49 - UJIAN SEBENARNYA BARU DIMULAI
Tahun 2009, Bali sedang cerah seperti biasanya. Cerahnya Bali itu
beda—bukan sekadar langit biru, tapi seakan-akan ada tangan Tuhan yang menarik
tirai mendung, memberi kita ruang bernapas sedikit lebih lapang. Saat itu hidup
kami perlahan-lahan menemukan iramanya lagi. Ada tawa kecil Namira yang sedang
belajar melafalkan kata “bintang”, ada semilir angin sore dari arah pantai
Kedonganan, dan ada aku dan Renny yang berusaha merangkai ulang kepingan hidup
yang pernah retak.
Tapi begitulah hidup… selalu punya cara datang dari belakang,
menepuk pundak kita, lalu berkata:
“Sudah siap? Ujian berikutnya dimulai.”
Siang itu, rumah kecil kami di Jimbaran hening sekali. Renny duduk
di pinggir tempat tidur, menatapku dengan wajah yang… aneh. Bukan sedih, bukan
panik, tapi seperti seseorang yang hendak memberitahu sesuatu yang ia sendiri
belum tahu harus merasakannya bagaimana.
“Ayah…”
Nada panggilan itu masih sama—lembut, tenang, tapi entah kenapa
dadaku langsung mengeras.
“Kenapa, Bunda?” jawabku sambil pura-pura tenang, padahal jantung
sudah seperti pemain gamelan yang baru belajar ngetel alat.
Renny menarik napas, lalu memegang bagian kiri dadanya.
“Aku ngerasa ada benjolan. Kecil… tapi kok rasanya aneh, Yah.”
Tapi wajah suami harus tetap tenang. Laki-laki boleh roboh, tapi
bukan di depan istri.
Dan benar. Ada. Kecil… tapi cukup untuk membuat pikiranku melayang
pada sosok Mama. Ibuku pernah menghadapi hal yang sama. Dan ia bertahan,
alhamdulillah. Tapi tetap saja—ketakutan itu seperti kabut tebal yang tiba-tiba
menyelimuti ruang tamu kami.
Menuju Kepastian yang Tak Diinginkan
Kami langsung cerita ke Mama. Mama seperti biasa—tenang, tapi
sorot matanya menunjukkan ia tahu bahaya yang mungkin mengintai.
“Nduk… sing penting saiki periksa. Ojo ngenteni. Wektu kui
penting,” kata Mama sambil menggenggam tangan Renny.
“Ya Allah, semoga ini cuma alarm palsu…”
Tumor ganas.
Aku terdiam lama. Renny hanya mengangguk pelan, seolah menerima
saja. Padahal saat itu, hanya Allah yang tahu bagaimana perjuangan hatinya.
Perjalanan ke Malang: Dari Kota Kenangan Menjadi
Medan Perang
Setelah diskusi panjang dengan Mama, Papa, keluarga besar, dan
Mbak Lisa—sepupuku dokter di Malang—kami sepakat untuk pergi ke Malang. Dokter
terbaik yang dulu menangani Mama ada di sana: dr. Didik.
Begitu sampai, dr. Didik menyambut kami. Periksa demi periksa, tes
demi tes, semuanya diperketat.
Hingga akhirnya… kabar itu disampaikan.
“Mas Nucky… ini sudah stadium 4. Secara medis … tinggal tiga bulan.”
Aku tidak bisa mendeskripsikan detik itu. Rasanya seperti ada
seseorang yang membekap mulutku, menahan suaraku, sambil menghantam dadaku
sekeras mungkin.
Tapi, di tengah keterpakuan itu, satu keputusan muncul tanpa
kompromi: Renny tidak boleh tahu.
Menjadi Pelindung dalam Diam
Hari itu, aku pulang ke rumah keluarga di Malang dengan langkah
yang seperti tidak menyentuh tanah. Renny duduk di ruang tamu, senyum seperti
biasa.
“InsyaAllah baik, Ma. Kita ikhtiar. Dokter optimis kok.”
Mulai hari itu, aku menjalani peran terbesar dalam hidupku:
- Suami
- Sahabat
- Perawat
- Benteng
- Sumber
tawa
- Penjaga
semangat
Waktu Milik Allah, Bukan Milik Kita
Aku membaca ayat yang menguatkan hati:
Awal Perjalanan Besar
“Bun… Ayah tidak tahu akhir cerita kita. Tapi Ayah janji, Ayah
akan menemani kamu sampai detik terakhir, apa pun yang ditakdirkan Allah.”
CATATAN NUCKY : Ujian
terbesar sering datang saat hidup sedang tenang-tenangnya. Tapi justru di sana
Allah ingin kita menemukan cahaya baru—cahaya cinta, kesabaran, dan keteguhan
hati. Dan pada akhirnya… cinta yang tulus akan selalu lebih kuat daripada rasa
takut.
labjut baca klik link :50 - BANGKIT BERSAMA DRAGONFLY, MENEMBUS BATAS, MENGHIDUPKAN HARAPAN