75 - MEMULAI HIDUP BARU - DARI NOL DARI ALLAH

 





Aku benar-benar memulai lagi dari nol ketika kembali ke Bali. Nol yang bukan cuma soal isi dompet, tapi juga isi kepala dan hati. Hidupku seperti HP jadul yang terlalu banyak error, lalu akhirnya aku pencet tombol factory reset. Bedanya, ini bukan HP—ini hidup. Dan tidak ada tombol undo.

Hari-hari awal itu rasanya aneh. Bangun pagi, duduk di teras, menatap langit Bali yang masih biru seperti dulu, tapi hatiku belum tentu sebiru itu. Kadang aku bertanya sendiri,
“Sekarang aku ini siapa, ya?”
Bukan pejabat, bukan siapa-siapa, cuma anak yang pulang ke rumah orang tua dengan koper berisi pakaian dan kepala berisi pertanyaan.

Papa dan Mama tak banyak bertanya. Mungkin mereka tahu, ada luka yang belum siap diceritakan. Aku menemani mereka, mengantar ke sana-sini, membantu hal kecil. Dari luar kelihatan tenang, tapi di dalam, aku masih bongkar-pasang diriku sendiri.

Sampai akhirnya Allah mulai menyibukkan aku—dengan cara-Nya yang khas.

Semuanya bermula dari satu ajakan sederhana.
“Nuck, ikut olahraga pagi yuk. Ada komunitas Ayah Sehat Mama Bahagia.”

Aku sempat mikir, ini komunitas olahraga atau arisan terselubung?
Tapi aku datang juga. Minggu pagi di pantai. Matahari belum tinggi, angin masih ramah, dan para ayah-ibu sudah sibuk pemanasan dengan gaya masing-masing. Ada yang serius, ada yang sambil curhat, ada juga yang kelihatan lebih capek mikirin cicilan daripada lari kecil.

“Yang penting keringat keluar, Pak!” teriak salah satu bapak.
“Iya, keluar bareng dosa sekalian,” sahut yang lain.
Aku ketawa. Dalam hati berkata, wah, ini cocok.

Dari situ aku merasa hidupku pelan-pelan terisi lagi. Ada olahraga, ada tawa, ada obrolan ringan yang ternyata menyembuhkan. Habis olahraga, kami sering bikin kegiatan sosial kecil-kecilan. Sederhana, tapi hangat. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa… hidup.

Tak lama berselang, aku ikut taklim Liqo Laki. Duduk melingkar, tanpa jarak, tanpa gelar. Ada ustaz, ada pedagang, ada pegawai, ada aku—manusia yang masih belajar berdiri lagi.

Di sana aku kembali belajar jadi manusia yang bergantung pada Allah. Bukan bergantung pada jabatan, koneksi, atau masa lalu.
“Iman itu bukan teori,” kata salah satu pembimbing, “dia dilatih. Kayak otot.”
Aku mengangguk. Dalam hati aku bilang, kalau begitu iman aku mungkin habis sakit lama.

Lucunya, di sela kajian yang serius, selalu ada candaan khas bapak-bapak. Kadang lucunya kebablasan. Tapi justru itu yang bikin aku betah. Iman dan tawa ternyata bisa duduk di karpet yang sama.

Dan entah dari pintu mana ceritanya, aku tiba-tiba dipertemukan dengan Muhammadiyah.

Awalnya cuma bantu-bantu. Ngobrol. Diskusi. Lalu…
“Nuck, kamu jadi Sekretaris ya.”

Aku bengong.
“Lagi?”
“Iya.”

Lalu datang UMM—Yayasan Ukhuwah Masjid Musholla.
“Nuck, bantu jadi Sekretaris ya.”

Yayasan Masjid Al Fattah.
“Nuck, Sekretaris ya.”

ICMI.
“Nuck, Sekretaris juga.”

Aku pulang ke rumah sambil ketawa sendiri.
“Ya Allah, ini hidupku kok isinya notulen semua?”
Mungkin Allah tahu, sebelum memimpin, aku harus belajar mencatat. Sebelum bicara banyak, aku harus belajar mendengar. Sebelum berdiri di depan, aku harus kuat di belakang meja.

Bagi orang lain, hidupku terlihat cepat. Baru datang, langsung sibuk. Tapi mereka tak tahu, di balik kesibukan itu, Allah sedang merapikan aku. Menjauhkan aku dari kekosongan yang berbahaya.

Aku merasa dijaga. Lingkunganku penuh orang-orang baik. Orang-orang yang kalau bicara, mengingatkan pada Allah. Yang kalau mengajak, mengajak ke kebaikan. Aku tidak lagi sendirian dengan pikiranku sendiri.

Hari-hari di Bali pun berubah ritmenya. Aku tak lagi mengejar ambisi lama. Aku mengejar kebermanfaatan. Di Ayah Sehat Mama Bahagia, aku belajar bahwa bahagia itu bisa sesederhana lari pagi dan doa bersama. Di Liqo Laki, aku belajar bahwa iman itu bukan hafalan, tapi latihan seumur hidup.

Di Muhammadiyah, UMM, Yayasan Masjid, dan ICMI, aku belajar mengelola amanah. Orang-orang mulai bilang,
“Nuck, cara mikirmu beda ya.”
Aku cuma senyum. Dalam hati aku tahu, ini bukan karena aku hebat. Ini karena aku pernah jatuh jauh, dan belajar melihat hidup dari sudut yang lebih rendah.

Aku membawa pengalaman dari Jawa—dunia yang penuh tekanan, intrik, dan gesekan. Dibandingkan itu, Bali terasa adem. Polanya sederhana. Energinya ringan. Dan justru di situlah peluangnya.

Aku mulai memberi ide. Tentang manajemen. Tentang kolaborasi. Tentang cara kerja yang lebih rapi. Hal-hal kecil. Tapi entah kenapa, dianggap besar.
“Kenapa baru kepikiran sekarang ya?” kata mereka.
Aku hanya menjawab, “Mungkin karena sekarang kita siap.”

Lucunya, saat hidup pribadiku masih berantakan, justru orang-orang merasa terbantu dengan kehadiranku. Seolah Allah berbisik,
“Lukamu bukan untuk disembunyikan. Tapi untuk jadi jalan.”

Momentum Pemilu datang. Aku tak berniat masuk terlalu dalam, tapi diskusi datang sendiri. Orang-orang bertanya pendapat. Mendengar. Menimbang. Dan aku sadar, suaraku mulai diperhitungkan.

Aku memilih tidak buru-buru masuk struktur. Aku lebih suka memberi gagasan. Membuat gerakan kecil. Pendampingan anak-anak. Forum ngopi lintas komunitas. Dari obrolan santai, lahir ide-ide besar.

Pelan-pelan, mereka mulai menoleh.
“Nuck, gimana menurutmu?”

Ada beban di sana. Tapi juga rasa syukur. Dari duka, lahir peran. Dari kehilangan, tumbuh makna.

Aku lahir dan besar di Bali. Aku paham adatnya, nadinya, rasanya. Tapi aku juga membawa lensa luar—pengalaman, jaringan, dan cara pandang yang berbeda. Dua lensa itu membuatku bisa bicara dengan siapa saja.

Dari warung kopi ke forum diskusi. Dari obrolan santai ke panggung yang lebih terbuka.
“Nuck, kamu aja yang sampaikan,” kata mereka suatu hari.

Dan di situlah aku sadar—aku tidak lagi sekadar pulang. Aku sedang dipanggil.

Aku menginjak panggung baru. Bukan panggung untuk dipuja. Tapi panggung amanah. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak takut.

Karena aku tahu, aku tidak melangkah sendirian.

CATATAN NUCKY:
Kadang hidup memang meruntuhkan kita sampai nol. Tapi justru dari titik itulah arah baru muncul. Luka berubah jadi pintu. Kehilangan menjelma peran. Dan saat kita ikhlas melangkah, Allah selalu—selalu—punya cara paling indah untuk menata ulang hidup kita.

 



Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN