67 - BLACK CANYON REBORN
Matahari pagi itu benar-benar terasa berbeda. Entah kenapa, cahaya
Surabaya rasanya lebih hangat, lebih hidup, seperti menyimpan pesan rahasia
yang hanya mau dibisikkan kepada orang-orang yang siap menyambut takdir baru.
Dan pagi itu… aku berdiri tepat di tengah bisikan takdir itu.
Grand Opening Black Canyon Coffee Graha Pena.
Bukan sekadar upacara pembukaan. Ini… ini adalah kelahiran.
Lahirnya kembali sebuah brand yang pernah setengah mati diterpa badai pandemi,
lahirnya keberanian baru, dan lahirnya langkah besar: PT. Bhojana Ciptahita
Indonesia, rumah baru yang kubangun dari sisa-sisa keberanian, keyakinan,
dan doa yang tak pernah berhenti kukirimkan dalam malam-malam gelisah.
Alunan musik akustik mengisi udara. Suara gitar, gesekan shaker,
dentingan gelas. Semua bercampur jadi simfoni yang anehnya membuat hatiku adem,
meski tubuhku sendiri sibuk mondar-mandir seperti semut kebanyakan gula.
“Siap, Ayah?” tanya Dimas dari belakang.
Aku menoleh dan hanya bisa tersenyum. “Siap, Dik. Kita bikin
sejarah hari ini.”
Dimas mengacungkan jempolnya. “Let’s make this big.”
Dan benar saja. Panggung kecil di depan cafè dipenuhi media—lokal,
nasional, bahkan ada reporter dari Bangkok Post yang datang khusus meliput BCC
Reborn. “Bangkit pasca Covid, Black Canyon kembali ke Indonesia,” begitu kata
mereka semalam saat mewawancara.
“Bismillah…” gumamku ketika MC memanggil Wakil Gubernur Jawa
Timur.
Kilatan kamera menyambar. Tepuk tangan pecah. Musik kembali hidup.
Ya Allah… Engkau tahu betul jalan panjang ini.
Setelah acara selesai, aku mengambil napas panjang di pojok
ruangan. Kerumunan terus berganti—relasi Jakarta, kolega CEO Indonesia, rekan
bisnis yang sekaligus sahabat hidup. Namun mataku tertuju pada satu momen
kecil: kopi pertama yang tersaji dari mesin espresso baruku, menguarkan aroma
harapan.
Sebuah pesan dari Wulan masuk.
Wulan: “Ayah… proud of you.”
Hari itu berlalu seperti film. Media menulis headline:
Aku baca sambil bersandar di sofa pantry, secangkir latte di
tangan.
“Dari Malang ke panggung besar… gila juga ya,” gumamku sambil
tertawa kecil.
Aku tahu ini baru awal.
Jakarta: Panggung Ke-2
Tak lama setelah Graha Pena pecah dengan euforia, panggung kedua
menanti: Grand Opening BCC Nindya Karya di Jakarta. Suasananya bahkan
lebih gila.
Media? Lengkap dari Kompas, Bisnis, Detik, bahkan TV.
Aku berdiri persis di tengah lobby Nindya Karya, tanganku sibuk
menyalami tamu, tapi pikiranku sibuk menatap masa depan yang makin terang.
“Bang Nuck, ini vibe-nya luar biasa!” kata seorang relasi.
Aku hanya tertawa. “Namanya juga BCC Reborn.”
Dan hari itu, di tengah suara kamera yang terus berbunyi, aku
merasakan kehidupan GENSI BISNIS itu muncul lagi dalam diriku: gairah,
keberanian, optimisme.
Amanah Baru: Koperasi Insan Cita Merdeka
“Yakin, Ayah? Tambah amanah lagi?” tanya Wulan suatu malam.
Aku tersenyum lelah tapi hangat. “Kalau ini untuk alumni dan
kader, aku siap.”
Aku ngakak. “Ya, tapi versinya syariah dan low budget.”
Avocado Coffee House: Ruang Healing Di Tengah Ladang
Lalu amanah keluarga datang: dr. Sutrisno mempercayakan Avocado
Coffee House di Tumpang, Malang.
Ini bukan kafe sembarang kafe. Ini oasis.
“Konsepnya healing, Yah?” tanya Wulan saat ikut survei.
“Iya, Lan. Tempat buat napas.”
Wulan tersenyum lembut. “Ayah juga butuh healing. Jangan cuma buat
orang lain.”
Apakah Ini Jalan Takdir?
Pada suatu malam, setelah berhari-hari ngebut urusan BCC,
koperasi, dan Avocado… aku duduk sendiri di teras rumah.
Aku memejamkan mata.
Hingga sekarang, berdiri di panggung besar.
Ya Allah… betapa Engkau Maha Membalikkan keadaan.
Aku merasa satu hal pasti:
Aku sedang berjalan di jalan yang benar.
lanjut baca klik link : 68 - GELAS-GELAS KOPI, DAN MIMPI YANG MULAI MENJELMA