26 - DARI KAMPUS SWASTA KE PANGGUNG NASIONAL : PETUALANGAN KONGRES ISMEI
Pagi itu kampus masih ngantuk. Burung-burung saja kayaknya belum
niat terbang; mereka cuma nongkrong di kabel listrik seperti mahasiswa yang
menunggu kiriman uang. Aku baru saja duduk di ruangan Senat—ruangan sederhana
dengan kursi yang kalau diduduki bunyinya bisa bikin orang salah sangka—ketika
sebuah bayangan berlari mendekat sambil ngos-ngosan.
“Mas Ketuaaaa…!” suara itu melengking.
Sony Bachtiar. Sekretaris Umum. Lari-lari kayak atlet yang baru
ingat kalau utangnya jatuh tempo.
Begitu dia berhenti di depanku, dia terengah, mukanya merah, dan
matanya berbinar macam abis nemu diskon besar-besaran.
“Mas Ketua! Undangan Kongres Nasional ISMEI udah turun! Ini forum
paling bergengsi—tempat berkumpulnya para pemimpin mahasiswa ekonomi
se-Indonesia. Kita harus hadir!”
Kalimat itu kayak kembang api yang meledak pas malam tahun baru.
Ruangan langsung panas, meski kipas angin muter-muter tanpa arah kayak hidup
mahasiswa akhir semester.
Samsurizal datang belakangan sambil bawa roti isi yang dia makan
setengah, entah sejak jam berapa.
“Lho, ada apa ini rame-rame? Undangan kawinan ya?”
“Lebih penting, Sur,” jawab Sony dengan gaya dramatis, “INI…
KONGRES NASIONAL.”
Samsurizal langsung duduk, naruh roti, dan matanya fokus. Begitu
fokusnya sampai aku yakin dia lupa ngunyah sisa roti yang masih ada di pipinya.
Dalam lima menit, jadilah rapat besar yang hanya diikuti tiga
orang. Kita bahas siapa yang berangkat, apa misinya, strategi apa, dan tentu…
bagaimana cara memastikan kita gak “gembel” selama perjalanan.
Setelah diskusi singkat yang lebih banyak ketawanya daripada
substansinya, kami sepakat: Aku, Sony, dan Samsurizal. Trio mahasiswa
bermodal nekat dan sedikit anggaran.
Misi kami juga jelas:
Bukan cuma hadir. Tapi pulang membawa Kongres berikutnya ke Malang.
Gila? Iya.
Mustahil? Mungkin.
Niat? Sangat.
Mengetuk Pintu Dekan – Misi Proposal dan “Sangu”
Kami pun berangkat menghadap Pak Dekan. Sony pegang map proposal
sambil deg-degan. Samsurizal membawa laptop seolah-olah itu jimat sakral. Aku…
berusaha terlihat cool, padahal posisi keuangan pribadi sedang di level bahaya.
Kami memaparkan visi, strategi, dan niat mulia membawa nama Unmer
Malang ke panggung nasional.
Pak Dekan tersenyum. “Saya percaya kalian bisa. Kami dukung
penuh.”
Kalimat itu… kayak Allah sedang mengirim “boost” ke hati kami.
Alhamdulillah, restu turun, dan yang paling penting… anggaran perjalanan
juga turun.
Perjalanan Kapal Pelni – Tikar, Angin Laut, dan
Persahabatan
Kami berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kapal Pelni
yang besar itu terasa seperti “Titanic versi mahasiswa”—megah tapi rasanya
tetap harus hemat.
Kami pilih deck ekonomi. Tidur di tikar, bantal dari tas sendiri,
dan angin laut yang kadang romantis… kadang masuk angin.
Di kapal, banyak rombongan dari kampus lain: UB, UNUD, UGM, UNRAM,
Unej—semuanya datang dengan gaya masing-masing.
Ada yang rame banget. Ada yang pendiam. Ada yang sok senior
padahal nametag-nya masih bau cetak.
Tapi serunya… mereka semua ramah. Kami ngobrol, bercanda, tukar
nomor, tukar ide.
Di sinilah aku sadar: kompetisi itu bisa tetap bersahabat.
Banjarmasin – Sambutan, Hotel, dan 4 Hari yang
Menguras Energi
Begitu tiba di Banjarmasin, panitia menyambut kami seperti artis
K-Pop tersesat. Kami diantar ke hotel yang—jujur—mewah bagi ukuran mahasiswa.
Kongres berjalan empat hari.
Empat hari sidang, debat, argumen, strategi, dan presentasi.
Sony jago lobi.
Samsurizal jago membaca peta politik peserta.
Aku… jago improvisasi kalau tiba-tiba disuruh bicara di podium.
Presentasi kami sederhana, tapi jujur dan menyentuh.
“Kami datang bukan sebagai siapa-siapa. Tapi kami
ingin pulang sebagai sesuatu.”
Kami tawarkan Malang dengan khas: pendidikan, budaya, suasana
sejuk, dan… kuliner.
Siapa sih yang bisa menolak rawon?
Akhirnya…
tok tok tok!
Palu diketuk.
Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka Malang terpilih
sebagai Tuan Rumah Kongres Nasional ISMEI berikutnya.
Aku, Sony, Samsurizal hanya bisa saling pandang.
Dan tiba-tiba kami bertiga pelukan kayak habis memenangkan final Liga
Champions.
Aku nyaris nangis… tapi gengsi.
Sony beneran nangis… tapi dia bilang itu karena kelilipan.
Samsurizal cuma bilang: “Kita pulang… naik pesawat.”
Sony dan Pesawat Pertama Kalinya
Bener saja. Kami pulang naik pesawat.
Dan Sony…
Aduh, Sony.
Dia foto-foto:
• gaya pilot
• gaya pramugari
• gaya liat jendela
• gaya tidur tapi matanya kebuka
• gaya tunjuk awan
Sampai pramugari pun nahan ketawa.
Tapi kami senang. Anak kampus swasta kecil bisa kembali dengan
kemenangan. Itu luar biasa.
Sampai Malang – Sambutan Seperti Pahlawan
Begitu tiba, teman-teman senat langsung memeluk kami. Dosen
menyalami. Pimpinan kampus tersenyum bangga.
Hari itu…
kami bukan cuma mahasiswa.
Kami pembawa mimpi.
Saat Keberanian Mengalahkan Nama Besar
Kisah ini mengajarkan satu hal:
Kemenangan bukan milik kampus besar.
Kemenangan milik yang berani melangkah.
“Great things are done by a series of small things brought
together.” – Van Gogh
Dan sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Kami ingin menjadi manusia itu.
lanjut baca klik link : 27 - SEPENGGAL KISAH DI BALIK LAYAR KETUA SENAT