27 - SEPENGGAL KISAH DI BALIK LAYAR KETUA SENAT

 





Malang selalu punya cara sendiri untuk membuat orang jatuh cinta—bukan dengan kemewahan, tapi dengan udara dingin yang jujur, kabut pagi yang malu-malu, dan ritme hidup yang pelan tapi dalam. Di kota inilah, jauh sebelum namaku sering dipanggil lewat pengeras suara sidang senat, sebelum jas almamater terasa berat oleh tanggung jawab, aku belajar satu hal paling mendasar: bagaimana mencintai dan dicintai tanpa banyak gaya.

Dan semua itu bermula dari seorang gadis bernama Renny.

Renny bukan tipe yang datang dengan dentuman. Ia hadir seperti lagu yang diputar pelan di walkman—awalnya nyaris tak terdengar, tapi lama-lama meresap ke tulang. Setiap pagi aku melihatnya melintas di halaman kampus, langkahnya kecil, rapi, seolah takut mengganggu dunia. Senyumnya lembut, bukan senyum pamer kebahagiaan, tapi senyum orang yang berdamai dengan hidup.

Kadang dia menyapaku.
“Pagi, Nuck.”
Kadang cuma melirik, lalu memasang earphone, tenggelam di dunianya sendiri.

Suatu pagi aku memberanikan diri bertanya, “Dengerin apa sih tiap hari?”
Dia melepas satu sisi earphone dan menyodorkannya ke telingaku.
“Ini,” katanya pelan.

Dan di situlah aku pertama kali kalah telak oleh Titi DJ.
Jangan berhenti mencintaiku… meski mentari berhenti bersinar…

Entah kenapa, sejak hari itu, dunia terasa diputar dalam mode slow motion. Motor lewat jadi lebih pelan, langkah mahasiswa lain jadi samar, dan aku—yang biasanya ribut, sok tahu, dan sok kuat—mendadak jadi manusia biasa yang cuma ingin duduk lebih lama di bangku taman kampus.

 

Kuliner Murah, Dompet Tipis, Hati Bahagia

Kami bukan pasangan kafe estetik. Jangankan latte art, uang buat es teh manis saja kadang harus mikir dua kali. Tapi justru di situlah romantisnya.

Bakso Stasiun jadi restoran bintang lima versi kami.
Satu mangkuk, dua sendok, pura-pura kenyang.
“Gantian ya,” kata Renny.
“Iya,” jawabku, sambil berharap baksonya gak cepat habis.

Pecel Kawi adalah sarapan paling mewah yang pernah kami punya. Daun pisang, sambal kacang, dan tempe goreng yang rasanya seperti doa orang sabar.

Rujak Semeru? Pedasnya bikin keringat bercucuran.
“Ini rujak atau ujian hidup?” kataku.
Renny ketawa, “Biar kamu siap sama masa depan.”

Mie Pangsit Dempo jadi ruang rapat masa depan versi kami.
“Aku pengen kamu lulus tepat waktu,” katanya.
“Aku pengen kamu bahagia,” jawabku.
Kami sama-sama tahu, rencana itu gratis, yang mahal nanti realisasinya.

Rawon Brintik adalah tempat curhat paling sakral. Di sana, aku cerita soal tekanan organisasi, soal konflik, soal lelah yang gak bisa aku bagi ke siapa pun. Renny cuma mendengarkan. Kadang menimpali, kadang diam. Tapi diamnya itu bukan kosong. Diamnya penuh.

Dan kalau malam benar-benar dingin, kami ke Pulosari. Jagung bakar jadi saksi obrolan yang tak pernah selesai. Asap jagung, tawa kecil, dan tangan yang saling menghangatkan—itu sudah lebih dari cukup.

Kami gak kaya harta.
Tapi kami kaya rasa syukur.

 

Usaha Kecil, Mimpi Besar

Dompet mahasiswa itu ibarat hati orang jatuh cinta: tipis tapi berani. Jadi kami mulai usaha kecil-kecilan. Jual jam tangan, pembatas buku, hampir saja jual parfum—yang akhirnya batal karena modalnya habis buat makan bakso.

“Capek gak sih?” tanyaku suatu sore.
Renny menggeleng.
“Kita capek bareng, itu beda.”

Dia selalu punya kalimat sederhana yang nusuk.
“Kamu harus bisa mandiri, Nuck. Biar hidupmu gak digoyang angin.”

Dan aku tahu, itu bukan sekadar nasihat pacar. Itu doa. Itu harapan. Itu cinta yang ingin melihat pasangannya berdiri, bukan bersandar terus.

 

Di Balik Panggung, Ada Dia

Di kampus, aku dikenal sebagai aktivis. Ribut, sibuk, penuh agenda. Nama dipanggil ke sana-sini. Tepuk tangan datang dan pergi.

Tapi di balik semua itu, ada Renny.

Kalau aku mulai melayang karena pujian, dia tarik pelan.
“Nuck, jangan lupa makan.”
Kalau aku jatuh karena konflik, dia angkat tanpa ceramah.
“Capek ya? Duduk dulu.”

Kami bukan pasangan sempurna. Kami sering beda pendapat. Aku keras, dia lembut. Aku spontan, dia terencana. Tapi justru di situlah kami saling mengisi.

Kami bukan sekadar jatuh cinta.
Kami belajar tumbuh bersama.

 

Cinta yang Membentuk Manusia

Sekarang, setelah waktu berjalan jauh, setelah hidup membawaku ke banyak panggung dan peran, aku mengerti satu hal: cinta yang baik itu bukan cuma bikin jantung deg-degan. Tapi bikin kita jadi manusia yang lebih layak.

Renny mengajarkanku mencintai dengan lembut tapi tegas.
Mencintai tanpa harus mengikat.
Mendukung tanpa harus memiliki.

“To love deeply in one direction makes us more loving in all others.”

Dan sampai hari ini, setiap kali lagu Titi DJ itu terdengar—di radio, di warung, atau entah di mana—aku masih bisa merasakan bisikan lembutnya di Malang yang dingin:

“Jangan berhenti mencintaiku…”

Terima kasih, Malang.
Terima kasih, Renny.

Untuk cinta yang mungkin tak lagi berjalan searah,
tapi tak pernah benar-benar usai.


lanjut baca klik link : 28 - CINTA, SKRIPSI, DAN PERJUANGAN MUDA DI KOTA MALANG  

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN