42 - AYAH PERAN YANG TAK ADA SEKOLAHNYA
Ada satu momen yang sampai hari ini masih sering membuatku
tertegun. Hari ketika aku pertama kali menggendong Nara. Tanganku gemetar
seperti pegawai baru yang disuruh tanda tangan kontrak kerja tanpa baca dulu.
Renny hanya tersenyum sambil berkata, “Tenang, Yah… bukan bom kok. Ini anakmu.”
Tapi tetap saja, rasanya seperti memegang seluruh masa depan dalam
bentuk 3,2 kilogram manusia kecil yang wanginya seperti surganya Allah
diteteskan sedikit ke dunia.
Hari-Hari Pertama: Antara Popok, Kantor, dan
Kepekaan yang Tumbuh Pelan-Pelan
Hari-hari setelah kelahiran Nara seperti memasuki dunia paralel.
Waktu berjalan berbeda. Kantor tetap menunggu, klien tetap mengirim revisi yang
kadang bikin dada panas, tapi di antara itu semua ada tangisan kecil yang entah
kenapa mampu memadamkan semua kebisingan dunia.
Suatu malam, jam 2.13 dini hari:
“Yah… bangun bentar. Nara nangis,” suara Renny terdengar setengah
mengantuk.
Aku mengucek mata, “Hah? Nangis kenapa? Dia bosan jadi bayi?”
Renny melotot kecil tapi lelah. “Ganti popok.”
Aku menelan ludah. “Yang bocor atau yang bau?”
“Dua-duanya.”
Tiap malam aku belajar hal-hal yang dulu tak pernah terpikirkan:
posisi menggendong anti-ngeremes, cara menyendawakan bayi tanpa merasa disayang
balik, sampai cara menenangkan Renny yang kadang nangis lebih kencang dari
Nara.
Itu semua… indah, sekaligus melelahkan. Tapi aku merasa hidup
lebih bermakna dari sebelumnya.
Kantor Jadi Tempat Tumbuh Kecil
Beberapa kali, saat Renny harus rapat atau ada urusan penting, aku
membawa Nara ke kantor.
“Mas, itu beneran anakmu?” tanya teman kantor sambil nyengir.
“Bukan. Ini hasil pinjem di marketplace. Ratingnya lima bintang,”
jawabku.
Kami tertawa.
Aku membuat pojok kecil di samping meja kerja: bantal empuk,
boneka kelinci, botol susu, dan selimut dengan motif bintang. Dan di tempat
itulah Nara sering tidur pulas, tak peduli aku sedang memimpin meeting atau
presentasi marketing yang tegang.
Suatu hari, klien besar hadir untuk diskusi proposal. Di tengah
presentasi yang serius, terdengar suara:
“Eek!”
Seruan pendek, tapi fatal.
Semua terdiam. Aku terbatuk kecil, “Eh, itu… bukan saya ya.”
Klien tertawa. Suasana mencair. Meeting berjalan lancar.
Kesibukan yang Mendidik
Di tengah tumpukan deadline, Nara mengajariku hal yang tidak
pernah diajarkan kampus atau seminar bisnis:
Fokus.
Dari situ aku belajar kembali menjadi manusia yang hadir penuh.
Menjadi Ayah di Era Digital
Sampai suatu ketika, aku tersentak saat melihat video Nara belajar
melangkah untuk pertama kali—dan aku tidak ada di rumah.
Aku menatap layar itu lama sekali.
Tentang Rumah: Tempat Menjaga Langit
Suatu malam, saat rumah sudah tenang, Nara tertidur, Renny rebah
di sampingku, aku berbisik pelan:
“Ya Allah… jadikan keluargaku sakinah. Jadikan anakku shalihah.
Jadikan rumah ini ladang amal jariyah yang tak pernah putus.”
Renny melirik. “Yah, doa keras banget. Sangkain ada malaikat catat
nilai ujian.”
Menjaga Cinta di Tengah Deadline
Suatu malam, saat kami berdua sudah sangat lelah, aku berkata:
“Ren… kayaknya kita butuh waktu kencan deh. Yang ada
lilin-lilinnya gitu.”
Renny mendesah, “Yang ada lilin itu bukan restoran, Yah. Itu rumah
mati lampu.”
Kami tertawa sampai perut sakit.
Tentang Legacy: Warisan yang Tidak Bisa Dibeli
Suatu malam aku bicara pada Nara yang sedang tertidur:
“Nak… ayah mungkin tidak bisa memberimu semua hal. Tapi ayah akan
berusaha menjadi contoh kecil. Agar kamu tahu bahwa hidup ini bukan lomba, tapi
ladang amal.”
Doa Ayah
Tapi di setiap sujud, ada doa yang pelan tapi dalam:
“Ya Allah… kuatkan anakku. Lembutkan hatinya. Jagalah langkahnya.
Lapangkan rezekinya. Dan jadikan aku orang tua yang tidak gagal menjaganya.”
Rumah, Pelukan, dan Surga Kecil Itu
Kini, setiap pulang kerja, Nara berlari kecil, tangan terbuka,
pipi tembam merah muda, dan teriak:
“Ayaaaah!”
Dan saat pelukan itu mengikatku, aku merasa seluruh dunia menjadi
lebih masuk akal.
Karena akhirnya aku sadar:
Menjadi ayah bukan peran yang ada sekolahnya. Tapi justru karena
itu, ia menjadi peran paling suci dalam hidup seorang laki-laki.
lanjut baa klik link : 43 - BRANDING, REZEKI, DAN LANGKAH-LANGKAH KECIL MENUJU TAKDIR BESAR