62 - BABAK BARU LAGI : ANTARA ROTI, MIMPI, DAN THAILAND

 




Aku berjalan pelan di antara keramaian pasar malam Bangkok, sendirian, tapi tidak merasa sendiri. Lampu-lampu neon berwarna merah muda dan biru memantul di genangan air hujan di aspal yang retak, membuatnya tampak seperti cermin semesta. Pedagang-pedagang tersenyum hangat—senyum khas Asia Tenggara yang selalu membuatku merasa pulang, meski jaraknya ribuan kilometer dari Bali.

“Apa... ini halal?” tanyaku sambil menunjuk sate gurita yang terlihat menggoda.

Si penjual—wanita mungil dengan senyum secerah lampu neon—mengangguk cepat, tapi aku tahu sekali anggukan itu mungkin hanya bahasa universal dari: Iya deh, asal kamu beli.

Kualihkan pandangan. Aku bukan mau mempertaruhkan akidah demi gurita 20 baht.

Akhirnya aku membeli mie goreng yang dia tunjuk, dan mencoba cemilan manis yang terlihat seperti croissant mini tapi dipenuhi cream aneh yang wanginya seperti kopi bercampur bunga.

“Ini rasanya... kayak roti tapi nyasar,” gumamku.

Orang-orang di sekitarku menoleh sambil tersenyum, mungkin mengira aku orang Thailand yang sedang latihan bicara sendiri.

Aku tertawa kecil. “Ya Allah, hidup ini ya… penuh kejutan. Dari roti sampai sidang akuisisi,” bisikku sambil terus berjalan.

 

Suhadi Dan Bom Waktu Bernama “Akuisisi”

Besok pagi, presentasinya.
Dan di sinilah aku, di Bangkok, setelah seharian penuh drama di kantor Coco Group Bali yang menguras adrenalin.

Semuanya bermula dari satu telepon.

“Halo Ky, apa kabar?”
Suaranya selalu punya energi yang sama sejak zaman ngekos di belakang kampus. Suhadi. Teman yang dulu sering pinjam printerku tanpa bilang-bilang, tapi selalu datang bawa martabak.

Dan sekarang, dia menelepon untuk… membeli BCC Indonesia?

“Serius, Had?”
“Serius, Ky. Kita mulai sesuatu yang besar.”

Aku sempat bengong.
Antara kagum, deg-degan, dan takut ini prank.

“Tapi… lu kuat nggak? Ini brand internasional lho. Ntar kalau lu masuk, harus siap nego sama orang-orang besar.”

Di ujung telepon, Suhadi tertawa pendek.
“Makanya aku butuh lu, Ky. Lu itu jimatnya BCC.

Aku spontan batuk.
Bukan karena tersentuh—tapi karena sedang minum kopi dan hampir tersedak mendengar istilah “jimat”.

Tapi begitulah hidup. Kadang sesuatu datang bukan karena kita siap, tapi karena Allah ingin kita naik kelas.

Aku pun bergerak. Cepat.

Menghubungi Khun Earn.
Menyusun ringkasan bisnis kilat.
Mengirim email.
Dan hanya dalam hitungan jam—undangan resmi ke Bangkok masuk.

Rasanya waktu berhenti sejenak.

Dan esoknya, aku sudah duduk di pesawat Thai Airways—naik Boeing 747-400—dengan jantung serasa ingin menghianati tubuhku dan terbang duluan.

 

Menapak Suvarna-Bhumi Dan Menyapa Kenangan

Suvarnabhumi di malam hari terlihat seperti kota masa depan yang dibuat oleh seniman yang sedang jatuh cinta—modern, memukau, dan penuh cahaya.

Saat tiba, Suhadi sudah menunggu. Sedikit buncit sekarang, tapi auranya tetap sama: cerah, optimistis, dan selalu terlihat seperti baru bangun dari tidur siang.

“Kyyyy!” serunya sambil merentangkan tangan.

Aku membalas pelukannya.
“Had, lu makin kaya orang sukses! Perut aja sukses berkembang!”

Dia ngakak.
“Ini bukan perut, Ky. Ini tabungan masa depan.

Sial, aku kangen suasana begini.

Kami lalu dijemput tim BCC Bangkok. Orang-orangnya ramah, profesional, dan… berkelas. Serius, cara mereka menunduk 10 derajat waktu menyapa saja sudah bikin aku merasa akan menandatangani perjanjian internasional.

Kami dibawa makan. Tom Yum-nya segar, udang gorengnya garing, dan sambalnya… ya Allah, bikin iman goyah.

“Aduh ini pedes tapi nagih,” ucapku sambil berkeringat.

Suhadi menepuk bahuku. “Ky, lu harus tahan. Besok presentasi. Jangan sampe perut lu protes.”

“Ini bukan protes, Had. Ini demonstrasi besar-besaran.”

Semua tertawa. Bahkan orang Thailand di samping kami yang tak mengerti apa-apa ikut tertawa melihat ekspresi wajahku.

Yang namanya humor, memang bahasa universal.

 

Malam Yang Membuka Babak Baru

Setelah makan, kami check-in di hotel. Modern, elegan, dengan ornamen kayu dan motif bunga lotus di lobbynya.

Suhadi langsung tepar.
Tapi aku… tidak bisa.

Rasanya seperti malam sebelum sidang skripsi, sebelum akad nikah, atau sebelum presentasi miliaran rupiah—campuran deg-degan dan rasa ingin cepat-cepat menghadapi hari esok.

Jadi aku keluar lagi.
Menjelajah sendiri.

Keramaian pasar malam mengalun seperti musik yang akrab, meski nadanya berbeda. Orang-orang tertawa, aroma makanan mengepul, dan desiran angin malam Bangkok membawa rasa yang tak bisa kusimpulkan.

Aku duduk di bangku kayu, memakan mie goreng yang entah halal atau tidak, tapi insyaAllah aman. Lalu menatap langit.

“Ya Allah… Engkau bawa aku sejauh ini. Jika ini jalan terbaik, mudahkan. Jika bukan, cukupkan aku dengan ridha-Mu.”

Aku menghela napas.
Semakin lama, aku sadar…

Ini bukan sekadar perjalanan bisnis.
Ini tentang babak baru dalam hidupku.

Tentang menata ulang mimpi.
Tentang memperbaiki masa lalu.
Tentang mengambil kembali sesuatu yang pernah jatuh di tanganku—dengan cara yang lebih dewasa, lebih terukur, dan lebih ikhlas.

Karena aku sudah belajar satu hal:

“Dalam hidup, Allah tak pernah menutup pintu. Dia hanya memindahkannya.”

Dan aku kini berdiri di depan pintu baru itu.

Dengan hati yang berdebar.
Dengan kepala yang penuh mimpi.
Dan dengan sepotong mie goreng pasar malam Thailand yang masih menggantung di gigiku.

 

CATATAN NUCKY : Setiap babak baru menuntut keberanian baru.Bukan keberanian untuk menang—tapi keberanian untuk melangkah,meski masa lalu masih melekat di belakang.

Jika kamu siap, Allah akan bukakan jalan—pelan, pasti, dan penuh kejutan.

 

lanjut baca klik link : 63 -  KETIKA CINTA MENEMUKAN JALAN DI TENGAH PERBEDAAN 

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN