29 - PERPISAHAN YANG TAK PERNAH USAI
Hari-hari pasca sidang skripsi itu rasanya kayak kamu baru saja
melewati boss final di sebuah game, tapi tiba-tiba diberi kesempatan
jalan-jalan gratis keliling map sebelum kredit filmnya jalan. Semua terasa
lega… manis… dan sedikit absurd. Setiap kali aku lewat depan gerbang kampus,
aku masih refleks bilang dalam hati, “Besok ngumpulin proposal kegiatan, ya…”
lalu langsung ketawa sendiri. Sudah tidak ada proposal, Bung. Kamu sudah
sarjana.
Aku berjalan di trotoar kampus dengan napas yang lebih panjang
dari biasanya. Bukan karena sok-sokan berfilosofi, tapi karena untuk pertama
kalinya dalam hidup, aku bisa berkata pada diriku sendiri:
“Aku bisa. Beneran bisa.”
Dulu, anak kompleks, anak sederhana dengan uang pas-pasan yang
sering bingung antara beli buku atau beli makan. Dulu yang sering minder lihat
anak-anak kaya nongkrong sambil bawa binder warna-warni. Dulu yang pernah
hampir kabur dari skripsi karena dosen pembimbing yang suka hilang. Sekarang…
aku berdiri tegak.
Dan di sampingku, seperti biasa, ada Renny.
Kalem, kayak angin sore di Jalan Ijen.
Kami menikmati Malang dengan cara orang yang tahu waktunya tinggal
sedikit. Duduk di pelataran alun-alun sambil makan cilok. Jalan Ijen sambil
tertawa ingat masa-masa berkutat dengan laporan. Menyusuri toko-toko kecil—yang
dulu jadi tempat kami menitipkan dagangan pembatas buku dan jam tangan.
Dan tentu saja, Renny tetap suka menyanyikan lagu andalannya,
“Jangan Berhenti Mencintaiku,” sambil lirih, kayak soundtrack kehidupan kami.
“Ren, kamu tuh kalau nyanyi kayak artis rekaman,” godaku.
“Rekaman di angkot?” balasnya.
Kami tertawa. Tawa dua manusia biasa yang sedang berusaha luar
biasa.
Kami bukan hanya pacaran.
Kami itu… rekan tempur. Mitra. Teman seperjuangan. Duo yang pernah makan mi
instan 3 kali sehari, tapi masih punya mimpi 3 tahun ke depan.
Tanah kecil di Singosari itu, yang kami cicil dengan deg-degan,
rasanya seperti piagam penghargaan:
Mereka yang saling percaya, akan selalu menemukan jalan.
Renny dan Sebuah Kalimat Sederhana yang Menguatkanku
Satu malam, di depan kos-kosan Renny, ia menatapku dan berkata
pelan:
“Kamu itu bisa, mas. Kamu tuh cuma butuh percaya sama dirimu
sendiri.”
Entah kenapa kalimat sesederhana itu terasa seperti charging 100%
untuk hatiku yang sering lowbat.
Cinta itu lucu ya…
Kadang tidak butuh puisi panjang.
Cukup satu orang yang percaya padamu—walaupun kamu sendiri masih ragu.
Aku jadi ingat kata Antoine de Saint-Exupéry:
"Cinta bukan saling memandang, tapi melihat ke
arah yang sama."
Dan kami memang sedang melihat ke arah yang sama: masa depan.
Kota Malang, Terima Kasih Untuk Segalanya
Setiap sudut kota ini punya kisah kecil yang kalau disatukan,
rasanya jadi satu film besar tentang pendewasaan.
Pecel Kawi—tempat aku pernah patah hati karena dompet ketinggalan.
Rawon Brintik—tempat aku dan Renny sering makan sambil bertengkar soal siapa
yang harus bayar.
Alun-alun—tempat kami ngomongin rencana rumah tangga padahal duit masih cukup
buat kos 1 bulan.
Vespa anak kos—yang knalpotnya selalu lebih berisik dari hatiku yang cemas soal
skripsi.
Wartel—yang jadi saksi telepon panjang untuk pesan ke Mama, “Doakan ya, Ma…”
Dan ruang sidang skripsi…
Ah ya, ruang itulah tempat di mana seorang anak kompleks membuktikan dirinya.
Semua itu menempel di jiwaku.
Berdesakan di hati seperti album foto yang tak pernah kusimpan di mana pun,
tapi selalu bisa kubuka kapan pun.
Dunia Kerja Pertama: Menguji Nyali Seorang Sarjana
Baru
Kelulusanku ternyata disambut meriah di kantor tempat aku bekerja
sambil kuliah dulu. Suatu siang, Pak Mantau mengumumkan:
“Gajimu naik. Ini apresiasi dari perusahaan.”
Masya Allah.
Hatiku langsung getar-getar kayak hape jadul yang ditaruh di meja kayu. Gaji
awalku Rp. 250.000/bulan naik menjadi Rp. 350.000
Beberapa minggu kemudian, dalam perjalanan kantor ke Bali, Pak
Agus—bos sekaligus mentor terbaikku—menatapku serius.
“Nucky, kalau kamu mau, kamu bisa jadi Kepala Cabang di Bali.”
Aku langsung terdiam.
Kepala Cabang? Aku?
Yang baru saja wisuda dan masih bingung bedain antara laporan rugi-laba dan
arus kas?
Akhirnya aku jawab, setenang mungkin:
“Terima kasih, Pak… tapi saya belum pantas.”
Pak Agus hanya tersenyum, “Nanti kamu akan tahu waktunya.”
Aku tidak tahu apakah beliau kecewa atau bangga.
Yang jelas, dari tatapan itu aku belajar bahwa kadang kedewasaan bukan soal
mengambil kesempatan—tapi tahu kapan harus menunduk dan belajar dulu.
Wiratama Mandiri: Mimpi, Ego, Dan Pelajaran Paling
Mahal
Tiba-tiba saja beberapa teman menawariku gabung bikin perusahaan
baru. Namanya Wiratama Mandiri. Aku semangat, karena kupikir: “Inilah saatku
belajar jadi pemimpin.”
Ada Pak Yunus—mentor sekaligus teknisi Tionghoa dari Surabaya—yang
disiplin luar biasa.
“Kamu punya naluri bisnis. Asah terus,” katanya.
Dan jujur, itu pujian yang membuatku belajar lebih keras.
Kami berlari cepat. Omset naik. Aku mulai memahami sistem, operasional, hingga
laporan keuangan.
Tapi rupanya membangun bisnis itu seperti pacaran lima orang.
Semuanya punya ego.
Semuanya punya mimpi sendiri.
Semuanya ingin jadi pengemudi, tidak ada yang mau jadi penumpang.
Arah kami berantakan.
Perahu oleng.
Dan dalam kurang dari enam bulan…
Wiratama Mandiri bubar.
Sakit?
Banget.
But guess what?
Justru itu pelajaran paling jujur dalam hidupku:
Bikin bisnis itu tidak cukup dengan ide.
Tidak cukup dengan niat.
Yang paling sulit bukan jualan.
Yang paling sulit adalah menyatukan hati dan visi.
Dari Penonton Menjadi Pemain Panggung
Aku masih ingat masa-masa aku cuma berdiri di pojok ruangan, tepuk
tangan untuk orang-orang hebat, sambil berharap suatu hari aku juga bisa
berdiri di panggung itu.
Dan hari ini…
Aku berdiri di atas panggungku sendiri.
Bukan panggung besar.
Tidak ada spotlight atau tepuk tangan ribuan orang.
Tapi panggung ini adalah perjalanan hidupku—yang kubangun dengan air mata,
tawa, gagal, bangkit lagi.
Aku belajar menepuk pundakku sendiri.
“Terima kasih ya, sudah bertahan sejauh ini.”
Semua malam panjang mengetik skripsi di warnet…
Semua hari belajar komputer kilat dua hari demi pekerjaan pertama…
Semua momen kecil, kerja keras, dan cinta sederhana dengan Renny…
Kini jadi bagian dari diriku yang hari ini bisa berjalan lebih tegak.
Surabaya: Gerbang Besar Yang Tak Pernah Kubayangkan
Panggilan dari Mbak Shanti mengubah hidupku.
“Nuk, mau kerja di Surabaya? Ada posisi kosong.”
Kupikir admin biasa.
Ternyata…
“Sekretaris istri Gubernur Jawa Timur,” katanya santai.
Aku hampir tersedak ludahku sendiri.
Tapi aku selalu percaya:
Kalau kesempatan datang mengetuk—walau kamu panik setengah mati—jawab dulu.
Panik belakangan.
Lalu wawancara dengan Mas Mufid.
“Kamu bisa Word?”
“Bisa, Pak.”
(Yang tidak bisa itu menahan deg-degan.)
“Kamu bisa buat laporan?”
“Siap, Pak.”
(Dalam hati: “Betul, siap belajar semalaman.”)
Aku minta waktu seminggu.
Dan selama seminggu itu… aku belajar komputer seperti orang dikejar utang
lintah darat.
Kursusan privat 2 hari seharga Rp250 ribu adalah investasi paling
tepat dalam hidupku.
Masuk hari pertama kerja…
Laporan pertama malah kukerjakan di warnet.
Tapi Mas Mufid puas.
Aku selamat.
Dan malamnya aku belajar lagi sampai ketiduran di depan komputer.
Sedikit demi sedikit, aku mulai menguasai semuanya.
Mulai paham ritme kerja lingkaran pejabat.
Mulai belajar komunikasi yang elegan, respons cepat, menjaga rahasia, hingga
ikut agenda luar kota.
Dalam hati aku sering berkata…
“Andai aku dulu takut…”
Aku mungkin takkan pernah sampai di titik ini.
CATATAN NUCKY : Hidup
mahasiswa itu adalah cermin bahwa idealisme sejati bukan cuma berani menolak
yang salah…tapi juga berani merancang masa depan dengan hati yang merdeka.
Dan perjalanan setelahnya membuktikan satu hal:
Perpisahan tidak pernah benar-benar selesai.
Kota, cinta, mimpi, dan perjuangan itu akan terus tinggal di hati—bahkan saat
langkah kaki sudah pergi jauh.
lanjut baca klik link : 30 - BERANI MENGAMBIL PELUANG : WALAU BELUM SIAP