Aku nyengir, “Ya elah, mahasiswa mana ada yang nggak bokek, Ren?
Yang penting ada yang lihat dulu. Kalau suka, beli. Kalau nggak suka, pura-pura
suka. Udah biasa.”
Renny meletakkan pembatas bukunya, lalu menatapku lama. “Nuck…
kamu yakin kita bisa hidup dari hal kayak gini?”
Aku mengangkat jam tangan murah yang kami dapat dari grosir,
menggoyangkannya. “Kalau jam tangan ini bisa jalan… hidup kita juga bisa jalan,
Ren.”
Renny ketawa sambil memukul pelan pundakku. “Hidup kok diibaratin
jam tangan grosir…”
“Eh, jam tangan grosir ini yang bikin kita bayar nasi bungkus tadi
sore. Hormati dong,” kataku sok bijak.
Kami tertawa.
Dan di situ, tanpa sadar, perubahan kecil sedang dimulai.
Dari Jualan Grosir Ke Dunia Majalah
Aku tidak pernah mimpi masuk dunia majalah. Serius. Anak kampus
sepertiku yang aktif organisasi, lari sana-sini, lebih cocoknya jadi staf
kantor camat atau guru olahraga, rasanya.
Tapi hidup punya cara bercanda yang aneh.
Aku diterima di sebuah majalah. Dunia kreatif. Dunia yang penuh
ide, kafein, dan begadang tanpa gaji lembur.
Hari pertama kerja, redakturku bilang,
“Nucky, kamu anak baru. Kamu jangan takut salah.”
Dan, seperti anak baru yang baik, aku membuktikan bahwa aku
memang… salah terus.
Tapi dari salah itu, aku belajar. Dari bingung, aku bertumbuh.
Dari kena marah, aku menguat.
Perlahan-lahan aku sadar,
perubahan itu bukan musuh. Tapi teman perjalanan.
Dunia Advertising: Tempat Aku “Dikerjakan” Dan
“Dikerjakan Dengan Benar”
Kalau dunia majalah itu seperti kos-kosan mahasiswa—ramai, santai,
spontan—maka dunia advertising itu seperti perkemahan pelatihan militer.
Client. Deadline. Revisi.
Tiga kata itu kayak mantan: sering muncul tiba-tiba tanpa permisi.
Tapi anehnya…
aku menikmati semuanya.
Suatu malam, aku sudah sangat lelah. Renny menyiapkan teh hangat
sambil berkata,
“Nuck, kok kamu makin tenggelam ya di dunia iklan ini?”
Aku tertawa. “Aku nggak tenggelam, Ren. Aku cuma… berenang dengan
gaya yang belum kupelajari.”
Renny duduk di sampingku, mengelus pelan punggungku.
“Kamu capek, tapi kamu hidup. Aku lihat itu.”
Dan benar.
Dari brief ke brief, aku menemukan diriku pelan-pelan.
Bukan hanya sebagai pekerja.
Tapi sebagai pembuat makna.
Strategic Marketing Communication: Tempat Aku Mulai
“Menciptakan Dunia”
Hari pertama di Jawa Ad, aku langsung disodori segunung kertas.
“Nuck, ini klien A. Ini klien B. Ini event nasional. Ini konsep.
Kerjain ya. Tapi santai.”
Santai apanya?
Aku bahkan belum tahu bedanya tagline dan headline waktu itu.
Tapi dari sinilah aku sadar:
orang yang berani mengambil tanggung jawab besar… akan dipanggil untuk
hal-hal besar.
Aku belajar memimpin.
Aku belajar mendengar.
Aku belajar bahwa iklan bukan tentang poster atau video.
Iklan itu tentang narasi, tentang nilai, tentang manusia.
Sampai akhirnya aku sadar:
“Kami tidak sedang bekerja. Kami sedang berkarya.
Dan setiap karya… adalah doa untuk rezeki yang halal.”
Termasuk ketika Awan, OB kantor kami, naik jadi creative director.
—Itu pengalaman paling membuatku merasa jadi manusia.
Ren, Kita Nikah Besok?”
Lompat ke fase paling absurd tapi paling indah.
Aku dan Renny menikah.
Dengan tabungan pas-pasan dan keberanian nekat.
Kami tinggal di kamar sempit dengan dapur sebesar kotak kardus
sepatu.
Tapi lucunya, cinta kami justru punya ruang paling luas di situ.
Suatu malam, Renny duduk sambil memegang perutnya yang mulai
membesar.
“Nuck… kamu siap jadi ayah?”
Aku menatapnya. “Kalau kamu siap jadi ibu, aku nggak boleh kalah
dong.”
Renny mencubitku. “Serius dikit bisa nggak?”
Aku menarik napas panjang.
“Ren… aku mungkin nggak akan jadi ayah yang paling kaya, paling keren, atau
paling benar. Tapi aku akan jadi ayah yang belajar setiap hari. Itu aku janji.”
Saat Nara lahir, aku gemetar.
Serius. Gemetar.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa dilahirkan
kembali—sebagai seseorang yang harus lebih baik dari versi sebelumnya.
Spiritualitas: Tempat Pulang Yang Paling Sunyi Dan
Paling Jelas
Sukses bisa memabukkan.
Klien besar bisa memanjakan.
Tepuk tangan bisa membutakan.
Tapi sujud…
itu selalu jadi pengingat bahwa manusia hanyalah manusia.
Aku pernah suatu pagi duduk di kantor, sebelum semua staf datang.
Aku mematikan komputer, memejamkan mata, dan bertanya pada diri sendiri:
“Niatmu apa hari ini, Nuck?
Kerja buat siapa?
Mimpin buat apa?”
Dan pelan-pelan, jawaban-jawaban itu menguatkan langkahku.
Jawa Ad: Dari Surabaya Ke Nasional
Telepon berdering.
“NUCK! Siap ya. Kita ikut Kongres Nasional PPPI. Kamu wakil ketua
operasional. Lapangan kamu semua. Gasss!”
Itu suara Mas Mufid.
Volume 100, semangat 200.
“Astaghfirullah… Mas, lapangan segede apa?” tanyaku reflex.
“Segede Indonesia, Nuck! Ayo, iki wayahe!”
Aku menutup wajah. “Hidup kok kayak film action begini…”
Tapi ya dijalani.
Dan empat hari tiga malam kongres itu…
mengubah semuanya.
Surabaya yang dulu dianggap “wilayah pinggiran industri kreatif”,
mendadak jadi pusat perhatian nasional.
Lalu pengumuman itu datang:
“Jawa Ad dinobatkan sebagai The Rising Star Newcomer
Agency tahun ini.”
Aku menunduk.
Air mataku jatuh sedikit.
Ya sedikit, okelah… banyak.
Karena aku tahu…
perjalanan panjang itu tidak sia-sia.
Mewariskan Api
Ada hari-hari ketika aku lari paling kencang.
Ada hari-hari ketika aku mulai pelan—melihat siapa yang siap mengambil tongkat
estafet.
Didik.
Nuning.
Dan generasi baru yang membawa mimpi yang lebih tinggi.
Suatu hari aku bilang ke Didik dalam rapat,
“Did, kamu tahu kenapa aku percayakan ini ke kamu?”
Dia geleng.
“Karena aku yakin, kamu nggak hanya kerja… tapi kamu jaga amanah.”
Didik terdiam lama.
Aku lihat matanya berkaca-kaca.
Sementara Nuning…
Aku panggil dia ke ruangan.
“Ning, siap naik peran lebih besar?”
Dia tertawa gugup, “Pak, saya kan cuma sekretaris…”
“Justru itu. Kamu tahu denyut kantor lebih dari siapa pun.”
Dia menghela napas panjang.
“Kalau Bapak percaya… saya jalan.”
Aku tersenyum.
“Nah itu. Pemimpin bukan soal jabatan, Ning. Tapi soal kesiapan hati.”
Menutup Bab Dengan Senyum
Hidup membawaku jauh.
Dari jualan pembatas buku…
ke panggung nasional industri periklanan…
ke ruang kecil tempat Nara tidur pulas…
ke sudut sunyi tempat aku menata niat setiap pagi.
Dan akhirnya aku sadar—
Perubahan itu bukan soal menjadi orang baru.
Tapi menjadi dirimu yang lebih jujur.
Lebih ikhlas.
Lebih manusiawi.
Ini bukan akhir.
Ini cuma bab berikutnya.
Dan setelah ini, dunia masih panjang—dan aku masih ingin bercerita banyak.
lanjut baca klik link : 42 - AYAH PERAN YANG TAK ADA SEKOLAHNYA