54 - MEGA PROYEK BATANG - LEMBARAN BARU DARI LANGKAH YANG TELAH TERLATIH

 




 

Sudah lebih dari tiga bulan aku bertugas di Tabalong, Kalimantan Selatan—daerah yang awalnya terasa asing, kini mulai seperti rumah kedua. Aku sudah hafal karakter tanahnya, aroma udaranya, dan ritme sosialnya yang keras tapi lembut. Tapi, siang itu, sebuah panggilan dari kantor pusat membuat langkahku berubah arah.

“Nucky, besok kamu meluncur ke Batang, Jawa Tengah. Temani Pak Sutarto untuk membuka area baru—proyek PLTU Bhimasena Power Indonesia,” suara Bu Ninik terdengar tegas, tapi ada nada percaya yang membuat dadaku ringan.

Aku tersenyum. Ada riang, ada rasa ringan di dada. Entah karena kembali ke tanah Jawa yang lebih dekat dengan Malang, atau karena penugasan ini seperti “level up” dari Tuhan. Hatiku berbisik, “Ini bukan sekadar mutasi, ini ujian baru.”

Tanpa banyak drama, aku segera bersiap. Sistem perusahaan memang cepat, tak memberi waktu untuk sentimentalitas—apalagi perpisahan.

 

Perjalanan Penuh Rasa

Esok paginya, setelah subuh, koper rapi, hati siap. Aku terdiam sesaat saat driver perusahaan datang menjemputku. Ternyata… dia orang yang sama yang menjemputku pertama kali ke Tabalong.

“Pak Nucky, kita ketemu lagi… kali ini untuk pamitan ya?” katanya sambil tersenyum.

Aku menatap wajahnya, tak bisa menahan senyum dan rasa haru. “Iya… hidup memang putaran yang tak terduga.”

Selama lima jam perjalanan ke Banjarmasin, aku menyusun catatan kecil di hati. Tabalong, meski terpencil, telah mengajarkanku banyak hal:

  • Tentang adaptasi: kini cukup beberapa minggu, bukan berbulan-bulan.
  • Tentang kesabaran: menghadapi konflik sosial dengan empati dan akal sehat.
  • Tentang keberanian: saat harus melawan sistem usang dan tokoh berpengaruh.
  • Yang paling utama, tentang siapa diriku saat jauh dari semua yang kusayangi.

Tabalong bukan kota yang kucintai… tapi kota yang membentukku.

 

Mendarat Di Tanah Jawa

Siang itu, aku mendarat di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Udara Jawa terasa akrab, suara orang-orang seperti nada-nada yang tak asing. Aku pulang, tapi belum ke rumah.

Di pintu kedatangan, aku disambut dua sosok gagah: Pak Sutarto dan Pak Nurkholis—anggota Brimob berpangkat AKP, veteran penanganan terorisme.

“Wah… bakal seru nih kolaborasi kita,” gumamku dalam hati sambil berjabat tangan erat.

Perjalanan ke mess di Batang diisi obrolan ngalor-ngidul: pengalaman lapangan, pengamanan kawasan industri, hingga cerita keluarga dan tanah kelahiran. Hangat dan penuh respek, tapi tetap ada sedikit humor sarkastik khas kami.

 

Tim Pembuka: Menanam Di Tanah Kosong

Keesokan harinya, kami meninjau lokasi PLTU. Lahan masih luas dan sepi—tapi penuh potensi. Kami bukan sekadar membuka jalan fisik, tapi membuka:

  • Kepercayaan warga
  • Jalur komunikasi antara perusahaan dan realita sosial
  • Pintu-pintu harapan yang tak kasat mata

“Kenapa ya, aku selalu ditempatkan Allah di posisi awal?” pikirku.
Project baru, kondisi tanpa peta. Dan jawabannya muncul perlahan: karena aku diberi kemampuan membaca situasi, menjadi jembatan, memulai sesuatu yang bisa bertahan lama.

 

Hari-Hari Di Batang: Jawa Yang Berbeda

Batang tentu berbeda dengan Tabalong. Kultur Jawanya kental, logat halus, tapi warga tetap kritis. Tantangannya: memastikan PLTU tidak hanya menyala untuk industri, tapi juga menerangi hati masyarakat sekitar.

Setiap pagi briefing dengan tim, aku menjalin relasi dengan warga, perangkat desa, tokoh masyarakat. Menghadiri tahlilan, makan pecel pinggir sawah, ngobrol santai di pos ronda. Peranku tetap sama: menjadi jembatan dunia industri dan dunia rakyat.

“Terkadang, Allah tidak membawamu ke tempat yang kamu inginkan. Tapi ke tempat yang kamu butuhkan untuk tumbuh.”

Itulah rasanya hidupku saat ini: selalu berpindah, selalu menjadi tim awal, selalu menghadapi ketidakpastian. Tapi aku tidak lelah. Karena kini aku tahu, setiap tempat adalah medan pembentukan diri.

 

Menyalakan Cahaya Di Tanah Batang

Hari-hariku dimulai sederhana, penuh makna. Mess kami berdekatan: aku, Pak Sutarto, Pak Nurkholis, staf awal lain. Aroma kopi tubruk pagi jadi penanda hari baru. Briefing kecil sambil duduk lesehan di beranda, mengecek pembangunan, menjalin komunikasi dengan aparat dan warga.

Kami membangun kepercayaan. Tidak dengan janji manis, tapi hadir dengan wajah manusia: memahami kekhawatiran, keraguan, trauma warga.

Hari-hari pertama, aku banyak mendengar: balai desa, rapat RT, pengajian malam Jumat, makan tumpeng di rumah Pak Lurah. Kuncinya sederhana: hadir dengan telinga, bukan hanya mulut.

 

Rindu Yang Tak Pernah Luntur

Di tengah kesibukan, ada ruang kosong: ruang bersama Renny dan Namira. Setiap akhir pekan, jika memungkinkan, aku pulang ke Malang. Bukan sekadar melepas rindu, tapi mengisi ulang energi hidup.

Namira selalu menyambut dengan pelukan kecil dan cerita besar: “Ayah, kemarin aku bikin naga warna pink!”
Renny tetap menjadi tiang rumah, menyambut dengan senyum yang menyembuhkan lelah dan jenuhku.

Malam-malam kami diisi obrolan panjang: pekerjaan, Dragonfly, harapan… dan tawa kecil yang menyadarkan, hidup ini indah meski keras.

 

Di Antara Ombak Dan Asap Cerobong

Angin laut Batang selalu membawa aroma garam yang tajam. Pagi-pagi, aku melangkah ke kantor lapangan, semilir angin menyapa wajah, seakan berkata: “Selamat datang di ujung negeri. Ini bukan sekadar tempat bekerja, tapi belajar menjadi jembatan.”

Proyek strategis nasional ini: menyuplai listrik jutaan rumah dan industri. Tapi janji besar tak datang tanpa harga. Tiga desa terdampak—Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng—menjadi jantung dinamika ini. Tanah subur perlahan berubah menjadi lahan industri. Suara nelayan tidak lagi sekadar soal ikan, tapi tentang masa depan hidup mereka.

Setiap langkahku di desa adalah langkah penuh pertimbangan. Tidak bisa asal bicara, tidak bisa mengandalkan dokumen. Aku harus hadir sebagai manusia, bukan sekadar wakil perusahaan.

 

Jalan Terjal Sebuah Dialog

Menjadi bagian dari tim pembuka berarti berada di ujung dua dunia: logika pembangunan dan rasa masyarakat. Tantangan utama bukan teknis, tapi emosional.

Aku membuka ruang dialog di warung kopi, musholla, pos ronda. Kadang hanya mendengar, tanpa memberi jawaban instan. Kata-kata mereka bukan sekadar protes, tapi suara hati yang ingin didengar.

Beberapa inisiatif muncul:

  • Pelatihan nelayan diversifikasi usaha
  • Dialog dengan LSM lingkungan
  • Monitoring kualitas udara dan air terbuka untuk publik

Perlahan, ketegangan melunak. Tidak semua, tapi cukup untuk membangun kepercayaan.

 

Refleksi Di Tengah Pantai

Sore hari, di pantai Ujungnegoro, aku merenung. Anak-anak mengejar ombak, ibu menjemur ikan. Di kejauhan, siluet pabrik mulai berdiri. Kontras nyata antara masa lalu dan masa depan.

“Kamu tidak ditaruh di tempat sulit untuk membuktikan kuat. Tapi karena di sanalah dunia bisa berubah dengan cara manusiawi,” kata seseorang dulu.

Aku belajar: membangun pabrik butuh semen, tapi membangun kepercayaan butuh air mata dan telinga. Medan terkeras bukan tanah, tapi hati manusia yang luka dan diam.

 

Rumah Di Mana Peran Kita Diperlukan

Mess sederhana, kampung ramah. Anak-anak sekolah berseragam merah putih menyapaku, “Pak, selamat pagi…!”

Aku menyadari: rumah bukan soal tembok, tapi tempat di mana peran kita dibutuhkan. Tempat itu bisa jauh dari kenyamanan, tapi dekat dengan kebermaknaan.

Malam-malam, menulis catatan di buku saku, aku tersadar: hidupku seperti puzzle yang disusun Tuhan melalui penugasan-penugasan ini. Semua membentuk peta perjalanan yang ganjil tapi indah.

 

 

Suatu Hari Di Pantai

Nelayan mengajakku memancing, berbagi cerita. Di ujung perahu, aku melihat bibir pantai kampung kami. Seorang nelayan berkata, “Mas, kalau nanti PLTU jadi, jangan lupakan kami. Kami ini manusia.”

Aku hanya mengangguk pelan. Janji itu terpatri di hati: pembangunan harus memberi ruang bagi manusia tetap menjadi manusia.

 

Di Antara Cerobong Dan Harapan

Pagi itu, udara berbeda. Truk dan alat berat datang, pagar pelindung dibangun. Wajah warga tegas, mata penuh tuntutan.

Aku duduk, mendengar suara mereka: “Mas Nucky, kami kehilangan ladang, tambak, bahkan kuburan leluhur kami!”
Suara mereka benar. Ini bukan soal tanah, tapi identitas, harga diri, dan rasa memiliki yang terkoyak.

 

Ketika Kata Tak Cukup

Suatu malam, pertemuan informal memanas. Pintu ditutup rapat. Beberapa orang berdiri di pintu. Aku “disandera” secara sosial—bukan disekap, tapi ditahan sebagai simbol kekecewaan warga.

Aku duduk diam. Lalu berkata, “Saya akan tetap di sini. Tapi dengarkan apa yang bisa saya lakukan. Saya tidak janji bisa ubah semua malam ini, tapi suara panjenengan akan sampai.”

 

Membuka Pintu Damai

Beberapa minggu kemudian, hasilnya mulai terlihat:

  • Pusat pelatihan berbasis masyarakat berdiri
  • Lahan sisa diganti rugi dengan nilai wajar
  • Pemuda yang menolak awalnya kini menjadi CLO, penghubung suara warga ke perusahaan

Aku belajar: medan tersulit adalah hati manusia. Bukan fisik, bukan mesin, tapi hati.

 

Rakyat, Rakyat, Dan Pulang

Setiap panggilan dari Mama mertua tentang Renny membawa campur aduk rasa: berita medis, doa, isyarat diam. Namira diputuskan sekolah di Bali agar tumbuh lebih ringan.

Cinta bukan hanya memiliki, tapi mengalah agar yang kita sayangi bisa melangkah lebih ringan.

 

Di antara ombak dan asap cerobong, Batang mengajarkanku satu hal lagi: menjadi pembuka bukan sekadar menyalakan mesin, tapi menyalakan cahaya di hati manusia. Dan cahaya itu… akan selalu mengingatkanku mengapa aku terus berjalan, terus membuka, dan terus hadir.

 lanjut baca klik link : 55 - PULANG DALAM PELUKAN YANG TAK TERLIHAT 



Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN