71 - UJIAN YANG MENAIKKAN KELAS
Pagi itu, setelah presentasi selesai, aku duduk sendirian di sudut
ruangan yang AC-nya terlalu rajin bekerja. Dingin. Bukan cuma di kulit, tapi
juga di dada. Laptop sudah kututup, pulpen sudah kutaruh rapi, tapi pikiranku
masih lari ke mana-mana seperti anak TK habis minum sirup dua gelas.
Perjalanan ke titik ini rasanya kayak naik roller coaster tanpa
sabuk pengaman. Mulai dari seleksi administrasi yang bikin deg-degan tiap buka
email, tes tertulis yang soalnya bikin kening berkerut permanen, psikotest yang
bikin aku bertanya, “Ini yang stres aku atau soalnya?”, wawancara yang
bikin suara mendadak sopan banget, sampai akhirnya… boom. Tinggal empat orang.
Dan salah satunya aku.
Aku, yang awalnya nyaris mundur sebelum start.
Aku tahu betul, dunia BUMD itu bukan dunia steril. Ada aroma
politik, ada tarik-menarik kepentingan, ada drama yang kadang lebih seru dari
sinetron jam prime time. Dan aku… bukan tipe yang luwes main kode-kodean. Aku
ini orangnya lurus. Kadang terlalu lurus sampai dibilang “kurang licin”.
Makanya aku sowan. Diskusi. Ngopi panjang dengan para senior di
KAHMI Unmer. Mereka dengar ceritaku sambil senyum-senyum bijak—senyum yang
biasanya muncul sebelum kalimat penentu hidup orang lain.
Aku pulang malam itu dengan langkah lebih ringan, tapi pikiran
lebih serius. Dan aku melangkah.
Belum selesai deg-degan soal BUMD, hidup rupanya belum puas
menguji. Telepon dari Jakarta masuk. Nomor tak dikenal. Biasanya aku cuekin.
Tapi entah kenapa, kali ini kuangkat.
Lalu kalimat itu keluar.
“Bagaimana kalau kamu ikut seleksi Direksi AJB Bumiputera?”
“Masih, Pak… saya cuma lagi nyari napas.”
Mungkin hidup memang begitu. Kita nggak selalu paham alasan di
awal. Tapi kita diminta percaya, lalu melangkah.
Aku tahu, nggak semua orang suka caraku berpikir. Nggak semua
setuju dengan gagasanku. Tapi satu hal yang selalu kujaga: niat. Aku hadir
bukan untuk kuasa. Aku hadir untuk manfaat.
Dan ujian itu datang bertubi-tubi.
Tahap akhir seleksi BUMD tiba. Dari banyak nama, tinggal dua. Dan
namaku masih di sana. Rasanya kayak sampai puncak gunung, tapi kabut tebal.
Indah, tapi bikin gemetar.
Gerbang terakhir: one-on-one dengan Walikota.
Aku masuk ruangan dengan doa pendek. Bukan minta diloloskan. Tapi
minta dijaga kejujurannya.
Karena bagiku, ini bukan soal jabatan. Ini panggilan sejarah kecil
dalam hidupku. Dan menjadi kandidat saja sudah lebih dari cukup untuk
bersyukur.
Sementara itu, proses di Bumiputera berjalan jauh lebih panjang.
Nasional. Ketat. Setiap langkah harus lolos OJK. Asesmen, panel, presentasi,
fit and proper test. Rasanya kayak ditempa terus-menerus.
Tapi di situlah aku belajar tentang ISTIQOMAH.
Aku belajar, saat semangat dan keikhlasan jalan bareng, perjuangan
berubah jadi pengabdian.
Di Black Canyon Coffee, Avocado Coffee House, dan usaha-usaha yang
kubangun, aku ingin orang tumbuh. Bukan cuma kerja. Tapi merasa dihargai.
Di Koperasi Insan Cita, aku ingin orang belajar berdiri bareng.
Karena aku tahu rasanya berjuang sendirian.
Aku belajar, kepercayaan itu mahal. Dan integritas adalah tiket
masuknya.
Itu saja.
Karena bagiku, menjadi orang yang bermanfaat adalah ibadah paling
manusiawi.
CATATAN NUCKY:Setiap ujian yang datang bukan
untuk menjatuhkan, tapi untuk menaikkan kelas hidup kita. Karena di balik
lelah, ragu, dan perjuangan, Allah sedang melatih kita agar lebih kuat, lebih
ikhlas, dan—paling penting—lebih bermanfaat bagi sesama.