61 - RERUNTUHAN YANG MENGAJARKAN ARTI KEBIJAKSANAAN
Angin pagi Denpasar waktu itu tidak terlalu ribut, tapi hatiku
iya.
Aku duduk di atas motor yang sudah mulai rewel kalau diajak jalan
jauh, menatap gedung kantor BCC dari kejauhan. Dari luar masih tampak
gagah—cat tembok belum mengelupas, papan nama masih menyala terang, dan
parkiran masih ramai oleh motor-motor staf yang datang lebih awal. Tapi entah
kenapa, gedung itu bagiku terasa seperti rumah yang sudah kehilangan
penghuninya: berdiri, tapi kosong di dalam.
“Ah, BCC…” gumamku pelan. “Kita kok jadi begini?”
Padahal beberapa bulan ke belakang, energi kami seperti mau
meledak. Setelah outbound Bedugul—yang penuh tawa, pelukan, dan drama nyasar ke
kebun strawberry—kami seperti tim yang menemukan versi terbaik dari diri kami
sendiri. Bahkan dalam hati, aku sering bercanda, “Ini kantor apa hubungan?
Kok chemistry-nya dapet banget?”
Saat itu, gerai kami hampir 30 di seluruh Indonesia. Di Bandara
Ngurah Rai, omzet pernah tembus Rp200 juta per hari. Di Discovery
Mall, angka Rp30 juta sudah kayak jatah harian. Tiap kali meeting,
orang-orang saling lempar ide sambil manggut-manggut bangga.
Masuknya ‘Badai dari Kanada’
Hari itu, Presiden Direktur tiba-tiba muncul membawa perempuan
berambut asia timur dari etnis chinese yang tegas banget tatapannya.
“This is Lidia,” katanya. “She used to work at Famous Brand.”
Tapi ternyata filmnya bukan action, tapi horror.
“Let’s do a full restructuring,” katanya dengan penuh percaya
diri.
Dan dalam satu kalimat itu… dimulailah segala kekacauan yang
bahkan Google Maps pun tak bisa bantu cari jalan keluarnya.
Pak Wayan, CFO yang biasanya setenang Danau Batur, mulai
kehilangan auranya.
“Pak Nucky,” katanya sambil mengetuk meja, “angka-angka kita mulai
merah. Ini bukan tanda bagus.”
Tapi suara bijaksananya tenggelam oleh debat, ego, dan teori-teori
manajemen yang tak punya tanah pijakan.
Dan BCC waktu itu… mulai hancur dari dalam.
Retakan yang tak bisa disemen
Satu per satu, SDM terbaik kami pergi. Bukan karena marah. Justru
karena sedih.
Dan aku… hanya bisa menatap mereka pergi sambil menahan napas yang
berat.
Sementara itu, gerai-gerai mulai lesu. Meeting berubah menjadi
arena gladiator: semua saling tuding, semua saling merasa benar. Pantry yang
biasanya ramai dipenuhi tawa, kini hanya ada kopi yang tidak habis diminum dan
wajah-wajah yang tak lagi punya cahaya.
Aku seperti penjaga terakhir mercusuar yang terus menyalakan lampu
padahal kapalnya sudah tidak ada yang lewat.
Hingga akhirnya, aku pun pergi
Hari terakhir itu… aku berdiri lama di depan pintu kantor.
Aku menyentuh gagang pintu, seperti pamit dengan teman lama yang
sudah berubah dan tak lagi bisa kupertahankan.
“Bodoh,” kataku dalam hati. “Kenapa aku bertahan sampai detik
terakhir?”
Dan kadang, kesetiaan memang mematahkan hati.
Tiga Kali Membangun – Tiga Kali Runtuh
Renungan Malam itu
Aku ingat firman Allah:
CATATAN NUCKY : Kadang hidup meruntuhkan
bangunan yang kita buat dengan sepenuh cinta— bukan untuk menghancurkan kita, tapi
agar kita membangun lagi dengan fondasi yang lebih dalam, lebih kuat, dan lebih
dekat kepada-Nya.
lanjut baca klik link : 62 - BABAK BARU LAGI : ANTARA ROTI, MIMPI, DAN THAILAND