75 - MEMULAI HIDUP BARU - DARI NOL DARI ALLAH
Aku benar-benar memulai lagi dari nol ketika kembali ke Bali. Nol
yang bukan cuma soal isi dompet, tapi juga isi kepala dan hati. Hidupku seperti
HP jadul yang terlalu banyak error, lalu akhirnya aku pencet tombol factory
reset. Bedanya, ini bukan HP—ini hidup. Dan tidak ada tombol undo.
Papa dan Mama tak banyak bertanya. Mungkin mereka tahu, ada luka
yang belum siap diceritakan. Aku menemani mereka, mengantar ke sana-sini,
membantu hal kecil. Dari luar kelihatan tenang, tapi di dalam, aku masih
bongkar-pasang diriku sendiri.
Sampai akhirnya Allah mulai menyibukkan aku—dengan cara-Nya
yang khas.
Dari situ aku merasa hidupku pelan-pelan terisi lagi. Ada
olahraga, ada tawa, ada obrolan ringan yang ternyata menyembuhkan. Habis
olahraga, kami sering bikin kegiatan sosial kecil-kecilan. Sederhana, tapi
hangat. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa… hidup.
Tak lama berselang, aku ikut taklim Liqo Laki. Duduk
melingkar, tanpa jarak, tanpa gelar. Ada ustaz, ada pedagang, ada pegawai, ada
aku—manusia yang masih belajar berdiri lagi.
Lucunya, di sela kajian yang serius, selalu ada candaan khas
bapak-bapak. Kadang lucunya kebablasan. Tapi justru itu yang bikin aku betah.
Iman dan tawa ternyata bisa duduk di karpet yang sama.
Dan entah dari pintu mana ceritanya, aku tiba-tiba dipertemukan
dengan Muhammadiyah.
Bagi orang lain, hidupku terlihat cepat. Baru datang, langsung
sibuk. Tapi mereka tak tahu, di balik kesibukan itu, Allah sedang merapikan
aku. Menjauhkan aku dari kekosongan yang berbahaya.
Aku merasa dijaga. Lingkunganku penuh orang-orang baik.
Orang-orang yang kalau bicara, mengingatkan pada Allah. Yang kalau mengajak,
mengajak ke kebaikan. Aku tidak lagi sendirian dengan pikiranku sendiri.
Hari-hari di Bali pun berubah ritmenya. Aku tak lagi mengejar
ambisi lama. Aku mengejar kebermanfaatan. Di Ayah Sehat Mama Bahagia, aku
belajar bahwa bahagia itu bisa sesederhana lari pagi dan doa bersama. Di Liqo
Laki, aku belajar bahwa iman itu bukan hafalan, tapi latihan seumur hidup.
Aku membawa pengalaman dari Jawa—dunia yang penuh tekanan, intrik,
dan gesekan. Dibandingkan itu, Bali terasa adem. Polanya sederhana. Energinya
ringan. Dan justru di situlah peluangnya.
Momentum Pemilu datang. Aku tak berniat masuk terlalu dalam, tapi
diskusi datang sendiri. Orang-orang bertanya pendapat. Mendengar. Menimbang.
Dan aku sadar, suaraku mulai diperhitungkan.
Aku memilih tidak buru-buru masuk struktur. Aku lebih suka memberi
gagasan. Membuat gerakan kecil. Pendampingan anak-anak. Forum ngopi lintas
komunitas. Dari obrolan santai, lahir ide-ide besar.
Ada beban di sana. Tapi juga rasa syukur. Dari duka, lahir peran.
Dari kehilangan, tumbuh makna.
Aku lahir dan besar di Bali. Aku paham adatnya, nadinya, rasanya.
Tapi aku juga membawa lensa luar—pengalaman, jaringan, dan cara pandang yang
berbeda. Dua lensa itu membuatku bisa bicara dengan siapa saja.
Dan di situlah aku sadar—aku tidak lagi sekadar pulang. Aku sedang
dipanggil.
Aku menginjak panggung baru. Bukan panggung untuk dipuja. Tapi
panggung amanah. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak takut.
Karena aku tahu, aku tidak melangkah sendirian.