43 - BRANDING, REZEKI, DAN LANGKAH-LANGKAH KECIL MENUJU TAKDIR BESAR

 




Pernah nggak kamu merasa pekerjaan itu kayak rutinitas belaka—datang, absen, duduk, kerja, pulang, gajian, ulangi?
Ya, sama. Aku dulu juga begitu.

Sampai akhirnya aku nyemplung ke dunia advertising—lebih tepatnya: diceburkan. Serius, kalau hidup itu kolam renang, aku adalah bocah yang didorong temannya dari pinggir kolam, tanpa pelampung, tanpa briefing. Tapi anehnya… begitu masuk ke air, aku malah belajar berenang. Dan tiba-tiba sadar: “Eh, ternyata enak juga ya.”

Jawa Ad—tempat aku bekerja—bukan sekadar kantor. Itu tempat di mana aku belajar bahwa dalam pekerjaan, ada hal yang tidak diajarkan di kampus mana pun: bahwa bekerja itu bukan sekadar menjual, tapi berkarya.

Kerja Bukan Cuma Kerja—Tapi Karya.

Aku masih ingat momen itu. Siang yang panas, AC kantor tiba-tiba ngambek. Semua orang kipas-kipas pakai kertas bekas pitch deck.

“Aduh, Nuck, gue mau mati gaya nih,” keluh Ilham, designer yang rambutnya belah pinggir tapi isi kepalanya nggak pernah belah pinggir—selalu kreatif.

“Nggak usah mati gaya, Ham,” jawabku. “Yang penting nggak mati deadline.”

Mereka ketawa. Ya receh, tapi lumayan lah bisa menyelamatkan suasana.

Di tengah panas itu, aku sadar satu hal:
Kami tidak sedang bekerja untuk sekadar menggugurkan jam kantor. Kami sedang melahirkan pesan.

Setiap slogan yang kubuat, setiap storyboard yang tim susun, bukan cuma “tugas”. Itu cara kami bicara kepada dunia. Cara kami menyampaikan nilai.

Karena di dunia kreatif, yang dijual bukan sekadar barang.
Yang dijual adalah perasaan.

Dan perasaan tidak bisa dipalsukan. Tidak bisa dibohongi.
Ia harus ditata dari hati.

 

Branding: Nafas Panjang Bisnis

Sore itu, di ruang meeting, aku pernah bilang ke tim:

“Teman-teman, branding itu kayak napas. Kamu nggak bisa hidup cuma dengan satu tarikan napas. Harus panjang, konsisten, dan tahu ritmenya.”

Renny—istriku, manajer keuangan sekaligus pengendali emosiku—cuma melirik sambil berkata:

“Bapak jangan lebay, ini lagi meeting, bukan acara motivasi.”

Tapi dia senyum. Dan aku tahu dia bangga meski pura-pura nyinyir.

Di Jawa Ad, kami belajar bahwa brand adalah rasa percaya.
Dan rasa percaya itu dibangun dari:

• konsistensi
• kualitas
• ketulusan

Selebihnya? Bonus.

Fakta pun menguatkan:

  • 59% konsumen lebih memilih membeli dari brand yang mereka kenal.
  • Brand kuat = pertumbuhan lebih tinggi.

Jadi benar kata orang:
Brand itu bukan logo. Brand itu kepercayaan yang dibangun pelan-pelan, tapi bisa runtuh dalam sekejap kalau kita salah langkah.

 

Ketika Brand Menjadi Dakwah

Ini bagian yang bikin aku semakin jatuh cinta pada dunia marketing communication.

Bahwa branding bukan cuma jualan.
Branding adalah jalan dakwah yang elegan.

Sering aku bilang ke tim:

“Kita nggak sedang menjual sabun. Kita sedang menyampaikan pesan tentang kebersihan dan amanah.”

“Kita nggak cuma bikin iklan makanan. Kita sedang bilang ke orang-orang bahwa makanan ini halal, sehat, dan dibuat dengan tanggung jawab.”

Setiap pitching, setiap meeting, selalu ada ruang untuk menyebarkan nilai.
Dan aku percaya, nilai yang ditanam dengan ketulusan… akan menjadi energi yang kembali pada kita.

 

Rezeki Tidak Ditunggu, Tapi Dijemput

Pagi itu, aku datang ke kantor lebih awal. Masih gelap, hanya lampu meja yang menyala.

Aku membuka mushaf kecil yang selalu kubawa. Kubaca ayat itu lagi:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Aku menepuk dadaku sendiri dan berkata pelan:

“Rezeki itu nggak datang kalau kita cuma rebahan.”

Dan itu jadi prinsip hidup kami di Jawa Ad.
Bahkan saat tidak ada proyek, kami cari ide, riset, belajar. Karena rezeki bukan nunggu di sofanya… tapi di langkah kaki, keringat dahi, dan doa yang ditarik paksa dari sujud panjang.

 

Tentang Perubahan: Dari Kostan, ke Majalah, ke Advertising, ke Strategic Communication

Kalau hidup itu film, perjalanan karierku mungkin masuk kategori plot twist.
Dari jual pembatas buku, masuk ke dunia majalah, lalu advertising, tiba-tiba sekarang strategic marketing communication.

Semua itu bukan direncanakan.
Itu “jalan yang muncul kalau kita mau melangkah.”

Aku dan Renny dulu jualan apa saja demi bertahan hidup. Tapi di situlah aku belajar bahwa:

Perubahan itu bukan musuh. Perubahan itu teman.

Dulu perubahan itu bikin aku takut.
Sekarang justru kalau tidak berubah, aku cemas.
Karena stagnan itu menakutkan.

Dan perubahan itu datang dari introspeksi, bukan ego.

 

Karier: Dari Pekerjaan Menjadi Panggilan

Ketika aku memimpin tim di Jawa Ad, aku sadar satu hal:

Karier yang baik bukan hanya membuatmu ahli, tapi juga membuatmu manusia yang lebih baik.

Aku masih ingat momen ketika Awan—OB kami—pelan-pelan belajar desain di sela-sela waktunya. Dia terus bertanya, latihan, hingga akhirnya jadi salah satu creative director.

Ketika aku tanda tangan surat pengangkatannya, aku menahan air mata.

“Bangga, Wan,” kataku.
Dia jawab sambil terisak, “Saya cuma ikut cara Bang Nucky kerja.”

Itu hari di mana aku merasa benar-benar sukses.
Karena sukses itu bukan ketika namamu dikenal…
tapi ketika hidupmu membuat hidup orang lain berubah.

 

Keluarga: Cinta yang Diperjuangkan

Renny adalah rumahku. Tempat aku pulang ketika dunia sedang bising.

Kami pernah tinggal di kamar kecil dengan dapur sekedar bilik kayu. Tapi cinta kami tidak kecil. Justru tumbuh paling besar di situ.

Lalu lahirlah putri kami: Namira Rabbani Kertapati—Nara.
Sejak hari itu, semua lelah terasa punya tujuan.
Semua perjuangan memiliki wajah kecil yang menunggu di rumah.

Nara pernah kubawa ke kantor, tidur di sofa.
Tim tertawa waktu aku gendong Nara dalam meeting.

“Pak, kita meeting sama bayi juga nih?”
“Biar dia tahu,” jawabku. “Ayahnya kerja bukan buat gaya. Tapi buat masa depannya.”

 

Spiritualitas: Menemukan Allah dalam Setiap Peran

Dulu aku kira kesuksesan itu linear:
usaha → hasil.

Ternyata ada unsur yang tidak bisa diukur: doa, niat, dan keberkahan.

Rezeki itu bukan angka di rekening.
Rezeki itu:

• ketenangan hati
• keluarga yang sehat
• pekerjaan yang tidak membuat kita menjauh dari Allah
• kemampuan memberi kepada orang lain

Setiap pagi, aku tidak hanya membaca brief.
Aku membaca niat.

“Apakah hari ini aku bekerja karena Allah?”
“Apakah aku memimpin dengan amanah?”

Dan itu yang membuat setiap langkah lebih ringan.

 

Hidup Tidak Pernah Tentang Satu Hal Saja

Dari perjalanan ini, aku belajar:

  • Karier penting, tapi keluarga lebih utama.
  • Rezeki indah, tapi barakah jauh lebih mulia.
  • Branding itu penting, tapi niat adalah fondasinya.
  • Perubahan itu wajib, tapi introspeksi adalah kuncinya.

Kalau hari ini kamu sedang bingung arah hidup, percayalah…
setiap langkah kecilmu sedang menuju versi dirimu yang lebih baik.

Jangan remehkan proses yang pelan.
Bisa jadi itu adalah langkah-langkah kecil yang mengantarmu pada takdir besar.

Dan ingat:
Kita bukan sedang bekerja. Kita sedang berkarya. Kita sedang membangun makna. Kita sedang meninggalkan jejak.

 

 lanjut baca klik link : 44 - DARI SURABAYA KE PANGGUNG NASIONAL 



Postingan populer dari blog ini

56 - SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN