40 - BELAJAR MENDENGAR, MENJAGA LANGIT
Malam itu, suara jam dinding terdengar lebih lantang dari
biasanya. Tiktaknya seperti sedang mengingatkanku, “Bro, belajar dengerin…
jangan cuma ngomong.”
Renny duduk di sofa, rambutnya digulung seadanya, wajahnya letih tapi tetap
cantik dalam caranya sendiri. Aku pulang agak malam karena revisi dari klien
yang—entahlah—kalau bisa minta warna merah jadi warna sabar, mereka pasti minta
itu juga.
Dan entah kenapa, dulu aku selalu panik kalau dengar kalimat itu.
Rasanya kayak sinyal “Ayo kasih solusi cepat, Nuck!” Padahal ternyata yang dia
mau cuma ditemani. Di-dengerin. Mungkin ditanyain, “Mau teh hangat?” Bukannya
dikuliahi: “Harusnya kamu begini, harusnya kamu begitu.”
Jadi aku duduk, pelan, nyender dikit ke sandaran sofa.
“Cerita deh. Aku dengerin.”
Dia cerita panjang. Tentang kantor, tentang project yang stuck,
tentang orang-orang yang tricky, tentang tubuhnya yang capek tapi otaknya susah
berhenti. Dan aku cuma angguk-angguk, sesekali bilang, “Hmm… ya ya… ngerti.”
Dan ajaibnya, dia tersenyum.
Kadang rumah nggak butuh solusi cepet. Butuh pelukan. Butuh jeda.
Butuh ruang aman untuk jujur tanpa takut dihakimi.
Aku belajar itu pelan-pelan. Sakit-sakit, tapi manis.
Menjadi Teman Seperjalanan
Paginya, kami sudah kembali jadi dua makhluk profesional di kantor
yang sama. Meeting bareng. Revisi bareng. Debat sehat bareng. Semua “Nucky…”
dan “Rennyy…” berubah jadi “Mas Nucky” dan “Bu Renny,” lengkap dengan intonasi
formal yang bikin orang-orang nggak tahu kalau jam 5 pagi tadi kami berebut
selimut dan aku kalah telak.
Susah? Ya pasti.
“Ayah,” kata Renny suatu malam, “aku bersyukur kita bisa saling
jadi temen seperjalanan. Bukan bos-bos-an.”
Aku cuma senyum. Karena jujur, aku seneng juga punya istri yang
bukan cuma pintar dan keras kepala, tapi juga mau jalan bareng… meski kadang
beda ritme.
Menjaga Langit Rumah
Rumah kami tidak besar. Tapi langitnya… itu yang selalu ingin aku
jaga.
Aku percaya betul bahwa rezeki bukan cuma hasil kerja keras
tangan, tapi hasil doa yang naik dari sajadah. Bahwa rumah bisa saja rapi,
tetapi kosong, jika tidak ada nilai yang menahannya tetap hangat.
Jadi kami berusaha:
“Ayah, kamu serius banget ya soal beginian,” kata Renny suatu
kali.
Aku ketawa kecil, “Ya… kalau kita jaga rumah pake tangan, bisa
roboh. Tapi kalau dijaga pake doa, Allah ikut ngejaga.”
Dan anehnya, tiap kali kami duduk bareng habis salat, rasanya
beban hidup turun satu tingkat. Dunia lebih ringan. Rezeki lebih adem. Dan
cinta… terasa jauh lebih tahan banting.
Nara Dan Cermin Kecil Itu
Anak kecil itu, Nara, tumbuh seperti waktu—nggak pernah nunggu
kita siap.
Betapa ajaibnya… anak kecil justru yang membuat ayahnya tumbuh.
Lelaki Sejati? Bukan Yang Paling Berisik
Aku dulu pikir lelaki itu harus kuat. Harus tegas. Harus punya
suara paling keras di rumah.
Ternyata aku salah total.
Lelaki yang kuat bukan yang paling lantang. Tapi yang berani
menangis dalam doa malamnya. Yang berani bilang maaf duluan. Yang berani nahan
ego, meski benar. Yang berani berusaha memperbaiki diri sebelum minta orang
lain berubah.
Kadang kejantanan itu tidak muncul dalam suara. Tapi dalam
keheningan. Dalam pilihan diam. Dalam menahan diri.
Rumah: Titik Awal Menuju Surga
Ada masa ketika aku mengira rumah itu cuma tempat pulang. Tempat
tidur. Tempat duduk santai sambil minum teh.
Sekarang aku tahu rumah lebih dari itu.
“Mas… kamu tau nggak,” kata Renny pelan suatu malam, “aku bahagia
hidup sama kamu.”
Gila ya. Perempuan itu selalu bisa bikin jantungku jungkir balik,
bahkan setelah bertahun-tahun.
Menjemput Rezeki, Bukan Menunggu
Dalam dunia branding, aku belajar keras bahwa rezeki tidak datang
dengan diam. Ia dijemput. Ditagih. Dikejar. Bukan dengan serakah, tapi dengan
niat yang kokoh.
Jawa Ad mengajarkanku banyak hal tentang itu.
“Kalau kita nggak niatin setiap project pake hati, hasilnya cuma
dekorasi,” aku sering bilang ke tim.
Klien butuh cerita. Bukan kosmetik.
Dan aku percaya, karya yang lahir dari ketulusan… pasti sampai ke
hati orang. Itu hukum alam.
Fokus: Ilmu Paling Jitu Dalam Bisnis
Branding Sebagai Jalan Dakwah
Ini bagian yang paling menyentuh untukku.
Masya Allah… siapa sangka dunia advertising bisa jadi ladang
dakwah?
Rezeki Sejati: Yang Kita Berikan
Rezeki itu aneh.
Hidup Ini Bukan Tentang Aku Lagi
Waktu masih bujang, semua ambisiku tentang “aku”.
Aku ingin rumah yang tetap berdiri, bahkan setelah aku tidak ada.
Catatanku selalu sama:
lanjut baca klik link : 41 - MENIKMATI PROSES PERUBAHAN - LANGKAH KECIL YANG MENGAJARIKU MENDEWASA