“Mas Nucky, laporanmu ini nggak konsisten. Banyak angka yang
janggal. Kamu yakin kamu ngerti cara baca laporan keuangan?”
Aku tersenyum tipis. Dalam hati aku pengen jawab, “Mas… saya
skripsi lima bab tentang audit investigatif, lah kamu nongol dari mana
tiba-tiba?”
Tapi tentu saja itu cuma dalam hati. Mulutku tetap menjaga adab.
“Saya paham, Mas,” jawabku pelan. “Justru karena saya ngerti,
makanya saya koreksi.”
Ruangan langsung senyap. Ada yang batuk kecil, ada yang tiba-tiba
sibuk buka file di laptop, padahal layar laptopnya gelap. Yang paling lucu
adalah satu orang yang dari tadi pura-pura baru datang padahal dari lima menit
lalu dia sudah duduk, cuma takut ditanya.
Rapat itu selesai tanpa solusi. Tapi aku keluar dari ruangan
dengan satu kesimpulan:
kebenaran sering kali membuat orang lain gelisah.
Dan justru di titik itulah, aku mulai merasa… aku sedang masuk ke wilayah yang
tak semua orang ingin kusentuh.
Rumah Tumbuh, Cinta yang Tumbuh, dan Ketegangan yang
Ikut Tumbuh
Malam itu, aku pulang lebih larut dari biasanya. Lampu rumah masih
menyala. Dari sela-sela jendela, kulihat Wulan duduk sambil membaca buku—entah
buku resep, buku parenting, atau buku psikologi, aku sering lupa, soalnya dia
baca semuanya.
Begitu aku buka pintu, dia tersenyum.
“Kok lemes banget mukanya? Ditegur atasan atau ketabrak ayam
tetangga?”
Aku tertawa kecil dan meletakkan tas.
“Yang kedua lebih menyenangkan, jujur aja,” jawabku sambil duduk.
Ia mendekat, membawa secangkir teh panas.
“Minum dulu. Terus cerita. Aku siap dengerin.”
Cuma dua kalimat, tapi efeknya kayak obat penenang.
Aku ceritakan semua—rapat panas, laporan yang dipelintir, tatapan sinis, hingga
ancaman kecil yang pernah masuk ke ponselku.
Wulan diam. Tapi bukan diam menghakimi, melainkan diam
mendengarkan. Tangannya menggenggam tanganku erat.
“Mas… hidup jujur itu nggak pernah gratis,” katanya akhirnya.
“Tapi insyaAllah, Allah nggak tidur. Dan aku nggak akan ninggalin kamu dalam
perjuanganmu.”
Aku menatap matanya. Ada ketenangan di sana. Ada keberanian yang
entah datang dari mana.
Aku menarik napas panjang dan membalas genggamannya.
“Aku takut kadang-kadang,” kataku jujur.
“Takut itu manusiawi, Mas,” jawab Wulan, tersenyum lembut.
“Tapi menyerah itu pilihan. Dan kamu nggak keliatan tipe yang gampang
menyerah.”
Itu adalah salah satu malam di mana aku benar-benar merasa…
Allah mengirimkan Wulan padaku bukan untuk mengisi kekosongan, tapi untuk
menjadi penopang.
Pagi di Rumah Tumbuh
Pagi-pagi berikutnya, rumah kami seperti biasa: sederhana, tapi
hidup.
Wulan sibuk menyiapkan sarapan. Bau tumisan bawang memenuhi dapur.
“Mi, tolong ambilin garam!” katanya.
“Tuh di rak paling atas,” sahutku.
“Lho kok kamu bilang ‘ambilin’? Kamu yang lebih tinggi! Mas!
Jangan manja!”
Aku terbahak. “Nggak manja, itu namanya delegasi kerja.”
Dia manyun sambil tertawa. “Delegasi pala kamu!”
Momen kecil seperti itu membuat hidup terasa… wajar.
Di tengah tekanan kantor yang mulai jadi seperti film thriller low budget,
rumah ini menjadi oase.
Namira dan anak-anak Wulan juga makin dekat. Kak Amel yang dewasa
suka membantu Namira mengerjakan PR. Kak Dea sering mengajak kami tertawa
dengan humor-humor satir ala Gen Z.
Kadang rumah kami terasa seperti campuran warung kopi, ruang konsultasi
psikologi, dan stand-up comedy.
Mereka yang Terganggu oleh Kebenaran
Tapi konflik kantor makin meruncing.
Ada satu hari yang membuatku benar-benar harus berhenti dan merenung.
Aku dipanggil oleh salah satu pimpinan. Nada suaranya keras,
dingin, dan penuh curiga.
“Nucky, kamu ini sebenernya siapa? Mau apa? Kenapa kamu
bongkar-bongkar hal yang bukan urusanmu?”
Aku mengangkat kepala dan menatapnya.
Suara dalam dadaku berbisik: Tenang. Jaga adab. Jaga marwah.
“Pak,” kataku dengan nada serendah mungkin,
“saya hanya menjalankan amanah. Kalau ada yang salah, tugas saya memberi tahu.”
“Dan kamu pikir kamu lebih benar dari semua orang di sini?!”
Tidak ada jawaban yang aman untuk pertanyaan seperti itu.
Akhirnya aku menjawab,
“Saya hanya berpegang pada fakta, Pak.”
Ia berdiri, memukul meja, sampai pulpen di atas meja meloncat
kecil.
“Fakta bisa diatur!” bentaknya.
Aku terdiam.
Bukan karena takut, tapi karena hatiku sakit mendengar kalimat itu.
Kalimat itu adalah pengkhianatan pada profesi, pada integritas, pada nilai yang
kupegang sejak dulu.
Saat keluar dari ruangan itu, aku tahu satu hal:
Aku sedang menginjak sarang lebah. Dan lebah-lebah itu mulai
gelisah.
Di Antara Pertempuran dan Keteguhan
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku tiba di rumah dengan wajah
letih.
Wulan yang baru selesai salat Maghrib mendekat dan bertanya pelan,
“Kamu kuat, Mas?”
Aku mengangguk, meski dalam hati jawabannya: tidak sepenuhnya.
Wulan duduk di sebelahku.
“Mas,” katanya lembut,
“ingat ayat ini ya…”
Ia membaca pelan:
﴿ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًۭا ﴾
Wa man yattaqillāha yaj‘al lahu makhrajaa
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, Allah akan berikan jalan keluar baginya.”
(QS. Ath-Thalaq: 2)
Suaranya pelan, tapi menembus sampai ke tulang.
Aku menutup mata, menghela napas panjang.
Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.
Bukan karena lemah, tapi karena merasa… ditopang.
“Terima kasih ya, Lan…”
Dia tersenyum. “Mas Nucky itu pelik, keras kepala, idealis, tapi
hatinya lembut. Allah nggak salah pilih mas pasangan hidup.”
Aku tertawa sambil mengusap mata.
“Kalau aku lembut, nyapu rumah aku dulu dong?”
Dia memukul kecil lengan aku. “Mas!”
Tawanya pecah, dan aku ikut tertawa.
Malam itu, aku merasa dunia tidak sepenuhnya berat.
Menuju Ledakan Besar
Di kantor, isu semakin liar.
Ada bisikan bahwa aku “disasar” karena terlalu vokal.
Ada yang mulai mendistorsi data, ada yang cari celah untuk menjatuhkanku.
Tapi justru di tengah semua itu, aku menemukan ketenangan:
aku tidak sendirian.
Bukan hanya Wulan.
Bukan hanya keluarga.
Ada sekelompok kecil staf muda yang diam-diam datang kepadaku.
“Mas… kami percaya sama Mas Nucky.”
Suara itu membuat hatiku menghangat.
Mereka bawa bukti, laporan, fakta-fakta yang selama ini
disembunyikan.
Mereka percaya padaku—bukan karena aku sempurna, tapi karena mereka tahu aku
tidak menjual diri pada kepentingan.
Aku menatap mereka satu per satu.
“Kalau kalian ikut saya,” kataku, “mungkin akan ada risiko. Kalian
yakin?”
Salah satu anak muda itu tertawa kecil. “Ayah… kalau nggak ada
risiko, itu namanya bukan perubahan.”
Aku terdiam.
Dalam hati aku berdoa:
“Ya Allah, kuatkan hamba. Jangan biarkan kebenaran ini padam.”
Badai yang Makin Menghitam
Hari itu, aku memutuskan satu hal:
Aku tidak akan mundur.
Aku akan buka fakta, satu per satu, sampai semua jelas.
Tapi dunia tidak tinggal diam.
Semakin aku mendekat ke inti masalah, semakin keras perlawanan yang muncul.
Dan di penghujung bab ini, sebuah pesan masuk ke ponselku—lebih
tajam dari sebelumnya:
“Nucky. Hentikan. Atau kamu akan menyesal.”
Aku memandang layar ponsel itu lama.
Nafasku naik turun.
Wulan yang baru keluar dari kamar melihat wajahku dan langsung bertanya,
“Ada apa, Yah?”
Aku menyerahkan ponsel itu pelan.
Dia membaca.
Matanya mengeras, bukan karena takut, tapi karena marah.
“Ayah,” katanya pelan namun tegas,
“kalau pertempuran ini makin besar… kita hadapi bareng-bareng. Tapi jangan
pernah berhenti jadi diri kamu.”
Aku mengangguk.
Dan aku tahu—
bab berikutnya tidak akan mudah.
Tapi aku juga tahu—
Allah tidak pernah meninggalkan orang yang berjalan dalam kebenaran.