73 - PULANG UNTUK BELAJAR HIDUP LAGI
Hidup itu aneh. Kadang dia mendorong kita lari
sekencang-kencangnya mengejar mimpi, kadang dia menampar kita pelan—lalu
menampar lagi—sampai kita sadar, yang paling kita butuhkan bukan tujuan jauh,
tapi tempat untuk pulang.
Pagi-pagi di Malang setelah semua badai itu, rumah terasa seperti
ruang tunggu yang terlalu lama. Sunyi, dingin, dan setiap sudutnya seperti
punya mata—mengawasi, mengingatkan. Aku duduk di sofa dengan secangkir kopi
yang sudah keburu dingin. Bukan karena lupa diminum, tapi karena pikiranku
melayang ke mana-mana. Kopi pahit itu jadi saksi bisu betapa hidupku sedang
pahit-pahitnya. Bedanya, kopi bisa kutambah gula. Hidup? Nggak semudah itu,
Bro.
Papa dan Mama masih di Bali. Setiap pagi mereka berjalan ke makam
Dimas. Ritual kecil yang menyayat, tapi entah kenapa juga menguatkan. Aku bisa
membayangkan Papa melangkah pelan, tangan di belakang, pura-pura kuat. Mama
pasti lebih jujur—air mata duluan yang jalan.
Dan aku? Aku di sini, di Malang, berusaha kelihatan waras.
Padahal, jujur saja, kepalaku seperti terminal bus di musim mudik.
Riuh. Penuh pikiran datang dan pergi tanpa tiket.
Kadang, di sela keheningan, kepalaku iseng muterin lagu-lagu lama.
Whitney Houston, Carole King, sampai lagu Indonesia yang liriknya terlalu jujur
buat hati yang lagi rapuh. Yang bikin sial, semua lagu itu seolah punya satu
misi: bikin aku makin mellow.
Beginilah hidup. Kadang iman naik, kadang iman kepleset. Seperti
sinyal HP di daerah pegunungan—kadang full bar, kadang cuma muncul tulisan No
Service.
Keputusan untuk kembali ke Bali sebenarnya lahir bukan dari
kepala, tapi dari dada. Dadaku sudah terlalu penuh. Kalau dipaksa nambah beban
lagi, takutnya meledak. Dan kalau aku meledak lagi, entah siapa yang akan jadi
korban berikutnya.
Aku masih ingat jelas malam sebelum berangkat. Aku berkemas dengan
gerakan seadanya. Baju masuk tas, charger, buku catatan kecil—buku yang isinya
lebih banyak keluhan hidup daripada catatan inspiratif. Sempat terlintas
pikiran konyol:
“Ini aku mau pulang atau mau kabur sih?”
Jawabannya jujur: dua-duanya.
Kabur dari kegagalan, pulang ke cinta.
Bus malam melaju meninggalkan Malang. Kursi penumpang dingin,
AC-nya keterlaluan. Aku melipat jaket, mencoba tidur. Gagal. Mataku terpejam,
tapi pikiranku terus menyala.
Aku tertawa kecil sendiri. Humor receh memang sering jadi
penyelamat terakhirku. Kalau nggak bisa tertawa, bisa gila beneran.
Di tengah perjalanan itu, aku berdoa. Bukan doa yang puitis. Doa
paling jujur yang pernah keluar dari mulutku:
“Ya Allah… aku capek. Kalau aku salah, tolong benerin. Kalau aku
jatuh, jangan biarin aku sendirian.”
Tidak ada petir, tidak ada suara dari langit. Tapi entah kenapa
dadaku terasa sedikit lebih longgar.
Sesampainya di Bali, pagi menyambutku dengan cahaya yang lembut.
Tidak heboh, tidak dramatis. Seperti pelukan orang tua yang tidak banyak
bicara, tapi hangatnya terasa sampai tulang.
Mama langsung memelukku. Pelukan itu lama. Terlalu lama untuk
sekadar rindu biasa. Aku tahu, Mama sedang “menitipkan” dukanya di bahuku.
Papa berdiri agak jauh. Senyumnya tipis. Senyum laki-laki yang
tidak ingin terlihat rapuh. Aku mendekat, memeluknya. Papa menepuk punggungku
pelan. Tepukan itu seperti berkata, kita sama-sama hancur, tapi kita masih
berdiri.
Hari-hari di Bali berjalan pelan. Tidak ada target. Tidak ada
deadline. Tidak ada rapat. Yang ada hanya rutinitas sederhana: bangun pagi,
sarapan, ke makam Dimas, pulang, makan siang, duduk, diam.
Anehnya, justru di situlah aku belajar lagi tentang hidup.
Mama masih sering lupa. Kadang menyiapkan piring lebih. Kadang
memanggil nama Dimas refleks. Papa biasanya cuma menarik napas panjang, lalu
mengalihkan topik. Aku belajar satu hal: duka tidak selalu berbentuk tangisan.
Kadang dia muncul dalam kebiasaan kecil yang tak sempat mati.
Suatu sore, aku duduk di beranda. Papa duduk di sampingku. Lama
kami diam. Akhirnya Papa bicara duluan.
Aku terdiam. Kalimat sederhana, tapi nusuk.
Di malam-malam sunyi, aku sering ngobrol sendiri dengan Dimas.
Bukan karena gila—atau mungkin sedikit.
“Dim… aku masih belajar, ya. Belajar jadi kuat tanpa kamu. Berat
sih. Tapi aku coba.”
Angin malam Bali menjawab dengan sepoi-sepoi. Entah itu jawaban
atau cuma angin, aku terima saja sebagai tanda bahwa hidup masih berjalan.
Aku mulai sadar, kehidupan yang sebenarnya bukan tentang selalu
kuat. Bukan tentang selalu benar. Tapi tentang mau kembali berdiri, meski
tertatih. Tentang pulang, meski hati masih berdarah.
Aku memang kehilangan banyak. Istri. Adik. Rumah tangga yang
retak. Diri yang sempat hancur.
Tapi aku juga masih punya banyak: Papa. Mama. Anak-anak. Dayana.
Dan satu hal penting yang hampir hilang—harapanku sendiri.
Dan malam itu, di bawah langit Bali yang penuh bintang, aku
berjanji pelan pada diriku sendiri:
“Aku akan hidup. Tidak sempurna. Tidak hebat. Tapi jujur. Untuk
mereka yang sudah pergi… dan untuk mereka yang masih bertahan bersamaku.”
Karena mungkin, begitulah cara terbaik menghormati yang telah
tiada—dengan terus hidup, sebaik yang kita bisa.
CATATAN NUCKY:Hidup tidak
pernah kembali sama setelah kehilangan besar. Tapi di antara reruntuhan, selalu
ada jalan kecil untuk melangkah. Pulang bukan tanda menyerah—pulang adalah cara
jiwa mengisi ulang tenaga, sebelum kembali belajar hidup, sekali lagi.
lanjut baca klik link : 74 - LINGKARAN LENGEH BUAH/STUPID FRUIT-SF: PERSAHABATAN PALING UNIK YANG PALING MENYEMBUHKAN HATI DAN JIWA