27 - SEPENGGAL KISAH DI BALIK LAYAR KETUA SENAT
Malang selalu punya cara sendiri untuk membuat orang jatuh
cinta—bukan dengan kemewahan, tapi dengan udara dingin yang jujur, kabut pagi
yang malu-malu, dan ritme hidup yang pelan tapi dalam. Di kota inilah, jauh
sebelum namaku sering dipanggil lewat pengeras suara sidang senat, sebelum jas
almamater terasa berat oleh tanggung jawab, aku belajar satu hal paling
mendasar: bagaimana mencintai dan dicintai tanpa banyak gaya.
Dan semua itu bermula dari seorang gadis bernama Renny.
Renny bukan tipe yang datang dengan dentuman. Ia hadir seperti
lagu yang diputar pelan di walkman—awalnya nyaris tak terdengar, tapi lama-lama
meresap ke tulang. Setiap pagi aku melihatnya melintas di halaman kampus,
langkahnya kecil, rapi, seolah takut mengganggu dunia. Senyumnya lembut, bukan
senyum pamer kebahagiaan, tapi senyum orang yang berdamai dengan hidup.
Entah kenapa, sejak hari itu, dunia terasa diputar dalam mode slow
motion. Motor lewat jadi lebih pelan, langkah mahasiswa lain jadi samar, dan
aku—yang biasanya ribut, sok tahu, dan sok kuat—mendadak jadi manusia biasa
yang cuma ingin duduk lebih lama di bangku taman kampus.
Kuliner Murah, Dompet Tipis, Hati Bahagia
Kami bukan pasangan kafe estetik. Jangankan latte art, uang buat
es teh manis saja kadang harus mikir dua kali. Tapi justru di situlah
romantisnya.
Pecel Kawi adalah sarapan paling mewah yang pernah kami punya.
Daun pisang, sambal kacang, dan tempe goreng yang rasanya seperti doa orang
sabar.
Rawon Brintik adalah tempat curhat paling sakral. Di sana, aku
cerita soal tekanan organisasi, soal konflik, soal lelah yang gak bisa aku bagi
ke siapa pun. Renny cuma mendengarkan. Kadang menimpali, kadang diam. Tapi
diamnya itu bukan kosong. Diamnya penuh.
Dan kalau malam benar-benar dingin, kami ke Pulosari. Jagung bakar
jadi saksi obrolan yang tak pernah selesai. Asap jagung, tawa kecil, dan tangan
yang saling menghangatkan—itu sudah lebih dari cukup.
Usaha Kecil, Mimpi Besar
Dompet mahasiswa itu ibarat hati orang jatuh cinta: tipis tapi
berani. Jadi kami mulai usaha kecil-kecilan. Jual jam tangan, pembatas buku,
hampir saja jual parfum—yang akhirnya batal karena modalnya habis buat makan
bakso.
Dan aku tahu, itu bukan sekadar nasihat pacar. Itu doa. Itu
harapan. Itu cinta yang ingin melihat pasangannya berdiri, bukan bersandar
terus.
Di Balik Panggung, Ada Dia
Di kampus, aku dikenal sebagai aktivis. Ribut, sibuk, penuh
agenda. Nama dipanggil ke sana-sini. Tepuk tangan datang dan pergi.
Tapi di balik semua itu, ada Renny.
Kami bukan pasangan sempurna. Kami sering beda pendapat. Aku
keras, dia lembut. Aku spontan, dia terencana. Tapi justru di situlah kami
saling mengisi.
Cinta yang Membentuk Manusia
Sekarang, setelah waktu berjalan jauh, setelah hidup membawaku ke
banyak panggung dan peran, aku mengerti satu hal: cinta yang baik itu bukan
cuma bikin jantung deg-degan. Tapi bikin kita jadi manusia yang lebih layak.
“To love deeply in one direction makes us more loving in all
others.”
Dan sampai hari ini, setiap kali lagu Titi DJ itu terdengar—di
radio, di warung, atau entah di mana—aku masih bisa merasakan bisikan lembutnya
di Malang yang dingin:
“Jangan berhenti mencintaiku…”
lanjut baca klik link : 28 - CINTA, SKRIPSI, DAN PERJUANGAN MUDA DI KOTA MALANG