33 - MENJADI PEMIMPIN YANG TUMBUH BERSAMA BUKAN DIATAS YANG LAIN
Pagi itu Bali masih setia dengan napas lembutnya—angin laut yang
seperti sedang ngelus kepala, seakan bilang, “Santai, Ky… hidup itu nggak
seseram yang kamu kira.” Dan entah kenapa, justru dalam ketenangan itu aku
mulai memahami sesuatu yang dulu suka kupelintir sendiri: aku tidak pernah
benar-benar tumbuh sendirian. Tidak pernah.
Bahkan saat aku merasa paling kuat pun, sebenarnya ada
tangan-tangan tak terlihat yang ikut mendorongku. Kadang itu doa ibu. Kadang
tatapan Renny yang bilang “ayo, kamu bisa.” Kadang juga tawa teman-teman lama
yang selalu siap menepuk bahu. Dan dari situ, pelan-pelan aku belajar satu
pelajaran penting yang akhirnya jadi fondasi kepemimpinan yang kucoba bangun:
Pemimpin itu nggak lahir dari puncak. Dia tumbuh dari perjalanan,
dari jatuh bangun, dan dari siapa saja yang sempat menggandeng tangannya di
tengah jalan.
Sebuah Siang Yang Mengubah Cara Pandang
Waktu itu, aku baru beberapa bulan memimpin tim di Tiga Graphic
House. Namanya juga baru jadi “bos”, pasti masih ada sisa–sisa norak: pengen
dihormati, pengen tampil tegas, pengen terlihat tahu segalanya. Padahal ya
Tuhan, sering kali aku justru yang paling banyak tanya di ruangan itu.
Suatu siang, Awan masuk sambil nyodorin daftar peralatan kantor.
Dia ini tipe pendiam yang kalau jalan kayak ninja—nggak ada suaranya. Anak-anak
kantor sering bercanda, “Wan, kalau kamu jalan malem-malem, maling pun minta
izin dulu.”
Tapi matanya… ah, itu lain cerita. Matanya seperti lentera
kecil—ada keingintahuan, ada energi, ada “aku pengen lebih dari ini”.
Waktu dia mau balik ke area pantry, aku panggil dia.
Aku nggak tahu kenapa, tapi saat itu ada dorongan aneh di hati.
Macam ada suara kecil: “Kasih dia panggung.”
Dia ngangguk pelan. Tapi aku lihat jelas: bibirnya menahan senyum
bangga. Kayak anak kecil dikasih kunci sepeda baru.
Dan… itu titik pertama.
Titik yang belasan tahun kemudian bikin aku senyum sendiri di
tengah kemacetan Sunset Road, waktu Awan ngirim pesan:
“Mas Nucky, aku diangkat jadi Creative Director. Makasih ya. Kunci
komputer itu ternyata kunci masa depan aku.”
Kadang aku mikir—siapa di antara kami yang tumbuh paling banyak?
Ternyata… kami tumbuh bersama.
Renny: Kawan Perjalanan Yang Ngebantu Menajamkan
Kaki Dan Hati
Kalau ada yang bilang pemimpin itu harus punya partner yang bikin
dia stabil… itu benar. Dan aku punya seseorang yang bukan cuma bikin stabil,
tapi bikin hidup lebih masuk akal: Renny.
Pernah suatu malam, waktu bisnis rame-ramenya, aku pulang dengan
wajah kayak habis dicuci pakai deterjen—kusut, capek, belepotan.
Tapi benar.
Sejak detik itu aku belajar pulang bukan untuk membawa masalah,
tapi untuk membawa cerita. Belajar jadi pendamping, bukan penguasa. Dan
belakangan aku makin sadar bahwa kepemimpinan terbesar justru diuji di rumah.
Kalau aku bisa membuat Renny tumbuh, merasa aman, merasa
dihargai—maka aku sudah setengah jalan menjadi pemimpin yang beneran.
Kepemimpinan Di Tempat Kerja: Kaki Di Bumi, Tapi
Tangan Tetap Ke Langit
Di kantor, aku mencoba membawa semua pelajaran hidup yang sempat
kubanting-banting satu per satu. Dari nilai syukur sampai amanah, dari semangat
belajar sampai makna ikhlas.
Ada satu kejadian lucu. Suatu sore, Desi—designer paling
bawel—ngamuk karena idenya mentok dan klien minta revisi 18 kali.
Dia diem. Lama.
Padahal… aku sendiri pun masih belajar.
Spiritualitas: Saat Langkah Mu Mulai Pelan, Tuhan
Yang Mempercepat
Sampai suatu malam, aku bangun untuk sholat dan entah kenapa… doa
itu keluar sendiri dari mulutku:
“Ya Allah, bukan minta mudah. Tapi kuatkan aku supaya aku pantas
Engkau mudahkan.”
Renungan: Menyalakan Cahaya Dalam Diri, Lalu
Menularkannya
Semakin panjang perjalanan ini, semakin aku yakin:
Makanya sampai hari ini, aku selalu ingat pesan Ali bin Abi
Thalib:
“Jadilah orang yang ketika hadir membawa manfaat, dan ketika pergi
meninggalkan jejak kebaikan.”
Catatan Kecil Yang Sederhana, Tapi Jadi Pondasi
Hidupku
Aku ingin dikenang bukan karena gelarkan, bukan karena jabatan,
bukan karena pencapaian.
Tapi karena satu hal:
Bahwa aku tidak menyerah menjadi manusia yang lebih baik… dan
membantu orang lain tumbuh bersama.
Dan kalau suatu hari nanti waktu menjemputku, aku ingin bisa
tersenyum dan berkata pelan: