47 - BABAK BARU DI BALI : ANTARA RASA YANG LAMA DAN HIDUP YANG BARU

 



Angin pesisir Bali sore itu seperti punya suara sendiri—pelan, lembut, seolah berkata, “Selamat pulang...” Setelah badai panjang Surabaya, setelah hari-hari gelap yang kadang membuat napas hilang, kami akhirnya kembali ke tanah kelahiran. Rasanya seperti menghembuskan udara baru setelah lama menahan diri di bawah air.

Bukan sekadar pulang secara fisik. Yang kembali itu juga hati kami—yang sempat patah, sempat hilang arah, sempat meletakkan senyum di tempat yang jauh.

Dan di pulau ini, semuanya seperti mulai menemukan tempatnya lagi.

 

Renny Kembali Menyala

Renny kembali siaran di Hard Rock Radio, rumah lamanya. Hari pertama ia masuk, teman-temannya menyambut seperti menyambut pemenang pertandingan yang baru pulang kampung.

“Eh, sang penyihir suara balik juga!” kata Dita, sahabat siarannya.

Renny cuma tertawa sambil menoyor halus kepala Dita.
Aku melihat matanya berbinar—bukan cuma senang, tapi hidup kembali.

Ada hal-hal yang memang sudah ditakdirkan. Renny dan dunia radio?
Kayak kopi dengan pagi—nggak bisa dipisahkan.

 

Aku Dan Dunia Lama Yang Menunggu

Aku pun kembali ke industri kreatif Bali. Dunia yang dulu kutinggalkan dengan langkah cepat dan dada membusung, tapi kembali kupijak kali ini dengan langkah lebih kalem… mungkin sedikit pincang secara mental, tapi lebih jujur.

Pagi kami dimulai dengan ritme yang sederhana. Mengantar Namira ke TK dekat rumah. Sekolah kecil, guru-guru yang murah senyum, sandal-sandal mungil bertumpuk rapi di rak bambu, dan harum dupa dari pura seberang jalan menyatu dengan suara tawa anak-anak.

Namira cepat sekali beradaptasi. Dalam dua minggu ia sudah bicara dengan logat Bali yang lembut.

“Suksma, Bu Guru…” katanya sambil menunduk kecil.

Hatiku meleleh di tempat.

 

 

 

Reuni Yang Tak Diundang Tapi Dijalani

Di tengah membangun kembali hidup, takdir menarikku ke satu arah yang tak kukira: reuni teman masa kecil kompleks Bandara Ngurah Rai. Orang-orang yang dulu tiap sore main sepeda sama aku, tiap pagi rebutan bola plastik, dan tiap bulan saling ngutang es lilin lima rupiah.

Dan entah bagaimana, aku ditunjuk jadi Ketua Panitia Reuni.

“Ah, jelas. Dari dulu kamu memang komandan,” kata Opi, sambil menepuk bahuku.

Komandan? Dalam hati aku tertawa. Komandan yang hidupnya pasang surut kayak debit kas kecil.

Tapi aku terima amanah itu. Karena ada rasa hangat yang muncul setiap kali nama-nama teman lama dipanggil.

Dan di tengah obrolan reuni itu, seseorang menyebut nama yang lama hilang.

Merie.

Iwed menatapku sambil mengunyah kacang, nada bicara santai tapi menusuk:
“Kamu nggak ngobrol sama Merie lagi, Nuck? Kenapa nggak kamu manfaatin momen reuni ini?”

Aku diam.

Bisa apa aku?
Merie adalah bab lama yang tidak pernah benar-benar kututup.

Cinta pertama yang tidak pernah diumumkan.
Cinta yang berhenti hanya karena satu kecupan kecil di usia TK, lalu membuat semuanya canggung selama… hampir 30 tahun.

 

Pertemuan Yang Bukan Kebetulan

Dan akhirnya, kami bertemu kembali.

Di tengah suasana reuni, Merie datang. Masih ramah, masih lembut, dan—ya—masih punya senyum yang sama.

“Hai, Merie.”
“Hai, Nucky.”

Dan kami tertawa. Tawa canggung tapi hangat. Tawa dua anak TK yang tiba-tiba terjebak di tubuh orang dewasa.

 

 

Makan Siang Dan Sajaan Tak Diriencankan

Merie mengundangku makan siang di restoran hotel keluarganya, Hotel Bali Sumer. Nama “Sumer” itu ternyata berasal dari nama ayahnya—tokoh besar Kuta, mantan Ketua DPRD Badung.

Sebelum berangkat, aku jujur pada Renny. Karena apa pun yang terjadi, aku dan dia sudah belajar: rumah tangga itu berdiri di atas kejujuran, bukan keberuntungan.

Renny menatapku lama, lalu berkata lembut:
“Pergilah. Selesaikan apa pun yang harus kamu selesaikan.”

Aku menelan ludah. Itu kalimat yang kalau dibaca cepat kedengarannya sederhana. Tapi sebenarnya itu bentuk kedewasaan yang tidak semua orang punya.

Saat aku tiba di restoran, deg-degannya setengah mati.
Tapi ternyata…

Bukan hanya Merie yang menunggu.

Ada juga Mama Merie, Papa Merie, adiknya Ria, adiknya Iwan.

Hatiku langsung nyanyi:
“Balonku ada lima… meletus balon hijau… DOOR!”

Ibunya Merie langsung memelukku.
“Ini mantuku yang nggak jadi, nih… haha!”

Aku cuma bisa tersenyum kaku, seperti habis ditilang Pak Polisi di tengah pasar malam.

Tapi suasananya hangat. Sama seperti dulu.

Akhirnya aku dan Merie duduk berdua.

Aku menarik napas.
“Aku minta maaf, Mer. Dulu aku pengecut. Nggak ngerti perasaan sendiri. Nggak ngerti juga harus ngomong apa.”

Merie tersenyum kecil.
“Aku nunggu, tahu nggak? Tapi ya sudahlah… namanya juga anak TK.”

Kami tertawa lagi.

Rasanya seperti membuka jendela lama yang debunya menumpuk—dan akhirnya ditiup angin.

Kami sepakat:
Perasaan itu bukan untuk dilanjutkan.
Hanya untuk dikenang.
Dihargai.
Dilepas baik-baik.

“First love doesn’t always mean your first relationship,” kataku.
“It’s the first time someone made your heart beat faster—and never really left your memory.”

Merie mengangguk.

Dan di titik itu, aku tahu: bab ini sudah selesai.
Dengan baik.

 

Reuni Jiwa

Pertemuanku dengan Merie bukan tentang cinta lama.
Bukan tentang ingin kembali.

Tapi tentang berdamai—dengan masa kecil, dengan kenangan, dengan diriku sendiri.

Aku tidak lagi membawa luka itu ke mana-mana.
Tidak lagi menanggung “andai saja.”
Tidak lagi memeluk bayangan.

Di Bali, kami membangun hidup baru.

Bukan tentang kaya atau gengsi atau proyek besar.
Tapi tentang keluarga yang utuh, hati yang tenang, dan hidup yang lebih jujur.

Karena pada akhirnya, kemenangan terbesar bukanlah kemenangan di panggung dunia.

Tapi kemenangan di dalam dada sendiri—ketika kita bisa mencintai, melepaskan, menerima, dan tetap berjalan dengan jiwa yang ringan.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun…

Aku merasa menang.



Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN