35 - JALAN MENUJU IJAB, MEMINANG CINTA : CINTA YANG DIPERJUANGKAN SEPENUH HATI

 



Ada satu momen dalam hidup laki-laki yang rasanya mirip ujian akhir—bukan yang pakai kertas, tapi yang bikin keringat dingin keluar dari tempat-tempat aneh: saat meminang perempuan yang benar-benar ia perjuangkan. Setelah semua LDR yang penuh rindu absurd, perjuangan ekonomi yang naik-turun bagai grafik saham tidak stabil, sidang skripsi yang hampir membuatku bertapa di pura, hingga badai tawa dan sesekali air mata… semua akhirnya berhenti di titik ini: aku siap melamar Renny.

Dan kalau hidup adalah film, maka hari itu adalah adegan slow-motion: aku membuka pembicaraan lamaran di meja keluarga dengan suara mantap tapi entah kenapa dengkulku goyang kayak kena bass konser metal.

 

Diskusi Keluarga: Antara Doa, Cemas, dan Perhitungan Biaya

Ruang keluarga kami sore itu hangat. Papa duduk dengan gaya khasnya: tegap, kalem, seperti sedang membaca laporan perusahaan. Mama tersenyum, tapi matanya itu… tahu-tahu sudah kayak X-ray yang sedang menilai kesiapan mental anak sulungnya.

Aku membuka suara.

“Pa, Ma… aku siap meminang Renny.”

Hening sesaat. Dimas, adikku, menoleh pelan. Papa menatapku seperti sedang mengevaluasi kualitas produk sebelum rilis. Tapi wajahnya kemudian melembut, sementara Mama langsung mengangguk pelan dan tersenyum.

Dan seperti keluarga normal yang tetap membumi, percakapan sakral itu tak lepas dari kalimat:

“Sudah siap mental?”
“Sudah siap masa depan?”
“Dan… sudah siap biayanya?”

Aku menarik napas panjang. “Siap, Pa. InsyaAllah.”

Diputuskanlah bahwa Pakde So, kakak tertua Papa—lelaki madurais lembut dengan humor yang selalu datang tanpa aba-aba—akan menjadi juru bicara keluarga dalam proses lamaran nanti.

Kalau diplomasi itu seni, maka Pakde So adalah maestro-nya.

 

Rombongan Cinta Menuju Mojokerto

Hari lamaran akhirnya datang juga.

Kami berangkat dari rumah Om Nunung di Sidoarjo, rombongan kecil tapi penuh doa. Ada Mbak Santi dan Mas Wahyu, pasangan yang selalu hadir tanpa banyak bicara tapi terasa sekali dukungannya.

“Siap, Nuck?” tanya Om Nunung waktu aku naik mobil.

“Siap, Om. Kadang pengen kabur sih… tapi siap.”
Tawa pun pecah.

Kami menyebut Mojokerto sebagai “Moker,” dan entah kenapa nama itu membuat perjalanan terasa seperti misi khusus tim kecil yang hendak menyelamatkan dunia.

Sesampainya di rumah keluarga Renny… suasananya langsung hangat dan… berwarna. Beneran berwarna.

Karena latar belakang keluarga Mamanya Renny adalah keturunan India asli.
Gaya bicara mereka lembut tapi penuh wibawa, aroma rempah-rempah India memenuhi rumah, dan senyum mereka itu… manis sekali.

Suasana lamaran terasa seperti film keluarga Bollywood versi Jawa-Bali, tapi tanpa adegan menari mengelilingi pohon mangga.

 

Pakde So, Diplomasi Cinta, dan Lamaran yang Sah

Ketika suasana sudah cair, Pakde So berdiri.
Caranya bicara itu… MasyaAllah. Halus, penuh karisma, tapi tetap humoris.

“Begini… kami datang membawa niat baik. Mas Nucky ini…,” katanya sambil melirikku dan senyum kecil muncul di bibirnya, “ingin meminang Renny sebagai calon istri, insyaAllah. Ini anak baik, tapi ya kadang keras kepala.”

Seluruh ruangan tertawa. Termasuk aku.

Pakde memperkenalkan satu per satu keluargaku—sampai pada detail yang bahkan aku sendiri lupa.
Keluarga Renny lalu membalas dengan sambutan yang tak kalah hangat.

Diskusi berjalan lama tapi ringan. Seperti dua keluarga yang sejak dulu memang berjodoh.
Dan akhirnya disepakati:

Pernikahan akan berlangsung pada Juni 2002.

Seolah ada beban besar turun dari pundakku… diganti dengan harapan besar yang mulai tumbuh.

 

Paratha, Cinta, dan Sebuah Restu

Lamaran ditutup dengan suguhan paratha khas keluarga India.

Itu pertama kalinya aku mencicipi paratha.

Dan entah kenapa… rasanya seperti roti yang diselimuti doa.
Mungkin karena sedang jatuh cinta.
Atau mungkin karena ini makanan pertama yang kusantap setelah secara resmi meminang perempuan yang akan jadi istriku.

Toh tetap saja… malam itu paratha terasa seperti simbol restu.

 

Akhir Penantian, Awal Pengabdian

Satu tahun menuju nikah itu… MasyaAllah panjangnya.
Kadang manis, kadang rindu datang sebagai pedang… kadang kami berdua sama-sama lelah tapi tetap saling genggam.

Aku bekerja keras di Surftime Magazine.
Renny menyelesaikan kuliahnya, membangun kariernya sendiri.

Kami menabung.
Sedikit demi sedikit.
Kadang pakai doa lebih banyak daripada uang.

Tapi kami saling mengingatkan:

“Yang penting bukan pestanya. Yang penting adalah janji yang kita ikrarkan di hadapan langit.”

 

Hari Bahagia: Juni 2002

Pagi itu Mojokerto terasa… berbeda.

Rumah keluarga Renny penuh dengan keluarga besar. Semua siap menyaksikan momen sakral itu. Aku duduk menghadapi penghulu, saksi di kanan-kiri, tangan dingin tapi hati hangat.

Kalimat ijab itu mengalir begitu indah.

Dan aku menjawabnya dengan seluruh jiwa:

Saya terima nikahnya Renny Setyawanti binti Jhony Sardjono…

Hening sejenak. Lalu para saksi serempak berkata:

“SAH!”

Aku tidak menangis.
Tapi dada ini seperti ada bendungan yang jebol.

Mama menangis.
Papa tersenyum sambil mengusap hidung (kebiasaan kalau menahan haru).
Dan aku tahu… hidupku resmi berubah.

Malamnya resepsi digelar.
Tak mewah, tapi hangat.
Tawa dan doa berseliweran.
Dan aku… resmi menjadi suami.
Renny… resmi menjadi istriku.

Dua hati.
Satu takdir.

 

Ngunduh Mantu Di Pulau Dewata

Beberapa minggu setelahnya, keluarga di Bali mengadakan acara ngunduh mantu.

Papa dan Mama begitu semangat.
Tetangga, sahabat, kolega—semua datang.

Janur kuning bergoyang pelan di halaman rumah.
Gamelan mengalun lembut.
Renny tampil cantik luar biasa dalam kebaya Jawa.
Aku memakai beskap, berusaha terlihat gagah meski perut deg-degan bukan main.

Acara berjalan hangat, penuh tawa dan restu.
Tidak ada kemewahan berlebih.
Tapi cinta itu terasa… sangat cukup.

Karena sesungguhnya, kebahagiaan itu bukan soal pesta besar…
melainkan soal rasa syukur yang tumbuh dari hati yang tulus.

 

CATATAN NUCKY : Cinta sejati bukanlah garis akhir… tapi keberanian untuk berjalan bersama ke masa depan. Pernikahan bukan sekadar status, tapi pengabdian dua jiwa yang memutuskan untuk saling memilih—setiap hari, sepanjang usia.

 



Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN