66 - JALAN SUNYI, JALAN SEPI, TAPI BUKAN JALAN SENDIRI

 



Pagi itu, udara terasa berbeda. Entah lebih segar, entah lebih tenang, atau mungkin… itu hanya perasaan Ayah yang mulai berubah. Semalam Ayah tidur dengan mimpi aneh—mimpi naik kapal besar tapi kapalnya bukan melaju ke laut, melainkan parkir di halaman rumah Pak RT. Ayah bangun dengan pusing kecil sambil bertanya-tanya:

“Ya Allah, jangan sampai ini firasat Ayah harus jadi ketua RT… bukan itu rencananya…”

Wulan, yang mendengar gumamanku, langsung menertawakan setengah mati.

“Kalau Ayah jadi ketua RT, Ayah pasti pidato tiap malam,” katanya.

Aku menjawab dingin, “Kalau Ayah pidato tiap malam, itu artinya Ayah sudah stres.”

Kami tertawa bersama di kamar yang sempit tapi penuh kehangatan itu.

 

Hari itu Ayah mulai melangkah lebih jauh untuk rencana BCC. Bukan lagi sebatas chat dan telepon, tapi membuat plan yang lebih konkret: segmentasi pasar, peluang post-pandemic tourism, skema kerja sama dengan pemilik kapal, model revenue sharing, dan kemungkinan early partnership.

Di tengah-tengah asyik menulis, Wulan mendekat sambil membawa secangkir kopi.

“Ayah…”
Ia memanggil dengan nada lembut.

“Hmmm?”

“Kayaknya Ayah butuh fresh air.”

Aku menatapnya bingung. “Loh… Ayah kan baru mandi?”

Ia memutar bola mata. “Bukan bau badan, Ayah… pikiran. Ayo keluar bentar.”

“Keluar? Pandemi gini?”

“Kita cuma jalan ke ujung gang. Nggak nyentuh siapa-siapa. Pake masker. Jaga jarak.”

Aku mengangguk. “Baik, baik. Ayah ikut.”

 

Kami keluar rumah, berjalan di gang sepi yang dulu selalu ramai suara anak kecil main bola dan ibu-ibu ngerumpi. Sekarang sunyi, bahkan daun yang jatuh pun terdengar jelas.

Wulan menggenggam lenganku.
“Ya Allah, Ayah. Atmosfernya kayak film kiamat.”

Aku tertawa kecil. “Iya… rasanya kayak sedang ‘surviving zombie apocalypse’ tapi zombienya bentuk virus.”

Wulan mengetuk lenganku. “Iya bener. Dan Ayah itu perannya biasanya jadi pemimpin kelompok—yang mati duluan.”

Aku berhenti.
Menatapnya.
Hening lima detik.

“Ayah berubah pikiran. Ayo pulang.”

Wulan tertawa keras sampai suaranya menggema di gang.

Saat kami duduk di pinggir jalan, di bawah pohon jambu tetangga, Wulan tiba-tiba bertanya:

“Ayah… kita ini kuat ya?”

Aku menoleh.
Pertanyaan itu tidak main-main.

“Kenapa Lan tanya begitu?”

“Karena kita kok ya bisa ya… di tengah pandemi, kehilangan penghasilan, tekanan dari keluarga, masa depan nggak jelas… tapi kita masih bisa ketawa.”

Aku tersenyum pelan.
“Karena Allah jaga kita, Lan.”

Wulan terdiam.
Matanya berkaca.

“Ayah…”

“Iya?”

“Lan takut sebenarnya.”

Aku menunduk sedikit, memberi ruang untuknya bicara.

“Takut gagal. Takut Ayah stres. Takut masa depan kita nggak sesuai. Takut ternyata kita cuma pura-pura kuat.”

Aku menghela napas dan memegang kedua tangannya.

“Lan…”

Dia mengangkat wajah.

“Ayah pun takut.”

Mata Wulan melebar pelan.
Ia seperti tidak menyangka.

“Tapi…”
Aku melanjutkan.

“Kita tidak bisa menunggu sampai tidak takut. Kita jalani walau takut. Kita melangkah walau gemetar. Kita bangkit walau tersandung.”

Ia terisak kecil.
Aku mendekat, membiarkan kepalanya bersandar di bahuku.

“Dan satu hal lagi,” tambahku pelan, hampir seperti bisikan.

“Ayah tidak sendirian. Lan juga tidak sendirian. Kita saling menopang. Selama kita berdua saling menjaga… insyaAllah, apa pun bisa kita hadapi.”

Wulan mengusap air matanya. “Ayah bisa aja bikin Lan nangis mulu.”

Aku tersenyum. “Ayah kan memang trending topik di hati Lan.”

“Apaan sih…”
Ia tertawa sambil menyeka air matanya.

Tawa itu…
Ah. Tawa itu seperti menyalakan lilin di ruangan gelap.

 

Kami kembali ke rumah.
Ayah kembali membuka laptop, Wulan kembali menemani.
Tapi kali ini semangatnya berbeda. Ada rasa yakin yang tidak berlebihan, tapi cukup untuk memulai.

Ayah mengetik:

“BCC—Phase 1: Restart”

  • Mapping cruise operators
  • Building partnership proposal
  • Identifying post-pandemic traveler behavior
  • Drafting safety protocol guidelines
  • Reconnecting professional network
  • Building digital presence

Wulan melihat dari sisi.
“Yang paling penting, Ayah…”

“Apa?”

“Yang terakhir. Tuliskan.”

“Apa?”

“Faith.”

Aku menatapnya lalu langsung menulis:

- Strengthening faith: yakin bahwa Allah menyertai proses ini.

Wulan tersenyum.
“Gitu dong.”

 

Malam harinya, setelah semuanya selesai dan lampu-lampu rumah sudah redup, Ayah duduk di tepi ranjang sambil menatap langit-langit.

Wulan memeluk punggung Ayah dari belakang.
“Ayah…”

“Hm?”

“Terima kasih.”

Aku memegang tangannya.
“Untuk apa?”

“Untuk berani.”

Aku terdiam lama.
Kata itu mengendap perlahan, masuk ke dalam rongga yang selama ini penuh keraguan.

Ayah membalikkan badan perlahan.
Menatap wajahnya yang teduh.

“Lan…”

“Iya, Ayah?”

“Mulai besok, Ayah mau mulai langkah pertama yang lebih besar.”

Wulan mengangguk. “Lan ikut.”

Aku menggeleng.
“Bukan ikut, Lan. Kita mulai bersama.”

Ia tersenyum.
Pelan.
Hangat.
Dalam.

“Baik, Ayah.
Kita mulai bersama.”

Lampu dimatikan.
Malam memeluk.
Dan kehidupan kami baru saja bergerak sedikit lebih maju.

 

lanjut baca klik link : 67 -  BLACK CANYON REBORN 

 




Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN