55 - PULANG DALAM PELUKAN YANG TAK TERLIHAT

 



Hari-hari di pertengahan 2013 itu seperti punya dua wajah—yang satu tersenyum manis, yang satu lagi menggigit pelan dari dalam. Dan aku, si aktor utama yang padahal cuma ingin jadi suami dan ayah normal, terseret di tengah-tengahnya.

Berawal dari pesan singkat itu…

Pesan Renny Yang Menggetarkan

Pagi itu, setelah rapat mendadak yang membuat otakku seperti habis digoreng dengan minyak oplosan, HP-ku bergetar pelan. Nama pengirimnya membuat jantungku seperti ikut jatuh dari meja.

Renny.

“Yahhh, aku pengin liburan bareng Namira ke Bali. Cuma aku dan dia.”

Aku terdiam. Tidak ada kalimat lanjutan. Tidak ada penjelasan. Tapi beratnya kalimat itu… ah, seperti amplop gaji yang isinya sudah dipotong koperasi, tapi masih jadi pegangan harapan.

Aku tahu motif sebenarnya bukan sekadar liburan. Ini bukan tentang pantai, mall, atau rujak kuah pindang—ini tentang seorang ibu yang ingin meninggalkan sesuatu. Kenangan.

Bukan kenangan rumah sakit.
Bukan kenangan selang infus.
Tapi kenangan tawa. Kenangan bahagia.

Dan Tuhan… betapa kalimat itu mengguncangku, karena aku tahu ia sedang balapan dengan waktu.

Masalahnya?

Aku tidak bisa ikut.

Roster kerja lagi ketat, proyek lagi panas, dan izin cutiku… ya, begitulah hidup karyawan di proyek besar—lebih sulit dari izin nembak anak gadis orang.

Tapi aku merestuinya.

Dengan seluruh hatiku.

Kadang cinta bukan soal hadir di samping seseorang, tapi memberi mereka keberanian untuk pergi menciptakan kebahagiaan… meski tanpa kita.

 

Rujak Kuah Pindang Dan Tawa Di Bali Galeria

Renny dan Namira akhirnya terbang ke Bali.

Mama mengirimkan foto. Aku melihat dua malaikat kecilku duduk di sudut food court Bali Galeria. Namira—rambut dikuncir dua—mengaduk mangkuk rujak kuah pindang sampai kuahnya tumpah kemana-mana. Renny tersenyum. Senyum yang kutahu sedang disembunyikan rasa lelah.

“Namira lahap banget, Yaaank. Katanya ini rujak terenak se-dunia,” tulis Renny.

Aku tertawa kecil.

Dua perempuan ini… kombo yang sempurna. Yang satu bawel dan ceria, yang satu lembut dan penuh cinta, tapi sama-sama keras kepala soal makanan.

Foto berikutnya membuat nafasku tertahan. Renny memeluk Namira erat. Namira tertawa—mata sipit, pipi kembung penuh kuah sambal.

Indah.
Murni.
Dan… pahit di dadaku.

Karena aku tahu Renny menahan sakit.

Karena aku tahu ia sedang memunguti serpihan tenaga untuk tersenyum sepanjang hari, demi satu tujuan: agar Namira punya kenangan indah tentang ibunya.

Aku memandangi foto itu lama sekali.

Tidak tahu kenapa, tapi ribuan kenangan muncul bersamaan: suara tawa Renny, aroma parfumnya, cara ia menyebut namaku, lalu cara ia menghela napas pelan ketika lelah datang.

Dan malam itu aku menangis dalam diam.

Tidak ada yang tahu. Hanya jendela kamar mess PLTU yang jadi saksinya.

 

Serpihan Liburan, Getaran Kalut

Tidak lama setelah foto-foto itu masuk, HP-ku kembali berdering.

Kali ini dari Papa.

“Nuck… kondisi Renny mulai sangat rentan. Mama sudah bicara sama Dokter Rama. Kita harus bawa Renny ketemu Dokter Didik. Ibu sudah ke Bali jemput Renny, terus langsung ke Malang. Doakan ya.”

Aku terpaku.

Siang yang panas berubah dingin. Dunia berputar pelan. Aku mendengar suara Papa, tapi pikiranku entah kemana. Hanya satu kalimat yang membekas:

Renny mulai sangat rentan.

Foto-foto liburan pun berubah makna. Tawa mereka terasa seperti jeda sebelum badai.

 

Batang, Kekalutan, Dan Foto Yang Menohok

Aku berusaha tetap profesional. Rapat. Susun strategi komunikasi. Urus warga. Tapi wajah orang-orang yang bicara di depanku berubah jadi blur kayak sinyal 2G. Yang ada hanya satu wajah di kepalaku: Renny.

Saat break, aku duduk di sudut mess, memandangi satu foto.

Renny memeluk Namira lama… seperti memeluk waktu yang takut hilang.

Aku menutup wajah.

“Ayoo Ren, bertahan ya… Aku ikut melawan dari jauh…”

 

Malam – Doa Yang Menggigil

Malam itu aku duduk di balkon mess.

Kopi dingin.
Hati panas.

Aku menengadah.

“Ya Rabb… kuatkan Renny. Jadikan liburan kecil itu vitamin untuk jiwanya.”

Kadang, doa adalah satu-satunya bentuk keberanian yang tersisa.

 

Pulang Yang Tak Pernah Sekadar Pulang

Kabar dari Malang makin serius.

Teman-teman di proyek mulai notice wajahku pucat seperti cat tembok yang salah campur.

“Nuck, kalau kamu butuh waktu, bilang. Kami back-up,” kata Pak Sutarto.

Aku diam. Suaraku pecah sendiri.

“Saya ini suami… tapi merasa cuma jadi penonton. Terkadang saya takut… saya ini imam yang gagal.”

Pak Sutarto menepuk pundakku.

“Kamu bertahan di sini demi keluarga. Itu tidak pernah gagal. Tapi sekarang… pulanglah.”

Malam itu juga, aku menulis email izin ke Ibu Ninik.

Paginya, balasan masuk:

“Segera berangkat. Fokus pada keluarga.”

Begitu sederhana. Tapi rasanya… seperti dunia kembali memberi jalan.

 

Perjalanan Pulang: Bus, Subuh, Dan Telepon Yang Menghancurkan

Tiket pesawat habis. Kereta penuh. Aku naik bus malam.

Kursinya miring permanen—entah rusak atau memang desainnya begitu. Bau kacang rebus bercampur parfum penumpang sebelah. Tapi tidak ada yang kupedulikan.

Di tengah perjalanan menuju Malang, HP-ku berdering.

Nama yang muncul hampir membuatku pingsan: Pak Rudy Deswandi.

Atasan paling keras di perusahaan.

“Ya Allah… ini jam berapa, kok beliau nelpon…?”

Begitu kuangkat, ledakan terjadi.

“Nucky! Siapa yang kasih kamu izin cuti?! Kau pikir kau siapa?! Site lagi genting!”

Beliau marah—super marah. Jika amarah bisa punya bentuk fisik, mungkin bus ini sudah kebakar.

Aku hanya diam.

Hingga akhirnya, di sela amarahnya, aku berkata pelan:

“Pak… istri saya sedang sekarat. Saya pulang bukan untuk lari. Saya… hanya ingin jadi suami.”

Sunyi.

Lalu suara beliau melembut.

“Nucky… maafkan saya. Ambil semua waktu yang kamu butuhkan…”

Tiba-tiba dadaku pecah.

Telepon itu berubah dari badai jadi pelukan. Dari ancaman jadi dukungan.

Kadang malaikat datang dalam bentuk yang aneh—seorang bos galak jam lima subuh.

 

Kamar Rumah Sakit – Pertemuan Yang Menggigilkan Hati

Di lobi RS Aisyiyah, Mama menyambutku.

"Renny nanya kamu terus…"

Langkahku berat saat menuju kamar VIP.

Begitu pintu dibuka, suara mesin medis menyambut… dan di sana, Renny.

Lebih kurus.
Lebih pucat.
Tapi senyumnya… masih sama.

“Ayah…” bisiknya.

"Aku pulang, Ren… Maaf aku telat."

Kami bicara lama. Tentang apa saja. Tentang tidak apa-apa. Tentang impian yang entah sempat atau tidak.

Ia tertawa kecil saat kuputarkan Qing Fei De Yi.

“Masih ingat lagunya ya?”

“Selalu.”

Karena lagu itu… adalah doa yang berlagu.

 

Namira Dan Tangisan Kecil Yang Bijak

Keesokan harinya, Namira datang membawa boneka kelinci.

“Mama kok sering tidur ya… kalau kupeluk, dingin…”

Renny menahan air mata.
Aku menahan diri untuk tidak pecah.

“Namira sayang… Mama capek… tapi bahagia bisa sama kamu.”

Namira mengecup pipi mamanya.

“Kalau Mama bangun… kita gambar lagi ya.”

Gadis kecil itu—lebih kuat dari banyak orang dewasa yang kutahu.

 

CATATAN NUCKY : Cinta sejati bukan tentang bisa hadir setiap saat. Tapi tentang keberanian untuk pulang di saat yang paling dibutuhkan… bahkan saat dunia mencoba menarikmu ke arah lain.

 

 

Pelukan Dari Langit

Pagi itu, saat aku keluar sebentar mengambil napas, aku mengingat seluruh perjalanan panjang ini—pesan singkat Renny, liburan Bali, rujak kuah pindang, bus malam, telepon subuh dari bos, dan momen ketika jemarinya akhirnya kembali dalam genggamanku.

Semua itu mengarah ke satu pelajaran:

Cinta adalah pulang.
Dan pulang… tidak selalu harus dengan kaki.
Kadang dengan doa.
Kadang dengan restu.
Kadang dengan keberanian untuk menangis di sisi orang yang kita cintai.

Dan di balik semua itu, aku merasa…

Renny memelukku lebih kuat dari sebelumnya.
Meski mungkin… pelukan itu sudah mulai tidak terlihat.



lanjut baca klik link : 56 - SAAT WAKTU ITU TIBA…RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  

Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN