52 - UJIAN SOSIAL, MEDIASI KONFLIK, DAN LELAKI YANG BELAJAR MENJADI JEMBATAN
Angin sore Pulau Merah selalu punya cara untuk menampar lembut
wajahku—seolah berkata, “Hei Komandan, hidup ini bukan cuma tentang laporan
mingguan dan grafik perkembangan.” Dan benar saja, semakin lama aku
bertugas di sana, semakin kusadari: pekerjaan ini bukan sekadar tentang
tambang, program CSR, atau pelatihan UMKM. Ini tentang manusia—dan manusia, ah,
selalu lebih kompleks daripada batuan mineral.
Ujian Sosial Dan Mediasi Konflik
Hari itu panasnya benar-benar kurang ajar. Matahari seperti dendam
pada siapa saja yang berani keluar rumah. Dan tentu saja, rapat mediasi konflik
malah dijadwalkan di hari itu.
Balai desa penuh sesak. Warga berdiri, duduk, sebagian nyender di
tembok, sebagian lagi memegang map berisi tuntutan masing-masing. Udara tegang.
Bahkan kipas angin tua di pojok ruangan pun seolah enggan berputar takut
tersangkut emosi massa.
Aku maju ke depan, membawa presentasi PowerPoint yang sudah
kusiapkan semalaman. Rapi, penuh warna, pakai ikon-ikon lucu pula. Tapi baru
slide ketiga, seorang tokoh masyarakat berdiri, menatapku tajam seperti sedang
menakar dosa-dosaku satu per satu.
“Sampeyan iki sopo, Le? Mau benerin hidup kami atau cuma cari
gaji doang?”
Dug. Jantungku rasanya pindah ke dengkul.
Orang-orang di ruangan itu mulai berbisik. Suasana mendidih. Aku
ingin balas bicara, tapi suara hatiku lebih cepat berkata: “Nuck, jangan
lawan dengan emosi. Ini bukan adu jago. Ini adu hati.”
Aku tarik napas panjang.
“Pak, saya memang dibayar perusahaan. Betul. Tapi kalau saya
cuma mau gaji, saya nggak perlu turun ke desa tiap hari. Saya bisa saja duduk
manis di kantor. Tapi saya percaya satu hal: kalau tidak ada orang dalam yang
bawa kebenaran keluar, konflik hanya akan membusuk di dalam. Saya memilih jalan
ini bukan karena nyaman, tapi karena benar.”
Ruangan hening.
Bapak itu tidak menjawab. Ia hanya menatapku lama, lalu duduk
pelan. Aku melanjutkan rapat dengan suara bergetar tapi jujur.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Kata-katanya menempel di telinga
seperti stiker yang sulit dilepas.
Dengan suara yang jauh lebih lembut, ia berkata:
“Saya ngerti maksudmu, Le. Lanjutkan. Wong jujur itu langka
sekarang. Jangan menyerah.”
Dan entah kenapa, kalimat itu lebih menyegarkan daripada kelapa
muda yang baru dipetik.
Renungan Di Tengah Hamparan Emas
Ada satu tempat yang selalu menjadi ruang sunyiku: Pantai Pulau
Merah.
Sore hari, ketika ombak mulai jinak dan langit berubah jingga
keemasan, aku duduk di pasir, menatap dunia yang ternyata jauh lebih luas
daripada masalah kantor.
Aku pernah menulis dalam buku kecilku:
“Yang berharga di hidup ini bukan yang kelihatan. Emas sejati
bukan yang digali dari perut bumi, tapi yang tumbuh dari hati manusia.”
Biasanya setelah menulis dua-tiga kalimat sok bijak itu, aku
langsung menelpon Renny atau Namira. Mereka dua hal yang membuatku tetap waras.
Kadang Namira bercerita soal PR matematika yang “nggak manusiawi”.
Kadang Renny melempar jokes receh yang kalau diukur pakai logika, harusnya
nggak lucu—tapi selalu sukses bikin dadaku hangat.
Mereka adalah pusat gravitasi. Rumahku, meski aku jauh dari rumah.
Legacy Dari Pulau Merah
Dalam hampir dua tahun, perlahan tapi pasti, sesuatu berubah.
Tapi semua pencapaian itu kalah jauh dibandingkan satu momen ini:
Seorang anak nelayan yang dulu aku lihat membawa jaring bolong
datang memelukku.
“Pak, kalau nggak ada pelatihan komputer itu, saya tetap cuma
jadi kuli jaring. Sekarang saya operator alat berat. Ortu saya bangga. Saya…
juga bangga sama diri sendiri.”
Aku hampir menangis. Kalau saja tidak ingat bahwa martabat lelaki
harus dijaga, mungkin aku sudah mewek beneran.
Epilog: Melangkah, Tapi Tak Sendiri
Aku tahu tugasku di Pulau Merah tidak selamanya. Tapi warisan
kecil itu… akan tinggal di hati banyak orang. Bukan programnya, bukan
anggarannya—tapi rasa percaya yang dibangun perlahan.
Kini aku melangkah lagi. Ke mana pun selanjutnya, aku tidak
membawa idealisme kosong, tapi keyakinan bahwa keberhasilan paling sejati
adalah ketika kehadiran kita menumbuhkan orang lain.
Tiga Minggu Di Pulau Merah, Satu Minggu Di Malang
Kisah seorang ayah yang selalu hidup di dua dunia.
Siklus kerjaku 3:1 terasa seperti ritme aneh yang harus kupelajari
dari nol.
Di Pulau Merah, subuh-subuh aku sudah menyapa laut, bercanda
dengan nelayan, dan menerima ikan gratis dari Pak Warto.
“Pak, ini rejeki laut. Bagi-bagi itu budaya.”
Lalu ketika minggu keempat tiba, koperku sudah siap sejak semalam.
Deg-degan, rindu, bahagia jadi satu.
Di Malang, aku kembali jadi suami, ayah, sekaligus partner bisnis
Renny. Kami mengurus kemoterapi, mendiskusikan masa depan Dragonfly, dan saling
menopang dengan cara paling dewasa yang kami bisa.
Hari-Hari Produktif Di Pulau Merah
Di bawah bimbingan Pak Abidin dan ditemani Adi Suhardiboy, hidup
kerjaku seperti perpaduan antara sekolah lapangan dan reality show.
Kamar yang selalu bersih, baju yang dilipat rapi, kulkas penuh
buah segar… membuatku sadar:
Jika manusia dibebaskan dari beban kecil, ia bisa naik kelas
dengan fokus yang jauh lebih besar.
Itulah budaya perusahaan: support dulu, tuntut performa kemudian.
Refleksi Terakhir: Seorang Ayah, Seorang Kepala Keluarga, Seorang
Komandan Di Medan Petualangan
Setiap kali kembali ke Pulau Merah, aku selalu mengulang dalam
hati:
“Aku bekerja bukan untuk meninggalkan rumah, tetapi untuk
menjadikan rumah lebih layak dihuni.”