46 - LANGKAH KECIL YANG MENGUBAH LANGIT

 



Siang itu panasnya bukan main. Panas yang bukan hanya membakar kulit, tapi juga membakar isi kepala. Kami duduk berdua di ruang tamu kontrakan kecil yang cat temboknya mulai mengelupas seperti serpihan kenangan. Di atas meja—yang kakinya miring satu—tergeletak dompetku yang sudah tinggal kulit luarnya.

“Ren… apa yang bisa kita lakukan sekarang?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja. Bukan dramatis, tapi jujur… karena memang itulah satu-satunya kalimat yang masih masuk akal hari itu.

Renny menatapku. Tatapan seorang istri yang sudah terbiasa melihat suaminya sok kuat padahal hatinya retak seribu sisi.

“Apa aja yang halal, mas. Kita jalanin aja.”

Dan begitulah, kami masuk fase ter-kreatif dalam sejarah hidup kami—bukan karena kelebihan ide, tapi karena kepepet.

 

Dari Kontrakan, Dengan Cinta dan Bismillah

Kami mulai jualan apa saja. Dari barang rumah tangga, produk titipan teman, sampai hal-hal receh yang kadang aku sendiri lupa namanya.

“Mas, ini apa?” tanya Renny sambil memegang barang tak jelas bentuknya.

“Kayaknya… semacam alat pengupas… sesuatu?”

Kami tertawa. Tawanya Renny adalah jingga paling hangat di hari-hari gelap kami.

Aku selalu ingat satu hal : Harga diri itu bukan ditentukan oleh apa yang kamu kerjakan, tapi bagaimana kamu menjalaninya.

Dan kami menjalani semuanya dengan jujur, tertawa, dan saling menggenggam.

Tapi penghasilan itu… ah, jangankan untuk menabung, untuk hidup saja kadang ngos-ngosan.

Sampai akhirnya, di sebuah sore, lahirlah ide yang—kalau diingat sekarang—serius tapi konyol.

“Ren,” kataku, “gimana kalau kita buka catering?”

Renny menoleh cepat. “Catering? Mas… kita ini aja makan masih mikir.”

“Justru itu! Dengan catering, kita bisa ikut makan!”
Aku mengacungkan jari telunjuk seperti penemu teori relativitas baru.

Renny bengong. Lalu tertawa.
“Ya Allah, mas… kamu tuh kalau kepepet, ide-ide aneh keluar.”

Tapi aneh itulah yang menyelamatkan kami.

 

Catering Rasa Rumah – Strategi Bertahan Hidup

Ilmu masaknya dari mana?
“Beli buku menu di Gramedia,” jawabku mantap.

Modal dari mana?
“DP pelanggan!”

Pemasaran gimana?
“Biar aku yang turun.”
Flyer kubuat sendiri. Kutebar ke rumah-rumah. Masukin iklan baris di koran lokal. Serius tapi ngirit.

Dan benar saja—yang selalu membuatku tercengang:

 

“Allah Itu Tidak Tidur.”

Seminggu kemudian order pertama datang.
Lalu kedua.
Dan ketiga.

Walau belum banyak, tapi cukup untuk bikin hidup kami punya ritme lagi. Kami pun pindah rumah—kontrakan sepupu yang lebih murah.

Di situlah hidup kami kembali berdetak.

Pagi sebelum Subuh, Renny sudah di dapur.
Jam delapan, aku sudah siap mengantar rantang.

Kadang saat mengantar, aku ketawa sendiri sambil naik motor.

“Dulu direktur agency… sekarang direktur rantang.”

Tapi lucunya—yang membuatku berkaca-kaca sampai sekarang, adalah saat Renny bilang:

“Ayah… kita bisa makan dari hasil jerih payah kita sendiri. Itu sudah cukup.”

Dan benar, syukur itu terasa lebih dekat dari nadi.

 

Rezeki Dari Langit: Branding Pesawat

Suatu siang, teleponku berbunyi.

“Mas Nucky, bisa nggak handle project branding pesawat Merpati?”

Aku terdiam.

Branding… pesawat?
Pesawat beneran? Yang ada sayapnya? Yang kalau salah cat bisa kelihatan seluruh bandara?

Tapi entah kenapa, percaya diri itu muncul begitu saja.

“BISA!”

Kalimat yang keluar dari orang yang sama sekali belum pernah ngecat benda lebih besar dari mobil.

Namun Allah membuktikan sesuatu:
“Tidak ada yang mustahil jika engkau bersandar pada-Nya.”

Dan benar, project itu sukses.

Saat aku berdiri di landasan pacu menatap pesawat yang kini berwajah baru, aku tak bisa menahan air mata.

“Dulu aku berjuang dari dapur kontrakan… sekarang aku mengecat langit.”

 

Dunia Baru Bernama Phoenix Food

Lalu telepon lain datang.
Kali ini dari perusahaan besar: Phoenix Food.

“Mas Nucky, kami ingin menawarkan posisi National Marketing & Sales Manager.”

Aku bengong lama.
Renny menatapku seolah berkata: “Mas, ini bukan mimpi kan?”

Dari mengantar rantang, aku kini ditawari memimpin pemasaran nasional produk inovatif: dodol rumput laut.

Aku bilang iya—setelah diskusi panjang dan doa panjang.

Dan petualangan baru pun dimulai.

 

Dari Kantor Mewah ke Pasar Becek – Aku Belajar Lagi

Hari pertama masuk kantor, rasanya seperti masuk labirin baru.

Target. Strategi. Distribusi. Channel. Margin. Shelf display. Pasar daerah. Retail behaviour.

Kadang aku pulang dan bilang ke Renny:

“Ren, kayaknya otak mas habis 12% hari ini.”

Tapi aku suka tantangannya.
Aku bangun tim dari nol.
Aku turun ke pasar.
Aku ke Batam, Surabaya, Sumatera.

Dan hidup mulai kembali menggeliat.

Sampai suatu hari, ada kejadian yang masih bikin aku geli kalau ingat.

Pelamar yang Ternyata… Pelanggan Catering

“Nama?” tanyaku saat wawancara.

“Eka, Pak.”
Dia terlihat canggung.

Aku lihat alamat rumahnya.
Eh… familiar.

“Mas… kayaknya saya kenal deh,” kataku.

Dia tertawa malu.
“Pak… saya pelanggan catering Bapak dulu. Yang nasi rendangnya enak banget itu…”

Kami berdua langsung ngakak.

Bayangkan—orang yang dulu aku antar rantang makan, kini duduk di depanku melamar jadi Area Manager.

 

Rezeki itu benar-benar punya humor sendiri. Ketika Strategi Hebat Jatuh di Hadapan Realita

Tapi hidup tidak selalu naik.

Walau strategi marketingku kencang, kapasitas produksi perusahaan tidak mampu mengikuti permintaan.

Konsumen kecewa. Distributor marah.
Sistem goyang.
Dan aku belajar pahitnya sebuah kalimat:

“Strategy without execution is hallucination.” — Jeff Bezos

Dan kami gagal mengeksekusi.

Hidup kembali turun.

 

Hari-Hari Nasi Bungkus 2.500 dan Doa yang Tak Pernah Putus

Kami masuk fase tergelap.

Kadang hanya sanggup beli nasi bungkus Rp 2.500.
Tapi satu hal yang tidak pernah kami kurangi:

Sekolah Namira.

Dia tetap harus mendapat pendidikan terbaik.
Tetap harus berkembang.
Tetap harus bahagia.

Setiap melihatnya pulang sekolah dengan seragam rapi, aku berbisik:

“Ya Allah… aku boleh jatuh. Tapi jangan Engkau cabut harapannya.”

 

Renny: Lentera yang Menuntunku Pulang

Saat aku kehilangan arah, Renny datang dengan satu kalimat:

“Mas… gimana kalau kita ke Bali dulu? Kita istirahat. Kita tata ulang hidup.”

Aku awalnya menolak.
Bali bagiku seperti lembar lama.
Tapi Renny menggenggam tanganku.

“Kita bukan kalah. Kita cuma butuh napas baru.”

Dan entah kenapa, kata-katanya seperti ayat yang menenangkan dada.

Akhirnya aku mengangguk.

Orang tua juga mendukung.

Dan Bali memanggil kami kembali.

 

Bali: Bukan Tempat Melarikan Diri, Tapi Pulang untuk Tumbuh

Kami kembali ke Bali.

Bukan sebagai pelarian.
Tapi sebagai proses penyembuhan.
Re-start.
Re-design.
Reborn.

Aku belajar bahwa hidup tidak mengikuti garis lurus.
Ia berbelok, balik arah, jatuh, bangun, berputar, lalu naik cara yang tak kita sangka.

Seperti firman Allah:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
Wa idz ta’adz-dzana rabbukum la’in syakartum la’azīdannakum
(“Jika kamu bersyukur, pasti Aku tambah nikmat-Ku.”) — QS. Ibrahim: 7

Kami memilih bersyukur.
Kami memilih tetap melangkah.

CATATAN NUCKY Hidup mengajarkanku bahwa:

• Setiap langkah kecil adalah pintu besar.
• Setiap jatuh adalah pijakan baru.
• Setiap gagal adalah ruang untuk tumbuh.
• Setiap kesempitan adalah panggilan Allah untuk mendekat.

Dan bahwa : “Hidup bukan tentang berapa banyak yang kita kumpulkan, tapi seberapa tulus kita memberi, mengikhlaskan, dan menjadikan luka sebagai cahaya.”

Bali bukan akhir cerita.
Ia adalah bab berikutnya—tempat kami belajar mencintai perjalanan, bukan hanya tujuannya.

Karena seperti kataku pada Renny saat kami menatap senja Kuta bersama Namira:

“Ren… mungkin ini bukan hidup yang dulu kita rencanakan.
Tapi… bisa jadi ini hidup yang sedang Allah sempurnakan.”

Dan kami pun melangkah lagi—pelan, pasti, dan penuh harapan.


lanjut baca klik link : 47 - BABAK BARU DI BALI : ANTARA RASA YANG LAMA DAN HIDUP YANG BARU

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN