72 - KEPEDIHAN ITU DATANG LAGI, DAN AKU BELAJAR BERDIRI
Siang itu sebenarnya siang yang biasa saja. Terlalu biasa, malah.
Pekerjaan numpuk, kepala panas, kopi sudah dingin tapi tetap diminum karena
sayang. Di layar laptop, angka-angka masih berlarian seperti anak TK yang habis
dikasih permen. Aku baru saja menarik napas lega setelah presentasi seleksi
Direksi BUMD Kota Malang. Badan capek, tapi hati lumayan puas.
Lalu HP-ku berdering.
Nama “Mama” muncul di layar.
Entah kenapa, jantungku langsung deg-degan. Bukan firasat sok
puitis, tapi lebih ke refleks hidup—kalau Mama nelpon di jam kerja begini,
biasanya bukan buat nanya, “Sudah makan belum?”
“Halo, Ma…”
Suara Mama di seberang terdengar berat. Bukan suara Mama yang
biasanya ceria meski sambil masak.
“Nuck… adikmu, Dimas, lagi sakit di Jakarta.”
Dada ini langsung kayak dipukul palu godam. Bukan satu kali.
Berkali-kali.
Mama cerita panjang, tentang Dimas yang sejak ke Surabaya buat
persiapan opening gerai BCC sering ngeluh perut dan lambungnya sakit. Aku
langsung nelpon Dimas.
“Dim, kamu gimana?”
Di seberang, suaranya sok santai. Sok kuat. Gaya khas dia sejak
kecil.
“Aman, Mas. Cuma masuk angin mahal.”
Masuk angin mahal versi Dimas ternyata ada benjolan di ginjal.
Aku langsung minta dia kirim hasil pemeriksaannya. Tanganku dingin
waktu nerima foto itu. Rasanya kayak baca rapor, tapi ini rapor hidup. Aku
hubungi Mbak Lisa, sepupuku yang dokter. Lalu Oom Adi, adik sepupu Papa yang
juga dokter spesialis penyakit dalam.
Keputusan itu langsung kusampaikan ke Mama Papa di Bali, ke Dimas,
dan ke Ika, istrinya. Syukurnya semua sepakat.
Tapi di dalam diriku… ada sesuatu yang bergetar.
Dejavu.
Luka lama yang belum sembuh, sekarang seperti dibuka lagi.
Kenangan Renny—alm. istriku—datang tanpa permisi. Bau rumah sakit, wajah pucat,
senyum dipaksakan. Semua itu kembali.
Dan seperti hidup yang hobi bercanda kelewatan, di saat yang sama
rumah tanggaku dengan Wulan juga lagi diuji. Cintanya besar, iya. Tapi
cemburunya juga kayak diskon akhir tahun—gede dan nggak pakai mikir.
Bisnis? Jangan ditanya. Lagi kayak kapal bocor di tengah laut.
Semua serasa di luar kendali.
Lengkap sudah paket “Ujian Hidup Level Expert”.
Tapi Allah itu Maha Baik. Selalu punya cara bikin kita tetap
waras.
Aku duduk. Diam. Lalu senyum.
“Alhamdulillah…”
Cuma itu yang keluar.
Mungkin ini cara Allah menegurku.
Beberapa minggu kemudian, Dimas dan Ika tiba di Malang. Aku jemput
di bandara. Wajahnya masih tersenyum, tapi matanya… aku kenal betul tatapan
itu. Tatapan orang yang capek menahan takut.
Hari-hari berikutnya seperti roda tanpa rem. Rumah sakit, diskusi
dokter, hasil lab, doa-doa panjang yang sering kali diucapkan tanpa suara.
Kami ketawa. Ketawa yang rasanya mahal banget.
Sampai akhirnya kabar itu datang.
Aku mengangguk. Di luar. Di dalam, aku hancur pelan-pelan.
Dan malam sebelum Papa Mama tiba, tepat tengah malam, Ika
membangunkanku dengan wajah panik.
“Mas… Dimas sesak napas!”
Aku melompat. XTrail melaju ke RS Saiful Anwar. Tanganku
menggenggam tangannya sepanjang jalan.
00.30 dini hari.
Allah memanggilnya pulang.
Aku berdiri kaku. Dunia seperti mute. Tak ada suara, kecuali
tangis yang tertahan.
Aku mengabari Wulan. Anak-anak datang. Administrasi. Pemakaman.
Kota Malang dini hari jadi saksi betapa manusia bisa begitu kecil di hadapan
takdir.
Kami cari makam. Tengah malam. Dari makam ke makam. Ironis dan
absurd. Tapi nyata.
Akhirnya ketemu: Sawojajar Gang 9. Satu kawasan dengan rumahku.
Ya Allah…
Subuh itu aku menjemput Papa Mama di Tol Karanglo. Aku nggak
sanggup ngomong. Biarlah Oom Adi yang menyampaikan.
Mama jatuh. Tangisnya pecah. Papa diam, tapi diam yang runtuh.
Aku memeluk mereka. Untuk pertama kalinya, aku merasa bukan lagi
anak. Aku harus jadi tiang.
Pemakaman berjalan pelan. Tanah merah itu berat. Setiap sekop
seperti menutup sebagian hidupku.
Saat semuanya selesai, aku berdiri sendiri.
Dan malam itu, di rumah yang terasa terlalu sepi, aku menulis satu
catatan kecil:
“Ketulusan hati dan konsistensi langkah menjadikan setiap
rintangan sebagai guru, setiap pengalaman sebagai pelajaran, dan setiap
kebaikan sebagai warisan abadi yang menuntun kita menuju ridha Allah.”
lanjut baca klik link : 73 - PULANG UNTUK BELAJAR HIDUP LAGI