51 - KOMANDAN DI MEDAN PETUALANGAN : JEJAK RENNY DAN LANGKAH-LANGKAH YANG MENGGERAKKAN HIDUP
Angin pagi di kota Batu Malang, selalu punya cara untuk menyapa
lebih lembut dari yang lain. Mungkin karena ia tahu, di dalam rumah sederhana
yang dikelilingi pepohonan trembesi itu, ada seorang perempuan yang setiap
paginya mengumpulkan kekuatan baru untuk hidup. Perempuan yang sudah
berkali-kali "ditampar" nasib, tapi entah kenapa tetap memilih untuk
membalasnya dengan senyum.
Itulah Renny.
Wanita yang oleh dokter pernah diberi vonis seolah-olah masa
depannya seperti lampu kamar yang tinggal setengah watt. Tapi di luar dugaan,
ia malah berubah menjadi senter 1000 watt yang menerangi banyak orang.
Dari Pasien Menjadi Komandan
“Ren, kamu tuh harusnya istirahat, bukan ngitung-ngitung ban karet
rafting sampai tengah malam,” tegurku suatu malam, sambil mengintip dari balik
pintu ruang tamu.
Renny menengok dengan wajah santai. “Yang sakit itu badan, Nu.
Bukan semangatku.”
Aku menghela napas. “Tapi kamu baru habis operasi besar.”
Lalu dia berdiri, memperlihatkan map berisi rancangan bisnis kecil
yang akhirnya menjadi besar: Dragonfly Outbound & Rafting.
Waktu itu aku cuma bisa mengangguk pelan sambil bergumam, “Ya
Allah… istri hamba ini, kayaknya lahir dari batu meteor.”
Dragonfly: Dari Sungai, untuk Jiwa-Jiwa yang Pernah
Tenggelam
Di hari pertama Dragonfly berdiri, aku masih ingat bagaimana Renny
berdiri di pinggir sungai, memandang aliran air seperti melihat hidupnya
sendiri.
“Air ini, Nu,” katanya sambil menunjuk sungai yang menderu, “kayak
hidup kita. Kadang deras, kadang tenang. Kadang bikin orang ketakutan, tapi
kalau diliat bener-bener… dia selalu bergerak maju.”
“Terus kalau kebawa arus?” tanyaku sok bijak.
Renny terkekeh. “Ya ngambang lah. Jangan sok heroik berenang lawan
arus.”
Begitulah dia. Kadang seperti guru kehidupan, kadang seperti
stand-up comedian. Dan kadang keduanya dalam satu kalimat.
Bersama Mauren dan Riny, Renny membangun Dragonfly bukan hanya
sebagai tempat rafting, tapi sebagai tempat orang-orang belajar arti bekerja
sama, bertahan, menjerit bareng, menertawakan takutnya sendiri, dan pulang
dengan dada lebih lapang.
Mereka bertiga seperti tiga srikandi.
Tapi takdir punya caranya sendiri mencuri orang-orang baik.
Satu per satu, Mauren dan Riny dipanggil Allah — ironi alami yang
pahit, karena penyakit yang dulu mengintai Renny malah menjemput
sahabat-sahabatnya terlebih dahulu.
Dan ia benar-benar melakukannya.
Dari Sungai Ke Tambang: Medan Baru, Luka Lama, dan
Harapan yang Ditambang dari Hati
Hidup sering lucu. Baru saja aku mulai hapal aroma sungai
Dragonfly, Allah melemparku ke tempat lain: Pulau Merah, Banyuwangi.
Renny masih menjalani kemoterapi saat itu. Tubuhnya lemah tapi
suaranya tegas.
“Pergi, Nu. Kerja yang bagus. Rezekimu, rezeki kita. Aku di sini,
aku kuat.”
Aku menatapnya lama. “Kamu yakin?”
“Nu…” ia menatapku sambil menaikkan alis, “aku ini istrimu. Bukan
gelas kaca.”
Aku langsung tahu: tidak ada ruang berdebat.
Setelah wawancara panjang dengan jajaran direksi di Jakarta, aku
diterima. Dan tanpa banyak pengantar, Bu Ninik — direktur yang kalau bicara
seefisien notifikasi bank — bilang singkat:
“Kamu langsung ke lapangan, ya. Banyuwangi.”
Begitu saja. Tanpa drama.
Tapi medan barunya penuh drama.
Pulau Merah: Keindahan yang Menyimpan Luka
Tapi di balik keindahan itu ada luka kolektif yang membekas sejak
tsunami 1994. Saat aku duduk bersama warga di warung kopi pertama kali, seorang
bapak paruh baya berkata:
“Mas, kita ini masih takut laut. Tapi juga butuh laut. Gimana ya?”
Kalimat itu menghantamku seperti ombak besar.
Sebagai External Relations Manager PT BSI, tugasku bukan sekadar
bertemu tokoh masyarakat dan mengurus izin. Tugasku adalah… membaca hati
orang-orang yang pernah kehilangan.
Di hari-hari awal, aku lebih banyak diam. Aku menyimak cara mereka
tertawa, caranya menghela napas, caranya memandang laut yang seperti teman
sekaligus musuh.
Aku belajar adat, tradisi, sejarah trauma, kebiasaan nelayan,
hingga apa saja yang membuat mereka tersenyum.
Sebab, bagaimana mungkin perusahaan berharap diterima, jika tidak
pernah berusaha memahami?
Tambang, Tradisi, dan Percakapan di Pinggir Perahu
“Mas Nucky, kerjanya apa? Banyak senyam-senyum, tapi tugasnya
berat, ya?”
- kursus
keterampilan untuk pemuda,
- pelatihan
UMKM untuk ibu-ibu,
- koperasi
nelayan,
- beasiswa
anak-anak desa,
- forum
komunikasi warga–perusahaan,
- sekolah
lapang perbengkelan, pertanian modern, hingga pengolahan hasil laut.
Aku ingin warga bukan cuma “penonton”, tapi pemain utama
dalam perubahan.
Karena bagi mereka, tambang bukan hanya industri. Tambang adalah
harapan — atau ancaman — tergantung bagaimana kita melangkah.
Dialog, Hati, dan Jejak Kemanusiaan
Suatu sore, seorang ibu mendekatiku setelah sesi sekolah lapang.
“Mas, saya dulu nggak ngerti apa-apa soal usaha. Sekarang saya
bisa ngatur keuangan warung kecil saya. Terima kasih, Mas.”
Aku terdiam.
Kadang kita bekerja bertahun-tahun dan tak tahu apakah usaha kita
menghasilkan sesuatu. Tapi hari itu, aku mendapat jawabannya dalam satu
kalimat.
Saat aku cerita ke Renny lewat telepon, ia berkata dengan suara
lemah tapi bahagia:
“Nu… kita ini bukan orang kaya. Tapi kalau kita bisa mengubah
sedikit hidup orang… kita kaya dari cara yang lain.”
Aku menelan ludah, menahan haru.
Komandan di Rumah, Komandan di Sungai, Komandan
dalam Hidup
Di malam-malam sepi ketika aku rindu rumah, aku sering ingat wajah
Renny saat pertama kali memimpin tim Dragonfly di pinggir sungai. Tegas, ceria,
dan penuh cahaya.
Ia pernah bilang padaku:
“Nu, hidup itu kayak rafting. Kalau kita cuma duduk diam, ya
kebawa arus. Tapi kalau kita dayung bareng, sambil teriak-teriak pun nggak
apa-apa… kita bisa sampai tujuan.”
Dan kini aku tahu, mengapa ia jadi pemimpin yang begitu dicintai.
CATATAN NUCKY : Hidup selalu
punya cara mengajarkan kita makna sesungguhnya.
Bahwa panjang umur tidak pernah menjamin hidup yang berarti. Tapi
hidup yang berarti… selalu membuat umur terasa lebih panjang.
Renny mengajarkan itu kepadaku — dan kepada siapa saja yang pernah
menemuinya. Seperti yang sering ia ulang:
“Hidup itu bukan soal siapa yang paling kuat. Tapi siapa yang
paling tulus bertahan.”
lanjut baca klik link : 52 - UJIAN SOSIAL, MEDIASI KONFLIK, DAN LELAKI YANG BELAJAR MENJADI JEMBATAN