64 - KETIKA DUNIA TERHENTI, KITA JUSTRU BERJALAN


 




Pagi itu Malang terasa seperti lembar buku yang belum ditulis—sunyi, segar, tapi juga menyimpan teka-teki. Di luar, kabut tipis turun pelan, seperti tirai lembut yang menyembunyikan masa depan. Di dalam rumah, aku mendengar suara yang sudah beberapa hari terakhir menjadi sumber kekuatan kecil di dada.

Ayah… bangun. Tehnya sudah jadi. Jangan cuma ide yang panas, tubuhnya juga harus hangat.

Aku menoleh.
Wulan berdiri dengan senyum tipis, rambut berantakan seperti awan pagi, dan secangkir teh hangat di tangannya. Dia menyodorkan teh itu dengan gaya seperti perawat mau memberikan obat ke pasien paling bandel se-Indonesia.

Aku menerima teh itu sambil tersenyum.
“Terima kasih, Bunda. Kamu itu kayak malaikat yang diturunin buat ngawasin aku biar nggak nyerah.”

Dia duduk di sampingku.
“Justru Ayah ini malaikat yang suka lupa makan.”

Aku tertawa. “Nggak usah naik-naikin aku ke langit, nanti jatuh, sakit.”

Wulan memukul pundakku pelan.
“Sudah siap perang hari ini?”

Aku menarik napas dalam.
Perang.
Ya, hari ini rasanya benar-benar seperti itu.

Laptop tuaku menyala dengan semangat yang lebih besar dari kipas pendinginnya. Slide demi slide tentang BCC 2.0 memenuhi layar. Aku sudah menyiapkan konsep, catatan, dan rencana. Covid menghancurkan banyak hal dalam hidupku, tapi entah bagaimana… rasa hancur itu malah membuatku ingin membangun sesuatu dari awal.

Seperti ada suara dalam hati yang bilang:

“Pandemi ini bukan kutukan. Ini pemicu. Trigger. Kesempatan untuk lahir ulang.”

 

Covid dan Jendela itu

Bulan-bulan awal pandemi adalah masa paling absurd dalam hidupku. Dunia berhenti, tapi kecemasan jalan terus. Kantor runtuh, bisnis terdampak, tabungan perlahan menipis. Aku sempat merasa seperti kapal yang kehilangan kompas.

Tapi anehnya, justru dalam masa itu aku menemukan sesuatu yang sudah lama hilang: keheningan. Ruang untuk bertanya. Ruang untuk mendengar suara Tuhan di antara celah-celah hati yang rapuh.

Suatu malam, ketika kami duduk berdua, Wulan berkata pelan:

Ayah… mungkin pandemi ini sebenarnya bukan tentang kehilangan. Tapi tentang menemukan. Menemukan kembali arah kita. Menemukan kembali tujuan yang pernah hilang.

Aku menatapnya lama.
“Bun… kamu ini kalau ceramah bisa bikin Ustaz cemburu.”

Dia tertawa.
“Ya nggak lah. Aku cuma istri yang pengen suaminya berdiri lagi.”

Dan kalimat itu… entah kenapa seperti listrik yang menyetrum seluruh tulang.

 

Pertemuan Arah Baru

Sore itu, aku bertemu Yudha dan Danang secara online. Kami bertiga sudah seperti sahabat yang lama nggak bertemu tapi langsung sambung begitu saja.

“Bro, kelihatan kamu makin hidup,” kata Yudha.

Aku tersenyum. “Iya. Setelah hampir kering.”

Danang nyeletuk, “Jangan kayak pohon kena kemarau, Bro. Disiram dulu sama Bunda.”

Aku menahan tawa. “Danang, mulutmu itu kadang ibadah, kadang dosa.”

Tapi setelah canda itu lewat, pembicaraan serius dimulai.

“Covid ini ngacak-ngacak hidup banyak orang,” kata Yudha. “Tapi justru karena itu, ada ruang kosong yang bisa kita isi.”

Danang menambahkan, “Kita bisa bangun BCC bukan cuma sebagai bisnis, tapi sebagai pergerakan. Ruang aman buat UMKM, buat anak muda, buat survivor pandemi.”

Aku memejamkan mata sejenak.
Di dalam kepala, puzzle yang selama ini tercerai-berai tiba-tiba menyatu.

“Teman-teman… kalau kita mau bangkit, ayo kita bangkit bersama. Bukan cuma #BangkitNucky, tapi #BangkitSemua.”

Yudha tersenyum lebar.
“Begitu dong. Inilah Ayah yang kami kenal.”

Aku menatap layar.
“Jangan panggil aku Ayah. Nanti aku baper.”

Danang: “Ya udah, panggilnya Daddy aja.”

“Astaghfirullah, Danang…”

Kami tertawa sampai koneksi Zoom sempat macet.

 

Momentum Tersulit, Doa Terindah

Beberapa hari setelah pertemuan itu, sebuah telepon datang dari HRD kantorku. Suaranya dingin, biasa, prosedural.

“Maaf, Ayah Nucky… perusahaan tidak bisa menerima kembali dalam struktur pasca-pandemi.”

Setelah telepon ditutup, aku hanya duduk. Diam. Seakan hidup menahan nafasku sendiri.

Tapi saat aku masuk rumah, Wulan langsung tahu sesuatu terjadi.

Ayah… sini. Cerita.

Aku pun menceritakan semuanya.

Dia menatapku lama, lalu berkata pelan, hangat, seperti selimut yang menutup luka:

Ayah… kalau satu pintu ditutup, itu bukan hukuman. Itu petunjuk. Allah sedang mengarahkan Ayah ke pintu lain.

Aku menunduk.
Air mata jatuh.
Untuk pertama kali setelah sekian lama.

Wulan memelukku.
Ayah nggak sendirian. Aku di sini. Kita bangkit bareng.

Saat itu rasanya dunia hancur… tapi juga dunia baru lahir.

 

Humor Penghilang Luka

Malam itu, setelah drama air mata, suasana jadi canggung.

Wulan tiba-tiba berkata,
“Yah… besok kita makan apa? Ayah mau mie instan rasa perjuangan atau nasi goreng rasa harapan?”

Aku terbahak.
“Bunda… ini antara humor atau hinaan halus?”

“Humor dooong. Mana berani aku hina Ayah. Nanti tidur di luar.”

Aku menjawab, “Tidur di luar pun aku rela, asal sebelahan sama Bunda.”

Wulan menutup wajah.
“Ayah… gombal lagi.”

Aku menjawab, “Biar Bunda ingat kalau Ayah ini masih manusia, bukan file PDF.”

Kami tertawa lagi.
Tawa itu yang membuat luka tidak terlalu perih.

 

Legenda BCC Lahir Lagi

Hari-hari berikutnya, BCC dibangun dari nol. Dari rumah kecil itu. Dari kertas-kertas. Dari Zoom-zoom penuh ide. Dari keyakinan yang kadang naik turun.

Di ruang tamu, aku nulis konsep.
Di dapur, Wulan bikin teh dan gorengan.

Sesekali dia mendekat dan membaca catatan.

“Yah… ini programnya keren. Tapi coba tambahkan kelas spiritual entrepreneur. Biar orang bangun bisnis pakai hati.”

Aku menggaruk kepala.
“Bunda ini diam-diam CEO ya?”

“Bukan. COE.”

“COE apaan?”

“Chief of Everything. Termasuk semangat Ayah.”

Dan dari situ aku tahu:

BCC 2.0 bukan cuma kebangkitan bisnis.
Tapi kebangkitan hidup.

Kebangkitan cinta.
Kebangkitan iman.
Kebangkitan keluarga.

 

Ketika Kita Jalan, Langit Ikut Terbuka

Di suatu pagi yang cerah, setelah semua konsep rapi, aku keluar rumah dan menatap langit Malang yang biru tanpa dosa.

Dalam hati aku berkata:

“Ya Allah, Engkau patahkan banyak hal. Tapi kini Engkau tumbuhkan yang lebih besar. Aku siap.”

Aku masuk rumah dan berkata pada Wulan:

Bunda… mulai hari ini, kita bukan cuma bertahan. Kita bangkit. Kita berlari. Kita jadi cahaya.

Wulan tersenyum, mengangguk, dan menjawab pelan:

Iya, Ayah… mari kita bangkit bersama.

Dan itulah momen aku sadar:

Covid mungkin menghancurkan dunia.

Tapi justru di titik itulah kami menemukan dunia baru.

Dan dari sebuah ruang tamu kecil di Malang…

BCC kembali menyala.
Dan Ayah—aku—akhirnya hidup lagi.

Aku menarik napas pelan sebelum menjawab pertanyaan yang Wulan ulangi untuk kesekian kalinya sore itu—pertanyaan yang seperti menempel di langit-langit rumah kontrakan kami yang sempit, tapi hangat.

“Ayah…”
Suaranya lirih, penuh sayang, penuh ragu yang ia sembunyikan dengan sangat buruk.

Aku menoleh. “Iya, Lan?”

“Apa… rencana Ayah? Maksudku… setelah semua yang terjadi ini…”

Ia menatapku dengan mata yang selalu berhasil merontokkan ego-ego kecilku, mata yang tahu cara melihat luka tanpa menghakimi, dan melihat potensi tanpa menuntut.

Aku tersenyum tipis. “Rencana Ayah? Hmm… hidup lagi dulu.”

Wulan menertawakanku sambil menepuk lenganku.
“Serius, Ayah.”

Aku memandang jauh ke luar jendela. Jalanan sepi. Angin sore membawa hawa takut—takut tertular, takut kehilangan pekerjaan, takut kehilangan masa depan, takut kehilangan satu sama lain. COVID bukan cuma wabah, tapi cermin besar yang memperlihatkan versi kita paling rapuh.

Tapi justru di situlah percikan pertama BCC muncul.

“Ayah masih kepikiran Black Canyon?” tanya Wulan pelan.

Aku menghela napas panjang, seperti baru saja menurunkan tumpukan beban yang aku pikul di pundak sejak pandemi mulai menggerogoti segalanya.

“Jujur, Lan… iya. Ada sedihnya. Ada malunya. Ada kecewanya. Tapi…”
Aku memandangnya dalam-dalam.
“…tapi Ayah tidak mau berhenti di situ.”

Wulan membenarkan duduknya. “Lalu?”

“Ayah mau mulai sesuatu. Baru. Bukan sekadar bisnis… tapi perjalanan. Cruise.”

Wulan berkedip cepat. “Cruise? Ayah… kita ini lagi pandemi. Orang takut keluar rumah, apalagi naik kapal.”

Aku tersenyum nakal. “Makanya nanti… kalau pandemi selesai.”

Wulan kembali terdiam, tapi senyumnya muncul sedikit demi sedikit. “Berarti Ayah mau mulai lagi?”

“Ayah harus.”
Kali ini aku bicara lebih tegas.
“Kalau Ayah berhenti sekarang, berarti pandemi menang. Ayah nggak mau kalah sama sesuatu yang bahkan nggak bisa dilihat pakai mata.”

Wulan mengangguk pelan. “Tapi kita mulai dari mana? Tabungan tinggal sedikit. Kontrakan aja… kadang kita tunggu Ayah transfer dulu baru bayar.”

Aku menatap wajahnya.
Ada perih kecil ketika ia menyebut itu—perih lelaki yang ingin kuat tapi tetap manusia.

Aku mengusap rambutnya.
“Ayah selalu percaya, Lan…
Allah nggak pernah salah nulis takdir.”

Wulan menunduk. Ada air bening menetes perlahan.
“Lan juga percaya…” bisiknya.

Kami terdiam. Tapi itu bukan hening yang menakutkan.
Itu hening yang menguatkan.

Lalu…
Aku bangkit.

Wulan memandangku bingung. “Ayah mau ke mana?”

“Mandi.”
Aku jawab mantap.

“Lho? Tadi ngomongin masa depan… tiba-tiba mandi?”

Aku tertawa.
“Karena semua rencana besar dimulai dari orang yang—setidaknya—wangi.”

Wulan melempar bantal ke arahku sambil tertawa kecil. “Ayah ini ya…”

Sebelum masuk kamar mandi, aku berhenti sejenak, menatap Wulan.

“Oiya Lan… mulai besok, Ayah mau bikin jadwal. Jam tahajud, jam nulis rencana bisnis, jam cari relasi, jam ngulik strategi. Kita mulai dari yang Ayah bisa.”

Wulan tersenyum, kali ini lebih lebar. “Kalau begitu… Lan juga akan bikin jadwal: jam nyiapin teh, jam nyiapin roti, jam nunggu Ayah selesai ngelamun terus pura-pura produktif.”

Aku mendecak. “Ehhh… Ayah ini produktif beneran!”

“Produktif mikirin hal-hal random!”
Ia tertawa lagi.

Tawanya menghangatkan ruang tamu kami yang kecil itu—ruang yang menjadi saksi bagaimana dua manusia biasa saling menopang di masa paling tidak biasa.

 

Malam itu, setelah isya, ketika rumah sudah tenang dan dunia seolah berhenti berputar, aku membuka laptop tua yang layarnya kalau digeser terlalu keras suka berubah jadi warna pelangi.

Aku mengetik satu halaman:

BCC Project – New Beginning

Bukan rencana besar.
Bukan proposal mewah.
Hanya satu langkah kecil.

Tapi langkah kecil adalah awal dari seribu perubahan.

Wulan duduk di sebelahku sambil membawa teh panas. Ia menyandarkan kepala ke bahuku.
“Ayah… kalau nanti BCC jadi besar… Ayah masih mau dengerin Lan ngomel?”

Aku mencium keningnya.
“Justru itu motornya.”

Wulan tersipu. “Ayah ini…”

“Ayah serius,” jawabku sambil menatap halaman kosong di layar.
“Dulu Ayah jatuh waktu sendirian. Sekarang Ayah bangkit waktu ada kamu.”

Wulan tak menjawab. Ia hanya memegang tanganku erat-erat.

Di luar, suara azan dari musala kecil di ujung gang tiba-tiba berkumandang, menggetarkan udara.

Aku memejamkan mata.
Dalam hati aku membaca doa kecil, doa yang lahir dari kerapuhan tapi penuh keyakinan:

اللهم افتح لي أبواب رحمتك
Allahummaftah lii abwaaba rahmatik
“Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.”

Aku menatap kembali layar laptop.
Mengetik kalimat pertama.
Lalu kalimat kedua.

Dan untuk pertama kalinya sejak pandemi meruntuhkan banyak hal dalam hidupku, aku merasa… bangkit itu bukan pilihan. Tapi kewajiban.

Wulan menggenggam tanganku lebih erat. “Ayah…”

“Hmm?”

“Ayah pasti bisa.”

Aku tersenyum tanpa menoleh. “Iya, Lan…
Karena kita… bangkit sama-sama.”


lanjut baca klik link : 65 -  BAU SPIRIT, BAU SEMANGAT, BAU MINYAK ANGIN 

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN