50 - BANGKIT BERSAMA DRAGONFLY, MENEMBUS BATAS, MENGHIDUPKAN HARAPAN

 



Sore itu angin Surabaya bertiup pelan, seakan ikut menenangkan hati kami yang masih digelayuti sisa-sisa trauma rumah sakit. Di teras rumah kecil kami, Renny bersandar pelan di bahuku. Wajahnya pucat, tapi matanya… ah, mata itu masih seperti dulu: hidup, membara, dan penuh ide yang tak pernah bisa benar-benar padam.

“Yahh…” katanya lirih, “hidup kita kan nggak boleh berhenti cuma gara-gara vonis dokter, ya?”

Aku tersenyum miring. “Vonis dokter itu kayak deadline kantor—serem di awal, tapi kalau kita cuekin juga kadang lewat sendiri.”

Renny tertawa kecil. Suaranya masih seperti musik yang selalu bisa menormalkan detak jantungku yang sering kacau kalau lihat dia kesakitan.

Dokter bilang tiga bulan. Tapi kami sepakat: kami tidak akan menghitung. Kami akan mengisi. Angka itu bukan peti mati, tapi timer untuk bikin hidup semakin bernilai.

 

Ide Yang Kembali Hidup

Malam itu, sambil menyeruput kopi sachet—maklum, akhir bulan—aku membuka folder laptop bernama “IDE GILA”. Di situ ada proposal outbound dan rafting yang pernah kubuat dulu, ide yang kubuang karena kesibukan mencari nafkah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain.

Kupelototkan layar itu ke Renny.

“Gimana kalau kita bikin ini hidup lagi?”

Renny menatapku, lama. Lalu matanya berbinar seperti anak kecil yang lihat es krim gratis.

“YAAAANK… INI KEREN! AKU MAU! AKU MAU TERLIBAT!”

Lihat? Perempuan ini… dia bukan cuma ingin hidup. Dia ingin berlari.

Esoknya, hidup kami berubah. Kami sibuk, berdebu, berpeluh, dan kembali punya harapan. Aku di satu sisi mengurus bisnis Power Balance—gelang energi yang sedang naik daun. Atlet nasional pakai, klub bola Arema pakai, bahkan beberapa artis juga pakai. Jakarta–Surabaya PP sudah seperti jalur mudik buatku.

Tapi fokusku? Dragonfly.

Dengan bantuan Pak Rofiq—senior UNMER yang kalau ngomong tegasnya ngalahin pelatih marinir—kami bangun pondasi Dragonfly Outbound & Rafting.

“Capung itu simbol perubahan, Nuck,” kata Pak Rofiq suatu hari, “sayapnya tipis, tapi ia terbang menerobos badai.”

Dan begitulah, Dragonfly lahir.

 

Renny: Komandan Di Medan Petualangan

Kalau Dragonfly adalah kapal, maka Renny adalah komandan kapalnya.

Perempuan itu… ya Allah, aku selalu takjub.

“Briefing jam enam pagi! Jangan telat!”
“Helm itu buat dipakai, bukan pajangan!”
“Kalian harus bikin klien merasa aman. Ingat, outbound tanpa safety itu kayak sayur tanpa garam: hambar sekaligus berbahaya!”

Para staff baru yang awalnya kaget lama-lama justru jatuh cinta pada gaya kepemimpinannya. Tegas tapi lucu. Keras tapi lembut. Bikin deg-degan tapi bikin kangen.

Renny merekrut dua perempuan tangguh:

Mauren – berdarah Manado, pintar, cepat, dan kalau marah suaranya bisa menggetarkan pepohonan Songgoriti.
Mbak Rinny – asli Surabaya, wajahnya ramah, tapi urusan kerja jangan coba-coba santai di depan dia.

Mauren dan Mbak Rinny Ketika aku menuulis cerita ini juga sudah wafat menyusul Renny  Mereka bertiga adalah kombinasi sempurna: strategi, logistik, dan eksekusi. Seperti Powerpuff Girls, tapi versi yang bisa bawa 1000 orang outbound dalam sebulan.

Setiap weekend, Dragonfly penuh oleh klien:

  • Ratusan guru TK se-Surabaya
  • Perusahaan-perusahaan besar
  • PT Samudera Indonesia
  • PT Biru Air Mineral
  • Dan puluhan instansi lainnya

Bulan berganti bulan. Order tidak berhenti. Dua bus kami melaju ke segala penjuru seperti pasukan semut pekerja.

Dan di balik semua itu, Renny… tersenyum.

Senyum yang menampar rasa takutku. Senyum yang berkata, “Aku masih di sini, dan aku masih berjuang.”

 

Dari Komandan Bisnis Menjadi Sosok Inspiratif

Suatu hari, Renny pulang membawa cerita.

“Ayah, aku ketemu Bu Dyah Katarina… Masya Allah, perempuan itu energinya luar biasa.”

Aku tahu siapa beliau—istri Walikota Surabaya, penggerak PKK, dan simbol kekuatan perempuan kota Pahlawan.

Renny kagum. Dan kagumnya berubah menjadi tekad.

Ia belajar. Mengikuti kegiatan. Mengorganisir pelatihan karakter untuk ibu-ibu PKK, guru PAUD, komunitas RT dan RW. Dragonfly bukan lagi tempat orang berteriak “Yel-yel!” sambil lompat ban bekas.

Dragonfly berubah menjadi ruang tumbuh.

 

Tapi Takdir Punya Ceritanya Sendiri

Hidup… kadang kejam. Kadang manis. Dan kadang keduanya bercampur dalam satu gelas yang harus kita minum sampai habis.

Satu per satu, pilar-pilar Dragonfly dipanggil pulang oleh Allah.

Mauren.
Mbak Rinny.
Dan kelak… Renny sendiri.

Semua karena penyakit yang sama.

Ketika kabar itu datang satu per satu, aku duduk lama di teras rumah. Aku menangis—bukan hanya sedih, tetapi bangga. Karena mereka hidup dengan cara yang benar: memberi manfaat sebesar-besarnya.

“Khairunnas anfa’uhum linnas.”
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
(HR. Ahmad, Thabrani, Daruquthni)*

Renny bilang padaku waktu itu:

“Yank, kalau nanti aku nggak ada, teruskan ya. Jangan berhenti hidup.”

Dan aku hanya bisa menjawab dengan dada tercekat, “Kamu nggak akan pernah aku berhentikan dari hidupku. Sampai kapan pun.”

 

Dragonfly: Jejak Yang Tidak Akan Padam

Dragonfly bukan sekadar perusahaan.
Ia adalah terapi.
Ia adalah cara kami menertawakan vonis dokter.
Ia adalah bukti bahwa cinta bisa lebih kuat dari rasa takut.

Renny tidak hidup tiga bulan, seperti kata dokter.

Ia hidup bertahun-tahun, dan dalam setiap tahun itu ia menyalakan obor untuk ratusan bahkan ribuan orang.

Dragonfly adalah jejaknya.
Dan jejak itu tidak hilang.
Ia tetap ada, bahkan setelah orang-orangnya pergi.

 

CATATAN NUCKY : Hidup bukan dihitung dari panjangnya, tetapi dari nyala yang ditinggalkan.
Karena ada orang yang hidup lama tapi kosong…
Dan ada orang yang hidup sebentar, tapi cahayanya tak pernah padam.

 




Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN